Bertudung Waste Container

MENGINJAK tahun 2020, Kenduri Cinta mengawali hajatan tidak sebagaimana biasa. Menggeser jadwal bukan dalam satu atau dua hari, namun melompat ke hari kerja para pegawai kantoran, yakni di hari Selasa, 14 Januari 2020. Bahwa jadwal default-nya Kenduri Cinta adalah hari Jumat pekan kedua. Monthly schedule ini sangat melekat di kepala setiap orang (jamaah) maiyah di mana pun, sehingga mereka akan gampang menjawab pertanyaan: tiap hari apa acara Kenduri Cinta diadakan?

“Pelanggaran” jadwal ini seolah persambungan—continuity— dari “kesalahan” pada bulan ke sebelas tahun lalu, Kenduri Cinta berlangsung pada hari Sabtu, 16 November 2019. Ketidakbiasaan ini menjadi kerja tambah para penggiat Kenduri Cinta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para nitizen di ranah sosmed: instagram, facebook atau twitter.

Meski sebenarnya sejak awal bulan akun media sosial resmi Kenduri Cinta telah panjang lebar menginformasikan bahwa acara di awal tahun ini berlangsung tidak seperti biasanya, bukan di hari Jumat, disebabkan pada hari tersebut berbarengan dengan acara maiyahan lain: Jumat pekan kedua Cak Nun berada di Jawa Timur untuk rangkaian Maiyahan mulai dari Padhangmbulan di Menturo kemudian berlanjut Bangbang Wetan dan Sinau Bareng bersama Bonek di Surabaya, sementara pada Jumat seminggu berikutnya berbenturan dengan pitulasan di Yogyakarta, Mocopat Syafaat.

Tak pelak lagi, untung dapat diraih, pertanyaan tak dapat ditolak. Jamaah Kenduri Cinta, adalah pemilik sah Kenduri Cinta. Sehingga menjadi hal yang wajar ketika berondongan pertanyaan muncul di kolom komentar akun media sosial ofisial: “Tidak salah jadwal Min?”

Yang lain menggugat:
“Lho, kok hari Selasa?”

Begitulah.

JUMAT SORE saya mlipir, mengontak Gandhie tentang keberadaan Cak Nun, apakah Cak Nun akan hadir atau tidak. Tentu saja tidak vulgar, tidak dengan menodong pertanyaan kampungan: “Cak Nun hadir tidak?”. Jujur saja, saya dan semua orang, jamaah Kenduri Cinta, termasuk para penggiat, dalam hati paling dalam, tetap merindukan kehadiran Cak Nun di setiap Kenduri Cinta berlangsung. Saya hanya basa-basi; “Posisi dimana, Gan?”, dijawab; “Di kantor sejak pagi”.

Lha dhalah, ternyata, jam tujuh teng Gandhie sudah ngantor dan pulang menuruti jadwal kantor, jam 5 sore. Mbatin saya, pasti Cak Nun tidak hadir. Indikasinya jelas, Gandhie tidak menemani sejak siang setelah penjemputan di Bandara.

Saya sendiri, juga para penggiat, sudah lulus persoalan hadir atau tidaknya Cak Nun, the show must go on. Bahwa Kenduri Cinta adalah Reboan yang diperluas skalanya, pertemuan rutin penggiat Kenduri Cinta di setiap hari Rabu malam seusai pulang kerja. Namanya juga menggelar forum yang lebih besar, harus dipersiapkan secara matang. Direncanakan segala sesuatunya, dari tema yang akan diangkat, pendalaman materi lalu didiskusikan, mengerucut untuk memilih judul dari usulan-usulan di Reboan. Penyerapan kesemuanya dinarasikan dalam bentuk tulisan, diangkat dalam pengantar, atau Mukadimah.

Tidak mudah untuk menerjemahkan pointer-pointer itu menjadi sebuah desain poster. Keberangkatannya memang dari sebuah judul tema yang dipilih. Arahan-arahan, atau clue, untuk menggapai ide desain, menjadi input keilmuan tersendiri. Kemudian ketika telah tercipta sebuah  desain, masyarakat penikmat bebas menafsirkan. Desain poster menjadi karya seni personal. Ia milik sang kreator dengan reka-reka imajinasinya.

Ada pembagian tugas para PIC Kenduri Cinta –maaf saya sebut PIC biar keren. Tiap bulan ada yang dipilih sebagai Stage Manager, yang mengatur jalannya acara, siapa nara sumber yang akan dikontak, talent mana yang akan dipilih untuk penampil di saat jeda. Ukuran berapa tenda yang dipakai, setinggi berapa levelnya. Apakah utang sound system bulan lalu sudah dibayar lunas, sehingga tidak ada kendala di hari H. Semua dipersiapkan sangat detail.

