Tagged Patangpuluhan

Yasinan

Tema-tema obrolan muncul begitu saja. Pelontar umumnya berawal dari pertanyaan-pertanyaan mahasiswa yang diajukan kepada Cak Nun. Karena pesertanya berbeda latar belakang, maka diantara mereka sering saling ngotot mempertahankan argumen masing-masing. Kalangan mahasiswa dengan bahasa-bahasa planet yang bagi kalangan awam susah dipahami, nukilan-nukilan text-book dengan istilah-itilah asing.

Jika malam makin larut, secara perlahan satu persatu berpamitan. Pasti mereka tidak terbiasa “melek malam.” Yang lain tetap bertahan, bisa jadi dilanjut dengan permainan gaple. Main gaple seolah menebak nasib, meramal takdir. Kita tidak sanggup menghitung “balak” berapa yang akan muncul. Meski jumlah kartu bisa dihitung, probabilitasnya agak susah untuk memastikan. Bahkan Cak Nun sering agak ekstrim mengemukakan bahwa pasti “Tangan Tuhan” ikut berperan. Kartu dikocok sekian kali, kartu dibagi, masing-masing pemain tidak bisa memilih kartu terbaik. Seorang pemain gaple yang ahlipun bisa kalah jika tandem di sisi kiri atau kanannya ngawur ketika membuang kartu.

Ke Bandara

Saya bangun lebih cepat. Dari masjid sudah terdengar adzan awal. Saya mengenal adzan awal di Yogya. Adzan awal dikumandangkan menjelang waktu fajar; atau antara habisnya waktu isya menuju waktu shubuh. Ini tradisi Muhammadiyah. Nada iramanya khas, cengkok Jawa. Sebelum adzan, diawali dengan kalimat: “Adz-dzan aw-wal…” Lalu: “Allahu Akbar, Allahu Akbaaaar…”

Buru-buru saya ke dapur. Kedua adik perempuan Cak Nun dan Mbak Wiek, masih terlelap tidur. Mbak Wiek, perempuan setengah baya, bukan pembantu, mengabdi dengan tulus sejak kelahiran Sabrang.

Silakan Makan

Jalan Malioboro tidak pernah tidur. Sejak subuh sudah dipenuhi pedagang yang menata lapak. Berbagai macam pakaian etnik khas Jogja, barang kerajinan kulit, kalung-kalung dari batu atau kayu; dijajakan dengan harga miring. Agak siang sedikit, toko-toko mulai buka pintu. Jika malam tiba, toko-toko dan pedagang kaki lima tutup, pedagang makananlah yang menguasai jalanan ditemani oleh para pengamen-pengamen sampai subuh menjelang.

Madubronto

Jalan Madubronto, lebih dikenal “Madubronto” adalah alamat letak rumah kontrakan Emha Ainun Nadjib, sebuah rumah petak berdinding separo tembok dan sisanya “gedek” (anyaman bambu) yang warna catnya sudah tidak jelas lagi. Kusam. Di sana sini cat yang seharusnya melindungi tembok telah mengelupas.

“Puasa” Di Hari Raya

Lebaran pun tiba. Hari kemenangan yang ditunggu-tunggu telah datang. Subuh-subuh saya berangkat ke alun-alun Utara, tepat di depan sebelah utara Kraton Ngayogyakarta, atau sebelah timur Masjid Besar Kauman. Karpet-karpet plastik telah tertata, garis shaf dipasang tali rafia memanjang. Yang tak kebagian karpet, disediakan kertas-kertas koran yang masih menumpuk di pinggir shaf. Usai salat Idul Fitri, saya segera pulang ke Patangpuluhan. Cak Nun sudah terlihat rapi. Entahlah, tadi ikut salat id di mana.

Ngelmu

Eropa. Malam hari. Sekian puluh tahun lalu. Emha menyusuri jalanan, sebagaimana yang biasa dilakukan di Yogya. Jalan kaki. Para pengemis dan gelandangan sudah menata karpet usang sebagai tempat tidur di emperan toko atau gedung-gedung.

Sekelompok orang mendekati Emha, mungkin mau merampok. Emha terpojok di sudut gedung. Lalu dikeluarkan dompet, entah apa yang diambil lalu dimasukkan ke dalam mulut. Orang-orang memperhatikan. Emha menjulurkan lidah, lalu di ambil dan sengaja dipamerkan kepada orang-orang. Orang-orang terkesima.

Rawon Kangkung

Pasar Legi hanya seratusan meter ke arah timur dari rumah Patangpuluhan. Sebuah pasar tradisional yang sangat ramai dan sibuk sejak subuh sampai siang menjelang sore. Pagi hari sangat pas untuk cari sarapan; nasi gudeg, kue lopis, gethuk, cenil atau nasi ketan.

Nasi ketan dengan campuran biji kedelai dan parutan kelapa merupakan salah satu makanan yang disuka Emha. Maka tidak akan lupa jika adik-adik Emha ke pasar pasti akan menyempatkan membeli beberapa pincuk.

Makan, Rek!

Nabi menganjurkan “berhenti makan sebelum kenyang” tepatnya untuk orang-orang yang makannya suka berlimpah. Emha sendiri lebih banyak “berhenti makan” dan akrab dengan rasa lapar. Bahkan ibunya Emha (alm. Halimah, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya) “membiarkan” Emha tidak berpuasa di bulan ramadan karena tiap hari adalah “puasa.” Puasa yang dimaksud ibunya bukan sekedar makan minum, namun puasa-puasa yang lain.

Ditagih Tulisan

Emha dan saya masuk ke dalam. Dua atau tiga wartawan Jawa Pos bergantian menulis di depan komputer. Fasilitas komputer hanya ada dua. Satu komputer dipakai Anto untuk mengirim berita atau artikel via modem ke kantor pusat di Surabaya. Fasilitas email untuk menerima atau mengirim berita belum lazim dipakai. Tak lama kemudian Emha ke meja komputer sambil membawa cangkir kopi dan rokok. Hanya hitungan dua batang rokok dan setengah cangkir kopi, naskah kolom untuk dimuat Jawa Pos esoknya, Senin, sudah kelar.

Bukan Pembaca Yang Baik

Emha bukanlah pembaca yang baik. Maksudnya adalah, bahwa Emha tidak akan membaca buku terlebih dahulu jika akan menghadiri suatu undangan sebagai pembicara, misalnya. Bahkan kadang acara bedah buku-pun hanya dibaca sekilas. Buku bagi Emha adalah ilmu masa lalu. Emha memetik ilmu-ilmu baru yang diberikan gratis oleh Tuhannya.