AVENGER ALMIGHTY

Reportase Kenduri Cinta Januari 2020

Forum maiyahan Kenduri Cinta edisi Januari 2020 diselenggarakan pada hari Selasa, 14 Januari 2020. Ya, bukan Jumat seperti pakem Kenduri Cinta biasanya. Bukan tanpa sebab, rangkaian maiyahan sejak 9 Januari 2020 di Padhangmbulan hingga Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Gelora Bung Tomo Surabaya menjadi alasan sehingga Kenduri Cinta menggeser hari pelaksanaannya pada hari Selasa. Tidak mungkin juga mundur di Jumat ketiga karena bertepatan dengan pelaksanaan Mocopat Syafaat, yaitu pada 17 Januari 2020.

Antusias jamaah tidak berkurang. Plasa Teater Besar tetap dipenuhi oleh para jamaah yang sudah menantikan Kenduri Cinta. Ini yang dinamakan dengan ikatan batin, bahwa di hari apapun acara Kenduri Cinta diselenggarakan, tidak lagi menjadi persoalan.

Tentu perlu penyesuaian yang tak mudah, menghadiri Kenduri Cinta di hari Selasa dan esoknya harus beraktivitas di tempat kerja masing-masing, apalagi di Jakarta. Di simpul induk lain seperti Padhangmbulan dan Mocopat Syafaat misalnya, maiyahan tidak berpatokan pada hari, melainkan tanggal. Nyatanya, jamaah ramai tetap hadir.

Dalam mempersiapkan maiyahan, para penggiat pun tidak berkurang semangatnya. Pelaksanaan acara pada hari kerja tentu perlu siasat khusus. Ada yang mengambil cuti tahunan, ada yang ijin. Sejak pagi, mereka sudah bersiap di plasa Teater Besar Taman Ismail Marzuki, menemani vendor tenda dan panggung menyusun perlengkapan.

Terik matahari menyengat, suhu dan cuaca Jakarta siang itu memang cukup cerah. Tidak terlihat tanda-tanda akan turun hujan. Hari bergerak menuju sore, vendor sound system NEVA tiba di lokasi. Pengeras suara pun ditata, kemudian dirancang sedemikian rupa agar kualitas suaranya memanjakan telinga.

Teman-teman NEVA Sound System bukan orang baru di Kenduri Cinta, mereka telah menemani maiyahan di Jakarta sejak tahun 2000. Peran mereka besar dalam menjaga keberlangsungan 20 tahun perjalanan Kenduri Cinta hingga hari ini.

Jelang Magrib, tata suara telah selesai diatur dari seluruh pengeras suara yang terpasang. Backdrop pun telah dipasang di bagian belakang panggung. Karpet terpal untuk alas duduk telah digelar, keseluruhan persiapan penyelenggaraan Kenduri Cinta telah selesai dirampungkan. Tidak ada bedanya dengan pelaksanaan Kenduri Cinta di hari Jumat, dan memang sudah seharusnya seperti ini. Seperti salah satu nilai hidup di Maiyah yang diajarkan oleh Cak Nun, bahwa kita harus mampu beradaptasi terhadap segala kemungkinan dalam hidup.

Para pedagang yang menjajakan makanan ringan pun mulai menata dagangan mereka, mulai dari peci, wewangian, kaos, buku, kopi, teh, mie seduh, air mineral hingga warung angkringan mulai didatangi jamaah yang memang ingin menikmati makanan yang mereka jual. Warung Angkringan yang sudah menjadi ikon Kenduri Cinta pun sudah melayani pelanggan setia sejak sore hari. Sementara, penggiat Kenduri Cinta pun juga berkumpul di sekitaran Warung Angkringan untuk berkoordinasi tahap akhir sebelum Maiyahan malam itu dimulai. Langit pun menggelap, sementara angin berhembus cukup kencang sehingga suhu udara terasa dingin.

Surat Ar Rahman, kemudian berlanjut Wirid Akhir Zaman dan beberapa sholawat dilantunkan untuk membuka Kenduri Cinta malam itu. Hizbul Wirid Kenduri Cinta yang digawangi oleh Afif Amrullah malam itu menuntun jamaah untuk menyapa Allah dan Rasulullah Saw. Sebuah pijakan awal yang rutin selalu dilakukan di setiap Maiyahan di seluruh Simpul Maiyah. Tidak ada alasan untuk tidak melibatkan Allah dan Rasulullah Saw dalam setiap lini kehidupan kita di dunia, tak terkecuali di Kenduri Cinta ini.

