Tagged Patangpuluhan

Emha, Cak Nun atau Mbah Nun?

Belakangan, ketika tulisan-tulisan tuturan saya diposting ulang oleh banyak orang di media sosial, dengan atau tanpa menyebut sumber tulisan saya, ada beberapa yang memprotes “kekurangajaran” saya yang hanya meng-Emha-kan Cak Nun. Saya memaklumi dan menyadari soal unggah-ungguh yang diungkap oleh beberapa pembaca tulisan saya. Hari-hari berlalu, tahun-tahun pun berganti. Semakin banyak anak-anak usia muda yang mencintai dan mentakdzimi Cak Nun.

Menangis Di Depan Ka’bah

Mas Toto dikenal sebagai salah satu kawan setianya Cak Nun, meski sejak lama dianggap kurang religius, sehingga sering-sering dicap sebagai Islam-Abangan, namun belakangan, akhir-akhir ini, mungkin berjalan sepuluh tahun, kehidupannya sangat religius. Acara yang diadakan di kampung kelahirannya ini sebagai bentuk berbaktinya seorang anak shaleh terhadap orang tuanya. Slametan, mengirim doa-doa kepada leluhur yang telah lama meninggal.

Tamu Dari Malang

Rumah Patangpuluhan menghadap ke selatan, halamannya lumayan luas, tanah berpasir tanpa pagar pembatas dengan jalan, Jl. Madubronto. Di sisi kiri dibatasi tembok terdapat lahan kosong, sering digunakan untuk parkir sepeda pancal dan sepeda motor orang-orang berbelanja di Pasar Legi; sisi sebelah kanan, gang kecil menembus rumah-rumah perkampungan di belakang.

Penabuh Gong

Di ruang tengah orang-orang sudah berkumpul. Ruangan yang tidak terlalu luas, terasa sumpek. Di atas tikar dan karpet, berderet gelas-gelas kopi dan teh, aroma nikmat dihantarkan uap panas kehirup orang-orang. Satu dua orang berebut kopi. Ternyata tehnya kurang laku. Asap rokok memenuhi langit-langit. Berserak beberapa jilid tipis draft naskah monolog.

Memang seminggu sebelumnya, Mas Toto mengetik undangan. Para penghuni rumah Patangpuluhan, dan beberapa orang yang diundang ditanyai oleh Mas Toto satu persatu. Ada hajatan besar, membentuk komunitas dan merencanakan pentas musik dan teater. Pertanyaan Mas Toto sederhana, ikut bergabung membesarkan komunitas dan rencana-rencana pentas atau tidak ikut.

Mas Toto Merangsek

Semula Cak Nun dan Mbak Via, istri Cak Nun (Novia Kolopaking), memang tidak mengikutsertakan Mas Toto dalam rombongan KiaiKanjeng dan crew untuk beribadah umrah. Semua bertanya-tanya, Mas Toto itu agamanya apa. Maksudnya, meski dalam kolom agama di KTP tertulis Islam, tetapi, maaf, Mas Toto sangat ‘tidak jelas.’ Cak Nun dan Mbak Via ragu untuk menawarkan kepada Mas Toto.

Tentu saja Cak Nun sangat kaget dan hatinya gembira dengan rengekan Mas Toto di atas. Ini surprise. Mas Toto sangat serius memohon diikutsertakan ziarah ke Tanah Suci. Bagi Cak Nun, Mas Toto adalah sahabat yang sangat setia. Ketika jelang reformasi dan sesudahnya, banyak kawan-kawan Cak Nun, baik dari kalangan seniman, maupun aktifis kebudayaaan menebar fitnah, bahwa Cak Nun menerima dana yang sangat banyak dari Pak Harto, Mas Toto memilih menemani Cak Nun dan kawan-kawan lain di Komunitas KiaiKanjeng.

Mas Toto

MasToto merupakan orang kepercayaan, bahkan boleh disebut sebagai “anak” kesayangan YB Mangunwijaya.YB Mangunwijaya atau Romo Mangun, adalah seorang Pastur, seorang Imam Katholik,bahkan lebih banyak beraktifitas sebagai seorang seniman. Pelaku kebudayaan. Beberapa karya novelnya telah diterbitkan dan mendapat sambutan yang sangat bagus dari pembacanya. Romo Mangun juga seorang insinyur arsitek dan dosen di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Sebuah perkampungan kumuh di sepanjang bantaran Kali Code, dirancang bangun, tertata dan menjadi layak huni. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu, dicat warna warni, dengan sentuhan Art Color. Sangat artistik.

Pacar Markesot

Rupanya, Markesot sedang menerima tamu seorang wanita, putih bersih, berpakaian rapi. Sangat kontras dengan tongkrongan Markesot. Badan gempal, kulit gelap, rambut agak gondrong awut-awutan. Di atas bibir dihiasi kumis yang tumbuhnya tidak rata, tak beraturan.

Usia Markesot sudah tak muda lagi, empat puluhan, jelang lima puluhan tahun. Perempuan yang duduk di samping Markesot, saya perkirakan tidak terlalu jauh usianya, mungkin lebih muda satu atau dua tahun.

Bengkel Markesot

Dalam kehidupan keseharian Markesot memang sering menjengkelkan. Perbedaan kultur dan budaya preman ikut mewarnai. Saya seringkali berantem omong. Masalahnya juga hal remeh, bukan prinsip. Saking ngeyel-nya saya, entah masalah apa, tiba-tiba Markesot mengeluarkan simpanannya, yang sangat dirahasikan. Semua terkesiap. Sebilah celurit diambil dari lemari pakaian. Lha kok ada celurit. Padahal lemari tersebut digunakan bersama untuk menyimpan pakaian. Pakaian saya juga ada di lemari itu.

Guk Nuki Atawa Markesot

Tersebutlah nama Guk Nuki sebagai kawan main Guk Nun sejak kecil. Bukan teman sekolah, karena Guk Nuki sendiri tidak tamat sekolah tingkat dasar. Bisa jadi semacam teman “nakal.” Teman mencuri mangga milik tetangga, memindahkan sandal ke tempat tersembunyi sesama kawan di langgar. Atau, mengikat sebutir garam dengan benang lalu dimasukkan ke mulut kawannya yang sedang tidur, jika garam dikecap secara perlahan benang diangkat. Kenakalan yang sungguh mengasyikkan. Sampai kini Guk Nuki dan Guk Nun masih berkawan sangat karib.

Markesot Mendebat

Di tengah perbincangan serius, tiba-tiba Markesot menyela dan menyanggah. Sanggahan dan debatnya sangat tidak konteks dengan apa yang menjadi perbincangan.Selalu saja berulang. Siapa saja yang berbicara selalu berhadapan dengan Markesot. Beberapa mahasiswa dibuat jengkel. Bagi mahasiswa, kalimat-kalimat Markesot tidak tersusun secara sistematis, vulgar dan sangat kampungan.

Cak Nun yang juga melingkar di antara “jamaah Yasinan” menyungging senyum, mripat-nya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan para hadirin dan berhenti ke orang yang terlihat sangat emosional. Sesekali Cak Nun meninggalkan forum masuk ke bilik pribadinya. Siapapun tahu, Cak Nun meneruskan beberapa tulisan yang tertunda, dan semuanya dibatasi oleh deadline beberapa surat kabar dan majalah. Tulisan kolom untuk media-media cetak: Surabaya Post, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Yogya Post, Suara Merdeka, Wawasan, Tempo, Suara Pembaruan, dst.