Banyak yang belum mengetahui isi dapur Kenduri Cinta, sengaja saya ingin sedikit membocorkan kepada sidang pembaca, khusushan Jamaah Maiyah. Harapannya agar semua mafhum bahwa acara maiyahan di simpul manapun, tidak ujug-ujug ada. Semua ikut membersamai, merasa memiliki, bertanggungjawab merawat, menghidupi, ngurip-uripi. Bagaimana caranya? Gampangnya gini, selesai acara, sampah-sampah: puntung rokok, gelas plastik, botol air mineral, yang barusan dikonsumsi sendiri, dibersihkan dan dibuang ke kantong-kantong sampah yamg sudah disediakan. Ketika para penggiat menata terpal karpet, atau menilap, jangan sungkan mengulurkan tangan ikut membantunya. Dapat pahala jariyah lho!

ADZAN ISYA’ beberapa menit lalu terdengar dari masjid komplek rumah. Suaranya keras, tidak merdu dan kurang fasih. Saya sendiri fals jika rengeng-rengeng ngaji atau sholawatan, apalagi menyuarakan adzan. Namun saya bisa menikmati dan menilai soal kemerduan suara dan fasihnya bacaan kalimat berbahasa Arab.

Semenjak sore awan hitam menutupi langit Jakarta. Gerimis belum turun. Tidak terlalu jauh untuk sampai ke Taman Ismail Marzuki di Cikini. Dua puluh menit kemudian kaki sudah melangkah memasuki area yang di sana sini ditutupi bedeng seng. Penataan ulang area TIM belum usai. Debu dan bau semen kering menyambut para jamaah yang mulai berdatangan. Beberapa penggiat telah mengawali acara. Bacaan ayat-ayat suci, sholawat dan wirid akhir zaman dibacakan berurutan. Jamaah mengambil posisi yang paling nyaman, duduk menempati karpet yang telah tergelar, di depan atau sisi kiri kanan panggung. Saya sendiri ambil posisi di belakang panggung. Tak perlu alas untuk duduk bersila, pelataran Teater Besar terhampar plesteran semen yang apik dan resik. Bahkan jika ingin ndlosor rebahan tak perlu takut pakaiannya kotor.

Di atas panggung telah usai sesi awal, beberapa penggiat mengemukakan latar belakang Mukadimah sebagai pengantar tema Kenduri Cinta malam itu. Diskusi interaktif dengan jamaah pun berlangsung. Sejurus kemudian moderator memanggil nama seoarang wanita untuk memperindah suasana, Adiba. Dari belakang panggung penyanyi cantik dan masih belia ini menenteng gitar akustik dengan menyanyikan 4 buah lagu. Pilihan lagunya tepat, easy listening, sehingga menggemalah suara koor jamaah di beberapa bagian lagu ikut bernyanyi.

Belum terlalu lama Ustadz Noorshofa naik ke panggung, moderator baru saja mbeber kloso untuk membuka diskusi sesi selanjutnya, menggemalah suara salawat dari tengah-tengah jamaah. Shallu ‘ala Nabi. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Dari sebelah samping, Cak Nun berjalan menyibak jalan dengan beberapa penggiat yang mengawal di sela-sela tempat duduk jamaah. Ada yang terkaget, malam belum terlalu larut, Cak Nun sudah hadir. Sebagian jamaah mendekat, berebut meraih tangan lalu diciumnya dengan takzim. Jebul prediksiku salah, Cak Nun hadir, mengobati rasa rindu yang memendam.

Saya tetap bergeming, ‘istiqomah’ duduk di belakang panggung, tak berusaha ikut menyambutnya lalu meraih tangannya kemudian bersalaman dengan hangat. Tak sengaja dua bulan ini, Desember dan Januari, menyaksikan Cak Nun dari jauh. Menjaga irama kerinduan. Ini soal roso. Sangat privat. Sampai waktunya tiba. Nanti.

Kembali ke jalannya acara. Cak Nun sendiri tak sempat transit di sisi panggung—sebagimana lazimnya selama ini—tetapi langsung naik ke atas panggung bergabung dengan para penggiat yang bertugas sebagai pengatur lalu lintas forum bulanan di Kota Jakarta ini, dan duduk di samping Ustadz Noorshofa. Cak Nun segera saja menyapa jamaah yang juga tak sabar mendengar suara Cak Nun.