“Orang pinter atau orang yang eksploratif adalah orang punya jiwa ijtihad dan jiwa tafakkur.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

Ridhlo Allah

Sigit Hariyanto bersama Ali Fatkhan dan Wisnu Pujiyantoro memoderasi diskusi sesi Prolog. Adi Pudjo, Hadi dan Pramono Abadi memberi pantikan-pantikan awal sebagai alas Kenduri Cinta malam itu. Jamaah mulai berdatangan, mengambil posisi duduk yang jenak. Tidak sedikit mereka yang juga membeli kopi dan kudapan ringan terlebih dahulu. Tampak beberapa ibu-ibu yang membawa serta anaknya ikut maiyahan di Plaza Teater Besar malam itu. Tidak ada sekat, semua bebas saja memilih ingin duduk di sebelah mana, yang dirasa nyaman dan aman.

Adi Pudjo memantik bahwa tema ini sebenarnya adalah salah satu sifat Allah di dalam Asmaul Husna yang artinya Allah Yang Maha Memberi Balasan. Dalam Al-Qur`an jelas dinyatakan bahwa Allah akan memberi imbalan yang setimpal pada setiap perilaku dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dunia. Hal ini menandakan bahwa pada setiap apa yang kita lakukan akan selalu ada benang merah antara Allah dengan makhluk yang Dia ciptakan.

Sementara itu, Pramono Abadi memberikan pengantar bahwa membalas itu bukan sesuatu yang negatif. Sebenarnya, ini hanya soal sebab akibat. Jika kita melakukan sesuatu akan berdampak sesuatu. Jika kita menanam mangga maka akan tumbuh pohon mangga dan kemudian berbuah mangga.

Dalam Al-Qur`an sendiri sudah ada aturan main kehidupan. Persoalannya adalah bahwa kita tidak bisa benar-benar memahami seperti apa manajemen kehidupan yang Allah susun untuk kita. Sepenuhnya kita hanya bisa menunggu akan diberi balasan seperti apa oleh Allah.

Terkadang kita sendiri yang tidak sabar. Kita menjadi pihak yang mengatur Allah, menagih janji Allah, mempertanyakan mengapa Allah tidak kunjung memberi balasan atau imbalan atas apa yang kita lakukan selama mengabdi kepada Allah. Seolah menjadi terbalik situasinya, manusia yang menagih kepada Sang Penciptanya.

Padahal, secara hakikat semua itu hak prerogatif Allah, bukan hak manusia. Kita selalu lupa dan tidak sadar bahwa Allah Maha Mengetahui, sementara manusia hanya diberi sedikit saja pengetahuan oleh Allah kemudian merasa sudah sangat mengetahui tentang semua hal.

Seringkali, kita sebagai manusia selalu berpikir materialistik. Ketika kita bersedekah uang sekian ratus ribu, logika kita mengatakan bahwa kelak Allah akan membalasnya dengan kelipatan uang yang lebih banyak dari apa yang sudah disedekahkan. Padahal, logika Allah tidak sama dengan logika manusia. Pada titik ini seringkali manusia merasa berhak untuk menagih janji Allah, padahal manusia sama sekali tidak memiliki saham apapun atas dirinya.

Diskusi interkatif dengan jamaah pun berlangsung. Seorang jamaah dari Kedoya, Jakarta Barat mengungkapkan bahwa konsep pembalasan dari Allah tidak selalu berupa penderitaan, keterpurukan, musibah atau azab. “Allah juga membalas denan cara yang baik. Allah Maha Baik, kalau kita berbuat baik, Allah membalas dengan cara yang baik. Bahkan kalau kita berbuat buruk, Allah tetap baik kepada kita,” ungkapnya.

Hadi mengutip, “Sepantasnya yang kita usahakan adalah kita ridhlo terhadap ketetapan Allah kepada kita, bukan hanya fokus mencari ridhlo Allah atas apa yang kita lakukan.” Maiyah seringkali mengajak berpikir zig-zag. Seperti apa yang diulang oleh Hadi tadi, bahwa yang nomer satu sebenarnya adalah kita harus ridhlo terlebih dahulu dengan ketetapan Allah terhadap kita, baru kemudian kita mengusahakan ridhlo Allah kepada kita.

