Puncak Tauhid Seorang Kuryoto

“NAMA saya Kuryoto, asli saya dari Tuban tinggal di Pasar Minggu”, Kuryoto memperkenalkan diri. Ia salah seorang jamaah Kenduri Cinta yang pada Maiyahan edisi Januari lalu ikut naik ke panggung ketika Cak Nun meminta beberapa jamaah untuk bersedia menjadi peserta diskusi singkat. Singkat cerita, Kuryoto tergabung dalam salah satu kelompok dan diberi tugas oleh Cak Nun; Mendaftari 5 nama-nama Allah yang ada di dalam Asmaul Husna yang sifatnya berkebalikan dari sifat Allah yang penuh kasih sayang.

Alih-alih menjawab pertanyaan dari Cak Nun, Kuryoto justru “mengkudeta” hasil diskusi kelompoknya dengan curhatan pengalaman hidupnya. Benar atau salah, urusan belakangan. Di Maiyah, kita terbiasa untuk mengambil nilai dari setiap apa yang disampaikan, apapun itu. Tidak terkecuali dengan kisah dari Kuryoto ini.

Biasanya, sering kita menyaksikan ada jamaah yang berkeluh kesah tentang hidup, problem yang sedang dihadapi kepada Cak Nun. Tetapi tidak dengan Kuryoto. Ia justru menceritakan bagaimana ia mampu melalui permasalahan hidup yang dialami, sampai akhirnya ia merasa berhasil melewati cobaan hidup yang baginya adalah ujian dari Allah. “Dulu itu saya merasa, sejak kecil hingga menikah, saya merasa Allah itu tidak adil kepada saya”, Kuryoto mengawali kisahnya.

Kuryoto berkisah, ia lahir dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan, ia hanya tamatan SD. Kedua orang tuanya tidak mampu menanggung biaya sekolahnya. Untuk makan saja, keluarga Kuryoto ini hanya mampu untuk satu hari. Untuk makan keesokan harinya, itu urusan besok. Sampai suatu hari ia bergumam “Allah ini maksudnya apa ya? Kok saya selalu dikasih hidup yang sulit seperti ini? Maunya Allah itu bagaimana sih?”. Dan ia mengakui pernah mengalami momen dimana ia tidak percaya kepada Allah. Atheis.

Sampai ketika ia menikah pun, ia mengakui tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya juga dari kedua orang tua calon istrinya. Gugatan kepada Alah pun kembali muncul dalam hatinya “Ini Allah ndak jelas ini maksudnya…” Setelah menikah, dari kampung halamannya di Tuban, ia kemudian merantau ke Jakarta. Sudah pasti kita bisa menebak, berangkat ke Jakarta justru menambah masalah baginya. Kesulitan ekonomi ia alami lagi, berulang kali mencoba merintis usaha dan gagal sampai bangkrut pernah ia rasakan. Sampai suatu hari salah satu anaknya mengalami kecelakaan dan patah tulang pada tangan kiri, sampai tiga kali.

Mengeluh, sudah pasti. Kecewa, jangan ditanya. Di puncak penderitaan yang ia alami itu, Kuryoto akhirnya pun kembali mengadu kepada Allah; “Sak karepmu lah Ya Allah, babah! Sing penting urip! Babah arep digawe piye, monggo!”

Uniknya, pasca peristiwa itu, kehidupan Kuryoto beranjak membaik, usahanya menjadi lancar, sampai akhirnya ia mampu membeli rumah di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Kuryoto mampu melewati ujian hidup sedemikian rupa dan tetap tangguh, bahkan ia sempat mengungkapkan ia kangen merasakan penderitaan yang dulu ia rasakan.

KURYOTO mengaku, awalnya mengenal Maiyah melalui Youtube. Sudah tidak terhitung berapa banyak edisi video yang ia tonton. Dan ia mengakui bahwa dari Cak Nun lah, yang meskipun ia simak hanya melalui Youtube, tetapi bekal-bekal untuk hidup ia dapatkan.

Saya menebak, gugatan terakhir Kuryoto kepada Allah itu berani ia ungkapkan setelah mendengar cerita Cak Nun mengenai Rasulullah Saw di Perang Badar. Kita sudah hafal bahwa saat itu Rasulullah Saw mengucapkan sebuah kalimat yang menurut saya adalah puncak dari tauhid seorang manusia; In lam takun ‘alayya ghodoblun falaa ubaalii. Asalkan Engkau tidak marah kepadaku ya Allah, aku tidak peduli dengan dunia dan sesisinya.

Siapa yang mengira jika sebenarnya Allah sendiri memang menunggu Kuryoto untuk mengungkapkan hal yang senada dengan apa yang diungkapkan oleh Rasulullah Saw di puncak kebuntuan menghadapi persoalannya di dunia. Pada titik itulah Allah membuktikan kebesarannya, kemurahannya, kasih dan sayangnya. Dan Kuryoto telah membuktikan itu. Bahkan, ia sekarang agak sedikit menantang dengan mengungkapkan bahwa dia terkadang kangen dengan penderitaan yang dulu sangat akrab dengan hidupnya. Mengasyikkan bukan?

Mari kita tengok diri kita masing-masing. Setiap kita, pasti pernah mengalami kebuntuan dalam menghadapi persoalan hidup. Berapa banyak dari persoalan hidup itu yang pada akhirnya juga kita mampu menyelesaikan dan melewatinya dengan baik. Mungkin bisa dikatakan kita sudah lulus ujian dari Allah. Tetapi, seberapa banyak kita menyadari bahwa; Pertama, hanya Allah lah yang memang paling pantas dan layak untuk kita jadikan tempat mengadu. Kedua, bahwa pada setiap kesulitan yang kita hadapi sudah disiapkan jalan keluarnya. Fa inna ma’a-l-usri yusro. Ketiga, ketika kita sudah merasakan bahagia, terkadang kita lupa untuk bersyukur.

Cak Nun di akhir 2019 lalu berpesan kurang lebih seperti ini; Kalau kita beriman kepada Allah itu adalah hal yang wajar, dan sudah semestinya. Tetapi, yang harus kita perjuangkan adalah bagaimana caranya agar kita menjadi manusia yang dipercaya oleh Allah.

Dari kisah Kuryoto tadi, saya sendiri melihat bahwa Kuryoto sudah sampai pada titik dimana dia dipercaya oleh Allah. Setelah serangkaian ujian yang diberikan oleh Allah, bisa jadi Allah merasa bahwa Kuryoto sudah lulus. Maka kemudian sekarang Kuryoto sedang mengalami hidup yang menurutnya membahagiakan. Ia memiliki usaha ekonomi yang sudah berjalan dan menghasilkan, ia memiliki rumah, dan keluarganya juga harmonis. Allah mempercayakan rizki diturunkan kepada Kuryoto.

Dan sekarang, Kuryoto bisa sedikit membanggakan diri. Ketika ada orang datang kepadanya, kemudian mengeluh tentang penderitaan hidupnya, Kuryoto dengan lantang mengatakan; “Lha sengsaramu itu belum ada apa-apanya dibanding saya. Saya ini sengsara dari kecil, tapi hidup saya ini indah-indah saja kok”.

Mungkin, Kuryoto ini salah satu Abu Nawas abad 21. Meskipun nakal, tapi ia tetap sanggup berhubungan mesra dengan Allah Swt.