Berpuasa Agar Tidak Hancur

DALAM PENGERTIAN secara sempit, puasa difahami sebagai ibadah yang sempit dan dikerucutkan menjadi menahan lapar dan haus. Hakikat utama sebenarnya berpuasa adalah meletakkan sesuatu pada porsi yang tepat, waktu yang tepat, dan tempat yang tepat.

Secara alamiah, makhluk hidup selalu melakukan puasa tanpa disadari. Ambil contoh kondisi manusia yang paling suci yaitu disaat manusia masih bayi. Bayi menerapkan puasa sebenar-benarnya puasa. Bayi akan menangis jika lapar, akan berhenti makan dan minum jika kenyang. Secara fisik, bayi tidak akan pernah menimbun makanan. Secara mental bayi tidak akan pernah khawatir akan makanan hari esok. Pokoknya dia butuh makan dia makan, kalau kenyang dia berhenti. Hal ini juga berlaku dalam makhluk lain ciptaanNya.

Sekarang puasa menjadi ritual ibadah yang sangat sempit difahami, yang apabila manusia melakukannya maka manusia itu bisa dilabeli sebagai orang yang memiliki ke-alim-an yang tinggi. Padahal puasa itu seharusnya merupakan ibadah yang secara alam bawah sadar sudah kita lakukan, layaknya kita bernafas, layaknya jantung berdetak tanpa kita perintah. Jadi syarat utama ketentraman hidup manusia adalah mengetahui dan mengenal kembali puasa dalam dirinya.

Bisa diperlebar menjadi pola hidup manusia modern. Manusia modern melakukan pekerjaannya sehari-hari seringkali tidak menyesuaikan dirinya dengan puasa. Sebagai contoh, mereka hidup dalam pola tergesa-gesa, dalam pola menimbun harta dengan landasan “jaga-jaga kalau besok ada apa-apa” maka batasan dirinya, puasanya akan bias. Seberapa besar dia harus menimbun hartanya, kapan ia istirahat, kapan ia bekerja kembali. Betapa banyak kita ambil contoh manusia bunuh diri karena overwork, banyak yang melarikan diri ke hiburan-hiburan “gelap” karena stress alibat penatnya pekerjaan, atau bahkan karena hartanya yang berlebih. Ada metode-metode yang bisa kita lakukan untuk mengenal kembali puasa dalam diri. Tentu metode yang dilakukan tidak selalu menjawab dan mendapatkan nilai atau hasil akhir yang nyata atau kongkrit 100 persen.

Secara ilmu pengetahuan, kita memahami ruang dan waktu. Berapa tinggi kita, berapa berat kita. Kalau dengan tinggi dan berat kita, maka kita akan tau seberapa banyak  sebaiknya kita makan. Mudahnya kita mengkalkulasi diri kita sendiri dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan kita tentukan batas atas dan batas bawah nilai puasa kita. Contohnya adalah makanan, mungkin bisa ditambah jumlah penghasilan, waktu bekerja, waktu bersama keluarga, waktu sendiri, jatah berbagi dan lain sebagainya.

Puasa juga bisa kita ambil nilainya untuk menemukan tugas khusus kita di dunia yang sudah di fitrahkan Allah. Sembari kita melakukan itu, bungkus kalkulasi itu semua dalam bungkusan keyakinan bahwa Allah yang menentukan batasan setiap orang, Allah yang maha berkalkulasi, Allah yang maha berpuasa. Sedari kecil, nilai-nilai itu harus sudah mulai kita perhitungkan supaya seiring berjalannya waktu kita sudah benar-benar mengenal puasa, sudah benar-benar kenal dengan cara kerja puasa, sudah benar-benar mengenal diri kita sendiri, dan bagaimana fitrah kita. Kehancuran peradaban adalah akibat dari ketidak pahaman suatu bangsa, baik sistem nya, rakyatnya, akan puasa. Seharusnya dia tidak berlebih-lebihan, dia malah berlebih-lebihan. Tidak paham, tidak mau paham, dan mungkin tidak peduli, pokoknya selama dia bisa dan boleh, dia embat, dia makan, dia timbun, dia monopoli. Dari sikap perorangan yang sedemikian rupa seperti itu, bisa menular ke sistem dan tatanan yang lebih luas lagi. Maka akan hancur peradaban jika hakikat puasa yang sebenarnya sudah kita miliki, tidak kita pahami lebih dalam.

Kebahagiaan berfikir juga ditentukan oleh seberapa paham dirinya dengan puasa berfikir. Seberapa besar frame waktu berfikirnya. Apa yang harus dia pikirkan untuk masa depan yang masih entah ada atau tidak, dana apa yang dia harus pikirkan untuk masa lalu yang sudah pasti menjadi tempat terjauh yang kemungkinan tidak bisa kita jangkau lagi. Dalam buku La-Tahzan, ilmu yang bisa kita petik nilainya dalam frame berfikir adalah “Hiduplah untuk hari ini”. Ilmu itu secara tidak langsung memframe waktu dan energi pikiran kita hanya untuk hari ini. Dari semenjak dia bangun tidur sampai dia tertidur kembali. Ada parameter jelas, dan mungkin pembagian nilai yang tepat antara masa sekarang, masa depan, dan masa lalu. Setiap orang tentu mempunyai nilianya masing-masing sesuai proporsi fitrahnya.

Yang paling mencolok mata dan membisingkan telinga adalah kebebasan berependapat yang sudah kita banyak lihat di internet. Setiap orang memiliki hak yang sama di internet yaitu, hak untuk telanjang bulat. Mereka boleh dan berhak bertelanjang bulat di internet, tanpa puasa kebanyakan netizen memang suka bertelanjang bulat. Menjadi apa adanya, mengutarakan “kebenaran” relatif tanpa puasa waktu, kata, sikap, ilmu. Dengan dalil “apa yang saya anggap benar, akan saya utarakan” tidak melihat bagaimana efek lanjutannya, bagaimana api dan abu nya. Puasa, ambil semua informasi, cari duduk perkara dengan baik, utarakan dengan santun, dan bertanggung jawab. Jika perlu untuk meminimalisir api dan abu nya, utarakan langsung gagasan di depan orang nya. Miskalkulasi kita dalam nilai puasa, mentrigger diri kita untuk menjadi tidak terkontrol, dan uniknya, mentrigger orang disekitar kita untuk tidak terkontrol juga.

Puasa mau tidak mau menjadi bekal utama dalam peradaban dan kebahagiaan hidup. Tentu sekali lagi nilai puasa sudah ada dalam diri kita. Kita tinggal mencerna ulang kembali, mendalaminya kembali, pendekatan secara intens dengan puasa diri.