“Sepantasnya yang kita usahakan adalah ridhlo terhadap ketetapan Allah kepada kita, bukan hanya fokus mencari ridhlo Allah atas apa yang kita lakukan.”
Hadi, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

SEKITAR 1 jam berlangsung diskusi sesi Prolog, terasa lebih dari cukup untuk memberi landasan diskusi sebelum memasuki pembahasan yang lebih intens. Saatnya jeda. Dimas salah satu jamaah Kenduri Cinta membacakan puisi karya Cak Nun. Dilanjutkan dengan Adiba, seniman muda dengan gitar akustiknya menyapa jamaah dengan beberapa nomer lagu. Suasana maiyahan malam itu semakin khusyuk. Area Plaza Teater Besar pun mulai padat dipenuhi jamaah.

Lewat pukul sepuluh malam, Cak Nun dan Ust. Noorshofa naik ke atas panggung. Setelah Tri Mulyana, Sigit dan Fahmi menyampaikan beberapa pointer awal, Ust. Noorshofa diberi kesempatan untuk menyapa jamaah Kenduri Cinta. Sementara Cak Nun duduk di sebelah kirinya, tampak menikmati hisapan rokok kretek yang baru dinyalakan.

“Saya malam hari ini agak bingung dengan judul Kenduri Cinta ini. Tapi alhamdulillah, saya bisa mengambil satu kesimpulan barangkali dari judul ini, jangan buat Allah marah, jangan buat Allah murka, karena adzab Allah dan pembalasan Allah lebih pedih dari yang kita bayangkan,” Ust. Noorshofa mengawali.

Ditambahkan oleh Ust. Noorshofa, dalam sebuah hadits Rasulullah Saw termaktub bahwa rahmat Allah itu yang sanggup mengalahkan murka Allah. Rahmat Allah lebih tinggi daripada marahnya Allah. Meskipun demikian, ada batasan yang tidak boleh dilanggar. Dikisahkan kenapa setan tidak diampuni oleh Allah, karena setan memakai pakaian kebesaran yang dimiliki oleh Allah. Pakaian kebesaran itu adalah Al Mutakabbir. “Maka jangan bikin Allah murka dalam hidup kita,” tambah Ust. Noorshofa.

“Kita seringkali nantang Allah, kita seringkali tidak patuh terhadap perintah Allah,” lanjutnya. Seringkali manusia lupa, menyombongkan diri ketika hidup di dunia kemudian terlena, padahal balasan Allah kelak akan sangat pedih. Terlebih lagi, dalam hidup ini kita tidak akan pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diri kita di kemudian hari.

Ust. Noorshofa memberi contoh perjalanan hidup seorang Abdurrahman Bin Muljam. Ia adalah seorang zahid yang sangat taat kepada Rasulullah Saw. Ia seorang yang hafal Al-Qur`an, ahli fikih dan rajin beribadah. Tetapi, justru Abdurrahman bin Muljam inilah yang pada akhirnya membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Berbelok sedikit, Ust. Noorshofa menjelaskan pengertian zuhud, yaitu tidak menganggap apa yang dimiliki lebih besar atau lebih banyak dari apa yang dimiliki oleh Allah Swt. Ust. Noorshofa mengutip pesan Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits tentang 4 hal yang akan menyelamatkan manusia dari siksa api neraka dan tidak mudah tergoda oleh setan. 4 hal tersebut adalah; bisa menahan diri dalam keadaan senang, bisa menahan diri dalam keadaan takut, bisa menahan diri ketika punya cita-cita, dan bisa menahan diri ketika marah.

Ust. Noorshofa memaparkan materi-materi sebagai bekal kepada jamaah malam itu dengan bumbu kisah-kisah jenaka dan menggelitik yang menyegarkan suasana Kenduri Cinta malam itu, mengundang tawa jamaah dan semakin mengakrabkan satu sama lain. Cak Nun lalu tampil menambahkan setelah sebelumnya menyapa jamaah. Tema Kenduri Cinta Avenger Almighty adalah tema lanjutan dari Padhangmbulan. Cak Nun mengajak jamaah untuk melakukan muroja’aah atau meneliti kembali, menghitung kembali, mengulang kembali, menimbang kembali, memahami kembali apa yang sudah kita lakukan selama ini, kemudian menakar kembali sehingga apa yang kita lakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah terhadap kita.

“Jangan buat Allah marah, murka, karena adzab Allah dan pembalasan Allah lebih pedih dari yang kita bayangkan.”
Ust. Noorshofa , Kenduri Cinta (Januari, 2020)

MAKSUD DARI tema Avenger Almighty sebenarnya adalah salah satu nama Allah di dalam Asmal Husna; Al Muntaqim. Cak Nun menjelaskan, kenapa malam itu kita mempelajari salah satu nama Allah di dalam Asmaul Husna adalah dalam rangka mengenali dan mempelajari manajemen Allah.

