Emha, Cak Nun atau Mbah Nun?

seri patangpuluhan edisi 29

SEPULUH TAHUN lalu saya menulis pengalaman bergaul dan hidup bersama di Patangpuluhan dengan Cak Nun. Tulisan tersebut saya sebar terbatas dalam message inbox facebook. Beberapa kawan menyarankan agar tulisan tersebut diangkat dalam media online supaya bisa dibaca oleh masyarakat luas, terutama Jamaah Maiyah Nusantara. Kemudian oleh Komunitas Kenduri Cinta disediakan rubrik mingguan Patangpuluhan.

Dalam tulisan-tulisan tersebut secara konsisten saya menggunakan kata “Emha” untuk menceritakan kisah-kisahnya, namun dalam kutipan-kutipan dialogis, saya menggunakan kata “Cak Nun”. Bukan tanpa alasan ketika saya meng-Emha-kan Cak Nun dalam tulisan tersebut. Media-media cetak tahun 1990-an, selalu menulis nama panggilan “Emha” dalam media mereka, juga dalam pergaulan-pergaulan di Yogya, hanya orang-orang terdekat yang memanggil “Cak Nun”, selebihnya memanggil “Mas Emha”, “Pak Emha” atau yang seumuran dengan beliau memanggil “Emha” saja, tanpa embel-embel Mas atau Pak. Sampai detik ini, Umbu Landu Paranggi selalu memanggil: “Em….” Juga kawan-kawan lama yang lain, Halim HD misalnya.

Belakangan, ketika tulisan-tulisan tuturan saya diposting ulang oleh banyak orang di media sosial, dengan atau tanpa menyebut sumber tulisan saya, ada beberapa yang memprotes “kekurangajaran” saya yang hanya meng-Emha-kan Cak Nun. Saya memaklumi dan menyadari soal unggah-ungguh yang diungkap oleh beberapa pembaca tulisan saya. Hari-hari berlalu, tahun-tahun pun berganti. Semakin banyak anak-anak usia muda yang mencintai dan mentakdzimi Cak Nun.


PERTENGAHAN RAMADHAN tahun lalu, seorang kawan dari Sumatera tiba-tiba datang menemui saya di Jakarta.

“Saya perlu ngomong!”

“Ngomong apa?”

“Nanti, sekalian buka puasa!”

“Sekarang…!”

“Kecut, tidak bisa ngrokok!”

Sore itu, saya berboncengan mengendarai sepeda motor ke sebuah Warteg. Ya, Warteg, bukan cafe lho ya. Kere hore.

“Tulisanmu elek!” Serangnya. Baru saja duduk di bangku warteg, adzan belum terdengar. Mulut makin terasa asam.

“Tulisan apa?”

“Itu, tulisanmu di website Kenduri Cinta!”

“Materinya, bahasanya, atau apanya yang elek?”

“Saya tidak menemukan itu sebagai tulisanmu?”

“Asli, itu tulisan saya!”

“Ya, tapi elek!” Kembali kata “elek” menjadi repetitis. Diulang-ulang.

Adzan Magrib menggema dari speaker televisi di Warteg. Puji Tuhan. Terselamatkan. Kami disibukkan dengan pesan makanan dan minumannya masing-masing. Tak ada dialog.

Masih di Warteg. Ada ‘kewajiban’ ngopi. Lalu rokokpun disulut.

”Menulis tak perlu kenés, tidak boros kata-kata!”

“Contohnya?” Saya tantang dia.

“Joko Widodo, atau yang lebih dikenal Jokowi”.

“Tulisan saya tak menyebut Jokowi.”

“Itu contoh pemborosan. Pembodohan. Media-media selalu bikin kesalahan itu, cukuplah ditulis Joko Widodo atau Jokowi saja. Emangnya mau dimuat dimana?”

“Apa hubungannya dengan tulisan saya?”

