By Munzir Madjid

Bertudung Waste Container

Menginjak tahun 2020, Kenduri Cinta mengawali hajatan tidak sebagaimana biasa. Menggeser jadwal bukan dalam satu atau dua hari, namun melompat ke hari kerja para pegawai kantoran, yakni di hari Selasa, 14 Januari 2020. Bahwa jadwal default-nya Kenduri Cinta adalah hari Jumat pekan kedua. Monthly schedule ini sangat melekat di kepala setiap orang (jamaah) maiyah di mana pun, sehingga mereka akan gampang menjawab pertanyaan: tiap hari apa acara Kenduri Cinta diadakan?

Arena Tinju Pak Nevi

Persahabatan Pak Nevi dengan Cak Nun sejak usia sangat belia. Pak Nevi dan Pak Joko Kamto, yang tergabung dalam Karawitan Dipowinatan, sebagai cik

Bercinta Selama 18 Tahun

Bagi penggiat, Maiyahan di Kenduri Cinta sesungguhnya adalah interaksi sosial antar mereka, untuk berdiskusi, mengolah tema, mengevaluasi kinerja acara-acara sebelumnya, mewacanakan pelatihan-pelatihan untuk kalangan internal maupun untuk simpul-simpul maiyah yang lain, dalam bentuk workshop desain poster, storytelling, –yang sudah dijalankan beberapa hari lalu– selanjutnya diramu, diolah, atau bahkan diperdebatkan dalam forum mingguan, yang kami menyebutnya “Reboan” setiap hari Rabu sepulang kerja di teras Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, di pusat kota Jakarta.

Emha, Cak Nun atau Mbah Nun?

Belakangan, ketika tulisan-tulisan tuturan saya diposting ulang oleh banyak orang di media sosial, dengan atau tanpa menyebut sumber tulisan saya, ada beberapa yang memprotes “kekurangajaran” saya yang hanya meng-Emha-kan Cak Nun. Saya memaklumi dan menyadari soal unggah-ungguh yang diungkap oleh beberapa pembaca tulisan saya. Hari-hari berlalu, tahun-tahun pun berganti. Semakin banyak anak-anak usia muda yang mencintai dan mentakdzimi Cak Nun.

Tiupan Seruling Yang Menyentuh Hati

Semula di KiaiKanjeng tak ada tiupan sulingnya. Kebutuhan bunyi-bunyian suling bambu diganti dengan flute, sama-sama alat musik tiup yang terbuat dari logam atau kayu. Namun, kebutuhan musikal KiaiKanjeng untuk lagu-lagu bergenre arabic dan melayu  menjadikan alat musik tiup suling menjadi penting, karena alat tiup flute tidak mampu secara maksimal memenuhi kebutuhan itu. Adalah Pak Toto Rahardjo yang “menemukan” Pak Is di helatan perunjukan-pertunjukan musik dangdut di Yogyakarta. Pak Toto “menyodorkan” kehebatan Pak Is ke hadapan kawan-kawan personil KiaiKanjeng, lalu diajak ke beberapa acara, sehingga akhirnya menjadi pemusik tetap di KiaiKanjeng.

Jum’at Pekan Kedua

Adalah Adil Amrullah, salah satu adik kandung Cak Nun yang menyeret Cak Nun untuk berkeliling ke pelosok-pelosok Ibukota Jakarta menebarkan harapan-harapan dan optimisme baru kepada masyarakat kecil. Adil Amrullah, kemudian membentuk wadah Himpunan Masyarakat Shalawat, disingkat sebagai HAMAS, sebagai pusat manajemen kegiatan acara-acara Cak Nun. Dibantu pelantun-pelantun shalawat, antara lain: Haddad Alwi, Zainul Arifin (alm), Sudrun, dan Muhammad Adib. Sesekali menyertakan juga beberapa personel KiaiKanjeng dengan peralatan musik minimalis, yang kemudian dikenal dengan sebutan Mini Kanjeng.

Tahun 1997, usai menikah dengan Novia Kolopaking, Cak Nun lebih banyak tinggal di Jakarta, di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Agar lebih terkoordinasikan, Kantor Sekretariat HAMAS mengontrak rumah tidak jauh dari tempat tinggal Cak Nun. Singkat cerita, Reformasi 1998 bergulir, satu hari setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden, Cak Nun memutuskan untuk kembali terjun ke pelosok-pelosok daerah di Jakarta juga di daerah lain di Indonesia, untuk kembali Shalawatan. Karena Cak Nun menyadari, gerakan Reformasi 1998 hanya omong kosong belaka.

Menangis Di Depan Ka’bah

Mas Toto dikenal sebagai salah satu kawan setianya Cak Nun, meski sejak lama dianggap kurang religius, sehingga sering-sering dicap sebagai Islam-Abangan, namun belakangan, akhir-akhir ini, mungkin berjalan sepuluh tahun, kehidupannya sangat religius. Acara yang diadakan di kampung kelahirannya ini sebagai bentuk berbaktinya seorang anak shaleh terhadap orang tuanya. Slametan, mengirim doa-doa kepada leluhur yang telah lama meninggal.

Tamu Dari Malang

Rumah Patangpuluhan menghadap ke selatan, halamannya lumayan luas, tanah berpasir tanpa pagar pembatas dengan jalan, Jl. Madubronto. Di sisi kiri dibatasi tembok terdapat lahan kosong, sering digunakan untuk parkir sepeda pancal dan sepeda motor orang-orang berbelanja di Pasar Legi; sisi sebelah kanan, gang kecil menembus rumah-rumah perkampungan di belakang.

Penabuh Gong

Di ruang tengah orang-orang sudah berkumpul. Ruangan yang tidak terlalu luas, terasa sumpek. Di atas tikar dan karpet, berderet gelas-gelas kopi dan teh, aroma nikmat dihantarkan uap panas kehirup orang-orang. Satu dua orang berebut kopi. Ternyata tehnya kurang laku. Asap rokok memenuhi langit-langit. Berserak beberapa jilid tipis draft naskah monolog.

Memang seminggu sebelumnya, Mas Toto mengetik undangan. Para penghuni rumah Patangpuluhan, dan beberapa orang yang diundang ditanyai oleh Mas Toto satu persatu. Ada hajatan besar, membentuk komunitas dan merencanakan pentas musik dan teater. Pertanyaan Mas Toto sederhana, ikut bergabung membesarkan komunitas dan rencana-rencana pentas atau tidak ikut.

Mas Toto Merangsek

Semula Cak Nun dan Mbak Via, istri Cak Nun (Novia Kolopaking), memang tidak mengikutsertakan Mas Toto dalam rombongan KiaiKanjeng dan crew untuk beribadah umrah. Semua bertanya-tanya, Mas Toto itu agamanya apa. Maksudnya, meski dalam kolom agama di KTP tertulis Islam, tetapi, maaf, Mas Toto sangat ‘tidak jelas.’ Cak Nun dan Mbak Via ragu untuk menawarkan kepada Mas Toto.

Tentu saja Cak Nun sangat kaget dan hatinya gembira dengan rengekan Mas Toto di atas. Ini surprise. Mas Toto sangat serius memohon diikutsertakan ziarah ke Tanah Suci. Bagi Cak Nun, Mas Toto adalah sahabat yang sangat setia. Ketika jelang reformasi dan sesudahnya, banyak kawan-kawan Cak Nun, baik dari kalangan seniman, maupun aktifis kebudayaaan menebar fitnah, bahwa Cak Nun menerima dana yang sangat banyak dari Pak Harto, Mas Toto memilih menemani Cak Nun dan kawan-kawan lain di Komunitas KiaiKanjeng.