Al Muntaqim artinya adalah Allah Yang Maha Memberi Balasan. Jika mengambil sifat Allah yang lain, kita mengenal Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah Yang Maha Memaafkan, Allah Yang Maha Mengampuni, Allah Yang Maha Memberi Petunjuk, Allah Yang Maha Mecintai dan lain sebagainya.

Cak Nun kemudian meminta perwakilan dari jamaah sebanyak 15 orang yang kemudian terbagi menjadi 3 kelompok, masing-masing beranggotakan 5 orang untuk berdiskusi dengan bahan yang diberikan oleh Cak Nun. Malam itu, Cak Nun memberi tugas kepada masing-masing kelompok untuk mendata masing-masing 5 sifat Allah yang ada di dalam Asmaul Husna, kemudian dari masing-masing Asmaul Husna yang mereka pilih, mereka membuat pertanyaan yang akan dijawab bersama pada sesi diskusi selanjutnya. 3 kelompok tersebut kemudian mengambil tempat di belakang panggung dan berdiskusi.

“Prinsip pertama, orang pinter atau orang yang eksploratif yang punya jiwa ijtihad dan jiwa tafakkur itu adalah orang yang pandai menjawab atau orang yang pandai menemukan pertanyaan?” Cak Nun membekali diskusi kecil kepada masing-masing kelompok.

“Prinsip kedua, berkaitan dengan zuhud yang dijelaskan Ust. Noorshofa tadi, Anda harus mampu tidak menomorsatukan yang memang tidak pantas untuk dinomorsatukan,” lanjut Cak Nun.

Malam itu, hadir di Kenduri Cinta, Ahmad Karim salah satu penggiat Simpul Maiyah Mafaza di Eropa. Karim yang tengah menyelesaikan studi di Belanda mengambil penelitian mengenai Jamaah Maiyah. Yang ia sorot adalah mengenai lahirnya keharmonisan sistem keamanan yang terbangun secara alami di setiap maiyahan.

Mulai dari sampel yang paling elementer, forum dihadiri oleh masyarakat dari berbagai latar belakang, bukan hanya pendidikan, namun juga suku, ras, agama, gender. Anak kecil juga bisa menikmati forum dengan nyaman dan bahagia. Belum lagi pembahasan yang muncul di setiap maiyahan yang demikian luas.

Menurut Karim, keharmonisan yang terjadi di setiap Maiyahan adalah bangunan keamanan yang Negara tidak bisa turut campur di dalamnya. Setiap manusia yang datang ke maiyahan memiliki kesadaran untuk bersama-sama menjaga keseimbangan atau keharmonisan itu tadi. Setiap individu sama-sama menjaga keamanan dan kenyamanan satu sama lain.

Satu hal yang cukup menarik disampaikan oleh Karim, bahwa pasca 1998 justru muncul satuan tugas pengaman dari setiap Ormas dan partai. Hampir setiap Ormas saat ini memiliki satuan tugas yang diberi tugas bidang keamanan. Begitu juga partai. Sementara ada entitas lain yaitu Maiyah, dimana justru Maiyah ini menampung semua orang dan setiap orang yang masuk ke Maiyah akan memiliki kesadaran bersama untuk saling mengamankan satu sama lain. Maka di Maiyah tidak ada satuan tugas pengamanan yang dibentuk, apalagi dengan seragam yang ditentukan.

Otentisitas Maiyah inilah yang disorot oleh Karim dalam penelitiannya, bagaimana sebuah komunitas hari ini mampu mewujudkan keamanan bersama satu sama lain. Maiyah menjadi satu entitas yang mampu membuktikan bahwa mewujudkan perdamaian secara alami, tanpa direkayasa, tanpa harus dibuat-buat apalagi direncanakan. Karena memang seperti ini hakikat hidup manusia; urip bebrayan, hidup sesrawungan.

“Anda harus mampu tidak menomorsatukan yang memang tidak pantas untuk dinomorsatukan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

Mengulang Kembali

“Yang sedang saya jalankan dengan Maiyah di tahun 2020 ini adalah muroja’ah. Muroja’ah itu artinya mbaleni, mengulang kembali, pemahaman, penghitungan, pendalaman, analisis itu kita ulang kembali. Saya kira seluruh dunia sedang membutuhkan konsep Sinau Bareng untuk mengulang kembali pemahaman mengenai apa saja,” Cak Nun menyambung apa yang disampaikan oleh Karim.