“Tadi saya sama Gandhie dari Cibubur keluar tol dalam kota, ketika memasuki Tebet, seorang polisi menyetop mobil, ditilang soal ganjil-genap”,Cak Nun mengawali kisah yang masih up to date, peristiwa nyata yang baru saja dialaminya. Gandhie yang menemani Cak Nun segera meminggirkan kendaraannya.

“Selamat malam…”, sapa Pak Polisi dengan santun. Jendela kaca perlahan di buka.

“Lho, mau kemana, Cak?” Pak Polisi keburu melihat Cak Nun di jok depan sebelah kiri.

“Mau ke TIM Pak, di sana banyak anak-anak muda. Mereka butuh ditemani…”

Kalimat pembuka yang sangat menarik. Semua menyimak. Ending cerita tidak diselesaikan secara tuntas, tentu sangat mudah ditebak. Pelanggaran aturan pemberlakuan ganjil genap plat nomor polisi yang diselaraskan dengan tanggalan berakhir dengan happy ending. Hukum atau peraturan memang seharusnya tidak bisa diberlakukan secara kaku. Ada yang namanya humanity, empan papan, dan seterusnya.

Cerita tentang Gandhie di atas harus dituntaskan. Gandhie adalah seorang kawan, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang menyedekahkan waktunya, tenaga dan pikirannya untuk menemani Cak Nun. Bukan karena kelebihan waktu (untuk tidak mengatakan pengangguran). Ia seorang pekerja kantoran, perusahaan besar, di level atas, namun uniknya kantornya memberikan semacam privilege, “dilegalkan” untuk tidak rutin masuk kerja tiap hari, karena harus ikut keliling ke sana ke mari, bukan hanya di Dalam Negeri, sering juga jika harus ke Luar Negeri, ya itu tadi, menemani Cak Nun. Soal bagaimana Gandhie bisa “legal” untuk tidak masuk kantor, memang sepertinya ada tirakat khusus. Karena ia sudah berulang kali berganti kantor tempat bekerja, ritmenya tidak berubah.

JARUM JAM lepas dari angka 00:00. Titik-titik hujan air mulai turun dari langit Jakarta. Semakin kerap. Lalu menderas. Jamaah menyesuaikan diri. Merapat ke arah tenda panggung. Sebagian memasuki teras Teater Besar untuk ngiup. Bukan kali pertama di tengah berlangsungnya Kenduri Cinta hujan turun deras. Jamaah Maiyah tetap bertahan.

“Hujan ini,” Cak Nun berhenti sejenak.

Kemudian,

“Anugerah Allah atau bukan?”

“Anugerah…..!” serentak mereka menjawab.

“Mangkel atau tidak?”

“Tidaaak!”

“Mangkel-mangkel dikit gak apa, itu manusiawi!”

Mereka tergelak.

Saya sedikit berlari ke arah bawah tangga Gedung Teater Besar. Cipratan air membasahi celana. Sekelompok anak muda yang menamakan diri Musisi Jalanan Center menendangkan beberapa salawat. Syi’ir i’tiraf karya Abu Nawas yang dulu sering terdengar di masjid-masjid atau langgar (musholla) di kampung menghangatkan suasana hujan yang belum reda. Ilahi lastu lil firdausi ahlaan. Wa’ala Aqwa ‘alan-naril jahiimi. Fahabli taubatan waghfir dzunubi. Fa innaka ghafirudz-dzambil ‘adzimi.

Loyal dan militannya jamaah maiyah tak perlu diragukan. Mereka perlu mendapat apresiasi. Hujan masih mengguyur, terpal karpet warna orange yang semula diduduki diangkat bersama-sama kemudian dijadikan payung raksasa. Di sudut belakang panggung, ada seseorang yang enggan berteduh, tampaknya pilihan tempatnya strategis untuk menyimak jalannya acara, lalu berjongkok meraih tutup box tempat sampah (waste container) dijadikan tudung kepala.

Musisi Jalanan masih meneruskan beberapa lagu. Kawan-kawan penggiat berkeliling sebisanya mengedarkan kardus-kardus bekas dijadikan kotak kencleng. Pasti tidak maksimal. Untuk menjangkau seluruh jamaah sangat tidak mungkin. Hujan masih turun.

“Kok, tega ya ada yang kasih koin recehan dua ratusan?”

“Seikhlasnya kok, Mas!”

“Kok, sering tanya-tanya Cak Nun datang atau tidak?”

“Sudahlah, Mas!”

Baiklah, sudah.