“Pertama, ini selalu berulang, kalimat: Emha Ainun Nadjib, atau lebih sering disebut Cak Nun— adalah kalimat pembodohan kepada pembaca. Apalagi tulisan itu dimuat di media intern, cukuplah menyebut Cak Nun saja, atau Mbah Nun!”

“Lalu?”

Rokok kedua dinyalakan. Kopi tinggal separo.

Terus, ini kedua ya, kalimat-kalimat pendekmu yang memikat itu, hilang!”

“Saya menulisnya buru-buru, dan sering bad-mood! Saya berusaha ngelés.

Kawan saya ini amunisinya masih banyak. Siap diledakkan.

“Ketiga, kesalahan penulis yang tak termaafkan, mengulang kata-kata untuk kalimat-kalimat panjang!”

“Repetisi?”

“Tepat!”

“Apalagi?”

“Sudah sering kita diskusi, yang benar itu pegulat bukan penggulat!”

“Tak ada kata-kata itu!”

“Yang benar itu pegiat bukan penggiat!”

“Oh, penggiat Kenduri Cinta?”

“Salah!”

Warung makin sepi pengunjung. Tak enak berlama-lama.

“Nanti dilanjut!” Katanya, sambil membayar makanan sendiri. Egois. Brengsek.


SAYA PERNAH menulis, tentang Mbah Lim yang menempeleng santrinya yang bertugas sebagai  MC dalam acara yang mengundang Cak Nun. Gara-garanya, santri pembawa acara memanggil Cak Nun dengan panggilan “Bapak Emha Ainun Nadjib”. Bagi kalangan umum, tidak ada kesalahan apapun sebutan tersebut. Tapi tidak bagi Mbah Lim.

“Panggil Mbah Nun!, itu yang benar, jangan Bapak Emha Ainun Nadjib!”

“Nggih, Mbah….”

Itu kejadian sekian puluh tahun lalu, sebelum nama panggilan “Mbah Nun” dikenal sebagaimana sekarang, para anak cucu Jamaah Maiyah, menyebutnya.

Di kalangan nahdliyin, Mbah Lim, di kala masih sugeng, sangat dihormati. Bahkan oleh Gus Dur sendiri. Secara organisatoris kepengurusan NU, tak ada nama Mbah Lim. Mbah Lim digolongkan sebagai Kyai Khos.

Salah satu muridnya diberi amanah untuk mendirikan pesantren di Bandar Lampung, seorang dosen bertitel doktor Ilmu Hukum, yang mengajar di IAIN Raden Intan, Dr. Mustofa Wagianto. Kami terbiasa memanggilnya sebagai Pakde Mus. Ada yang menyebut Pakde Mus ini, dulu, sebagai “gurunya” Sabrang, bahkan Cak Nun sendiri baru tahu tentang itu belakangan.

Sebagai santrinya Mbah Lim, Pakde Mus pun sangat takdzim dengan Cak Nun. Sejak lama, Pakde Mus selalu memanggil Cak Nun dengan panggilan Mbah Nun.

Tahun 2009, saat berlangsungnya resepsi pernikahan Sabrang dengan Uchie di Monjali, Yogyakarta, Pakde Mus yang “menjaga” selama prosesi acara berlangsung. Ngumpet di pojokan lapangan yang gelap, berdzikir sampai acara usai, agar hujan tidak turun. Akan sangat riskan jika hujan turun, letak geografis Monjali yang menyorok lebih rendah dari jalanan sekitar, akan “menampung” aliran air hujan sehingga tergenang. Allah Maha Menjaga, berkat doa-doa dan dzikir Pakde serta seluruh hadirin dan hadirat undangan, terkabulkan. Acara lancar hingga usai.


“Kalau menulis lagi, kirim ke saya dulu!”

“Untuk apa?”

“Ya, untuk dibaca!”

“Kok?”

“Supaya kesalahan-kesalahan kecil tak terulang!”

“Oke!”

Percayalah, dia di pedalaman Sumatera, tidak akan baca tulisan ini.