Cak Nun kembali menegaskan bahwa untuk melakukan proses muroja’ah ini, yang pertama kali harus dilakukan adalah mempelajari kembali mengenai kata. Kita harus kembali sampai kepada ibu dari sebuah kata. Jika di Al-Qur`an, kita mengenal Al-Fatihah sebagai ibu dari Al-Qur`an.

Apa yang dilakukan Maiyah saat ini adalah sebuah upaya untuk kita bahwa setiap individu harus memiliki kepekaan agar mampu menemukan ibu dari setiap hal. Dari setiap apapun yang kita hadapi di dunia, Cak Nun mengingatkan agar kita mampu mencari dan menemukan ibu atau pokok dari semua hal itu.

Cak Nun mengajak Ust. Noorshofa berdialog. Dalam satu ayat Al-Qur`an, Allah menyatakan pada proses menciptakan manusia Allah tidak menyebutkan nama Adam A.S atau menyebut manusia, melainkan innii jaa’ilun fi-l-ardhli khalifah. Yang disebut oleh Allah adalah khalifah. Yang disebutkan oleh Allah adalah fungsi dari manusia itu sendiri, yaitu khalifah. Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata jaa’ilun bukan khaliqun. Dua hal ini adalah ilmu yang sangat luar biasa dari Allah yang disampaikan melalui sebuah ayat.

Akhlak. Ust. Noorshofa mencatat satu hal yang menonjol dari Sinau Bareng di maiyahan selama ini. Merespon pertanyaan dari Cak Nun mengenai kenapa Allah menggunakan diksi jaa’ilun, Ust. Noorshofa berangkat dari teladan Rasulullah Saw bagaimana beliau membawa Islam melalui perangai dan perilaku yang mulia yang beliau perlihatkan kepada orang-orang disekitarnya.
Integritas. Itulah yang dibawa oleh Rasulullah Saw, bahkan sejak masih belia. Muhammad bin Abdullah sudah dikenal sebagai Al Amin sejak masih muda, sehingga masyarakat mempercayainya sebagai orang yang baik dan mulia. Ditambahkan oleh Ust. Noorshofa, Islam tidak melulu hanya berkutat pada persoalan ibadah semata.

Diksi jaa’ilun yang digunakan oleh Allah dalam ayat tersebut, menurut Ust. Norrshofa karena Allah ingin memfungsikan manusia sesuai dengan hakikat penciptaannya. Untuk menjadi khalifah, tidak serta merta dengan khaliqun saja. Kata jaa’ilun ini lebih luas maknanya dari sekadar khaliqun. Agar manusia mampu menajdi khalifah sesuai dengan apa yang Allah kehendaki, manusia harus berusaha membangun integritasnya di dunia, Allah membekali manusia dengan akal pikiran, kemudian diperkenalkan dengan sifat-sifat Allah, kesemuanya dalam rangka memfasilitasi manusia untuk mempu memfungsikan dirinya menjadi seorang khalifah.

Singkatnya, fungsi khilafah tidak hanya atas peran dan tanggung jawab Allah semata, melainkan manusia juga terlibat dalam memfungsikan khilafah dalam dirinya.

Cak Nun turut menambahkan bahwa kata khalifah itu berasal dari kata yang sama dengan kholfun, yang artinya di belakang. Makna dari khalifah adalah manusia yang berjalan di muka bumi selalu di belakang Allah, maksudnya selalu taat dan patuh pada perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, itulah makna khalifah.

Satu ilmu yang bisa kita ambil dari ayat tadi adalah tidak penting siapa diri kita, tetapi yang utama adalah seberapa bermanfaat kita bagi orang lain di sekitar kita dan di kehidupan ini, terutama kepada sesama manusia dan alam semesta.

“Maka iman nomer satu bukan anda percaya kepada Allah, tetapi bahwa anda sendiri harus memperjuangkan diri anda agar dipercaya oleh Allah Swt.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

Ibu Ilmu

Cak Nun memantik pertanyaan selanjutnya melalui ayat: wa ‘allama adaama-l-asmaa’a kullaha tsumma arodhlohum ‘ala-l-malaikat. Maksud dari kata kullaha itu apa? Cak Nun mengajak jamaah untuk mencari maksud dari kata tersebut. Bagaimana proses sebuah kata disepakati menjadi sebuah kesepakatan manusia untuk menyebut sebuah benda, seperti yang sebelumnya Cak Nun sampaikan, hendaknya kita mampu mencari sampai ibu dari sebuah kata.

Dari pantikan ini, Cak Nun mengajak jamaah untuk mencoba mempertanyakan kembali isi dari naskah Proklamasi tahun 1945, terutama pada alinea kedua. Dimana pada alinea pertama sudah menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi pada alinea kedua terdapat persoalan yang belum diselesaikan, disebutkan dalam aline kedua mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain. Dari siapa kepada siapa proses pemindahan kekuasaan itu? Dan apakah sudah dilakukan prosesnya? Jika sudah, apakah ada catatan sejarahnya?

Bisa jadi, karena ada hal-hal yang belum terselesaikan ini yang kemudian menjadikan kondisi bangsa Indonesia sampai hari ini masih seperti ini, ketimpangan kehidupan sosial terjadi dimana-mana, dengan segala problem kebangsaan yang tidak pernah usai.

Kalau menggunakan istilah Islam, apa yang dialami oleh Indonesia ini adalah peristiwa yang tidak memberkahi satu sama lain, karena sejak awal proses lahirnya NKRI tidak berdasarkan kelegaan hati satu sama lain, tetapi masih menyimpan dendam dan rasa tidak rela, yang kemudian diwariskan secara turun-temurun.

Kembali kepada pertanyaan ke 3 kelompok diskusi, Cak Nun menjelaskan bahwa maksud dari workshop tersebut adalah bahwa Cak Nun sedang memancing agar jamaah memiliki kepekaan untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan terhadap manajemen Allah.

Dari tema Kenduri Cinta kali ini saja misalnya, Allah Yang Maha Pemberi Balasan, tapi pada faktanya kita mengalami sendiri di kehidupan kita ada banyak orang yang dalam pandangan kita sangat jahat, sering berbuat dholim, tetapi Allah tidak kunjung memberi balasan. Atau misalnya, kita sudah berbuat baik, sudah beribadah khusyuk, berdoa sepanjang waktu, tetapi Allah tidak kunjung mewujudkan apa yang kita harapkan. Pernah kita mengalami seperti itu kan?

“Anda punya tetangga yang sangat baik, mulia perilakunya tetapi usia hidupnya sangat pendek. Sementara, anda juga punya tetangga yang lain yang perilakunya jahat, sering menyakiti orang lain, tetapi hidupnya dibikin awet oleh Allah. Ada nggak?” Cak Nun melempar pertanyaan.

Seringkali kita mengalami peristiwa yang memang menurut kita aneh, tetapi bisa jadi karena kita memang tidak paham dengan manajemen kehidupan yang Allah susun. Dan kadang kita tidak setuju dengan manajemen Allah yang seperti ini, tetapi kita juga tidak mau mencari tentang seperti apa manajemen Allah yang sebenarnya berlaku?

“Bahwa anda percaya dan beriman kepada Allah, itu pasti. Tapi apakah Allah percaya sama anda? Sehingga Allah akan memberi rizki kepadamu?” Cak Nun melanjutkan. Itu sebuah pertanyaan besar yang harus kita jawab, dalam beriman kepada Allah ternyata kita menemukan fakta bahwa yang utama bukan bagaimana kita beriman kepada Allah, tetapi bagaimana kita berusaha menjadi manusia yang dipercaya oleh Allah, sehingga Allah memberi kita rizki seberapa banyak dan berapa lama kita akan dititipi rizki oleh Allah itu.

“Maka iman nomer satu bukan anda percaya kepada Allah, tetapi bahwa anda sendiri harus memperjuangkan diri anda agar dipercaya oleh Allah Swt,” tegas Cak Nun.

“Jangan sampai kita menikmati sesuatu tanpa ilmu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

DIAKUI Cak Nun bahwa dirinya tidak dalam kondisi fit, sedang sakit, tetapi ia memaksa dirinya untuk hadir ke Kenduri Cinta dan maiyahan di beberapa tempat, untuk menemani kita semua. Menurut Cak Nun, bisa jadi sakit yang sedang dirasakannya adalah pertanda dari Allah bahwa Cak Nun belum sampai pada tingkat dimana Allah menyayangi Cak Nun seperti yang disangka-sangka sebelumnya.

“Saya sangat yakin Allah sangat sayang kepada saya, tetapi seberapa sayangnya Allah itu adalah rahasia yang tidak kita ketahui,” lanjut Cak Nun. Ditengah-tengah Cak Nun menyampaikan materi, hujan rintik-rintik mulai turun, jamaah pun mulai merapatkan shaf duduknya. “Saya tanya sama anda, hujan dari Allah ini baik atau buruk?” pertanyaan Cak Nun ini dijawab serentak oleh jamaah, “Baiiiiik!!!”, “Ning rodo mangkel to atimu?” Cak Nun merespons balik, disambut tawa jamaah.

“Minimal anda bertanya dalam hati, kenapa sih maiyahan seperti ini, niatnya baik kok malah dikasih hujan sama Allah? Tetapi karena Allah yang kasih, maka kita semua meyakini bahwa hujan ini baik untuk kita semua,” lanjut Cak Nun.

Jamaah tidak bergeming, mereka bertahan dalam kegembiraan forum. Penggiat sedikit memperbesar tenda yang disewa dari vendor, tetapi jelas tidak mampu menampung seluruh jamaah yang hadir untuk berteduh. Solusinya? Karpet terpal yang digunakan untuk alas duduk berubah fungsi menjadi payung berteduh bersama-sama. Sebagian jamaah yang di bawah tenda pun merapat ke panggung.

Suasana keakraban seperti ini yang mungkin tidak akan ditemui di forum lain, bagaimana antara narasumber dengan audien tidak berjarak sama sekali, dan ketika berdekatan pun tidak merusak suasana forum. Malam itu di Kenduri Cinta kita semua belajar untuk sigap terhadap segala kemungkinan.

Sebelum memberi kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk mempresentasikan, Musisi Jalanan Center tampil di panggung Kenduri Cinta yang malam itu sudah penuh sesak, karena sebagian jamaah duduk di panggung.

Mereka membawakan 3 nomor lagu yang gembira, dan semua jamaah ikut bernyanyi, karena memang lagu yang dibawakan familiar. Syair Tanpo Waton, Sholawat Padhangmbulan dan Syiir Abu Nawas. Dengan alat musik etnik jawa dan sunda, yang juga dipadukan dengan alat musik modern seperti gitar dan drum, jamaah bernyanyi, bersholawat, bergembira bersama Musisi Jalanan Center malam itu.

“Jangan sampai kita menikmati sesuatu tanpa ilmu,” Cak Nun menyampaikan. Sebelum MJC membawakan Syair Tanpo Waton, jamaah diajak mengucapkan kalimat istighfar bersama-sama. Cak Nun menjelaskan bahwa setiap kalimat thoyibah dari Allah itu bisa dimaknai secara fakultatif, tetapi juga secara kaffah.

Cak Nun meminta kepada seluruh jamaah untuk mengajak jamaah untuk selalu meyakini, bahwa pada setiap kalimat thoyyibah yang kita ucapkan pasti akan menuju berkahnya Allah Swt. Cak Nun mencontohkan, misalnya kalimat hamdalah itu akan mendatangkan rizki kepada kita karena kita bersyukur kepada Allah, tetapi kalimat istighfar juga bisa jadi mendatangkan rizki kepada kita, karena dengan kita mengucap istighfar kita membersihkan diri kita dari segala dosa, maka Allah akan memberikan rizki kepada kita karena kita sudah membersihkan diri dari dosa.

“Kalimat thoyyibah dari Allah bisa anda ambil yang mana saja, asalkan anda ikhlas hatinya anda akan mendapatkan keberkahan secara menyeluruh.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

CAK NUN mengajak jamaah untuk berfikir kaffah. Tidak hanya melihat sepenggal-sepenggal. Melihat hidung harus juga melihat pipi, mata, mulut, rambut, telinga dan lain-lainnya. Cak Nun juga mengulang kembali persoalan kata yang sering digunakan; muslim, kafir, sakinah dan lain-lainnya.

Kita muslim itu muslim terhadap apa, dan ketika kita muslim terhadap satu pihak, maka kita kafir terhadap pihak yang lain. Jika kita muslim kepada Allah maka secara bersamaan kita kafir kepada setan. Begitu juga kata sakinah, dalam pernikahan, peristiwa sakinah adalah persitiwa yang harus selalu diperjuangkan, tidak statis, tetapi dinamis.

Malam itu, semakin jamaah bergembira ber-sholawat, hujan yang turun semakin deras. Jamaah yang awalnya duduk di bawah tenda, akhirnya berdiri agar tenda mampu menampung lebih banyak orang untuk berteduh. Sebagian lagi berteduh di selasar Teater Besar.

Tapi, tidak sedikit pula yang memaksakan diri untuk tetap hujan-hujanan, tanpa payung tanpa jas hujan, berbasah-basahan. Dingin, sudah pasti. Risiko sakit atau setidaknya masuk angina, ada di depan mata. Tapi, keyakinan akan hujan adalah berkah terlampu besar dari rasa dingin dan kekhawatiran akan sakit itu. Mereka tetap bertahan, tidak bergerak, bahkan tidak memutuskan untuk meninggalkan forum yang masih berlangsung.

Maka, pertanyaan Cak Nun bulan lalu sepertinya layak untuk dimunculkan kembali: ini Kenduri Cinta forum macam apa? Kok bisa-bisanya menghadirkan orang sebanyak ini? Dan ketika hujan, orang-orang tidak bubar, tidak meninggalkan forum, justru semakin bergembira dan merasa enggan untuk segera disudahi. Disebut radikal, jelas sangat radikal. Jelas lebih enak dan nyaman kembali ke rumah, tidur di kasur yang empuk, selimutan hangat, tetapi justru memilih untuk dingin-dingin kehujanan di Plaza Teater Besar. Tapi, masyarakat hari ini hanya mengenal kata radikal pada pemaknaan yang bersifat kekejaman, bom, dan teror.

Disebut sebagai forum liberal, juga sangat liberal. Yang datang bukan masyarkaat yang tersegmentasi. Ada orang bertato, ada yang berjilbab, ada yang juga tidak berjilbab, ada yang memakai peci, ada juga yang bercelana pendek. Di Kenduri Cinta, simbol-simbol keduniaan tidak ada artinya, semua duduk bersama, melingkar sinau bareng, egaliter.

Medley Syair Abu Nawas – Tombo Ati menjadi nomer terakhir yang dibawakan oleh Musisi Jalanan Center di tengah hujan yang semakin deras. Nomer yang sangat tepat momentumnya, bersama-sama mentadabburi bagaimana mesaranya Abu Nawas menyapa Allah, berkeluh kesah kepada Allah, mengakui segala dosa-dosanya, seolah-olah malam itu Abu Nawas sedang mengajak jamaah Maiyah bermunajat kepada Allah, memesrai Allah di sepertiga malam.

Dan hujan pun masih deras, salah satu jamaah diminta oleh Cak Nun membaca terjemahan dari Syair Abu Nawas tersebut. Setelah dibacakan terjemahannya, Cak Nun mempersilakan 3 kelompok melalui juru bicaranya masing-masing untuk mempresentasikan hasil diskusi kecil mereka.

Beberapa respons dari masing-masing juru bicara ketika mempresentasikan hasil diskusi mereka cukup menarik. Misalnya, ketika Allah memiliki sifat Maha Lembut, kenapa di dalam diri manusia masih ada sifat yang kasar? Juga ketika Allah adalah Maha Penderma, pada batasan yang mana yang kemudian membuat Allah berderma kepada kita sebenarnya?

“Allah itu Maha Adil, bukan berarti Allah wajib untuk adil, Allah sudah pasti adil kepada segala sesuatu yang Dia ciptakan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

Dialektika Keadlian

“Ada dialektika yang mesti anda pahami. Anda tidak akan mengerti lembut jika tidak mengenali kasar, anda tidak akan mengenali cahaya jika tidak pernah mengetahui kegelapan,” Cak Nun merespons. Ust. Noorshofa turut merespons, melalui sifat Allah yaitu Al Ghofuur, kita belajar tentang istighfar.

Bahwa kalimat istighfar adalah password kita untuk meminta ampunan kepada Allah. Rasulullah Saw sendiri dalam satu hari tidak terhitung jumlahnya berapa kali mengucapkan kalimat istighfar. Ada yang lebih dahsyat, ketika berbuat baik kita mengucapkan kalimat istighfar.

Mengapa demikian, karena kita harus menyadari bahwa perbuatan yang baik yang kita lakukan bukan sepenuhnya diri kita yang kita lakukan, ada peran Allah yang menggerakkan diri kita untuk berlaku baik. Disitulah fungsi kalimat istighfar sebagai pengingat diri kita. “Maka jangan pernah sombong dengan ibadah yang kita lakukan, karena itu semua datang dari Allah,” Ust. Noorshofa melanjutkan.

SIfat Allah Al Waduud yaitu Allah Yang Maha Mencintai, muncul pertanyaan apakah siksaan Allah di neraka itu juga merupakan bentuk dari rasa cinta Allah kepada hamba-hambanya? Cak Nun merespons, mengutip pertanyaan Sabrang, jika ada manusia yang bersalah kemudian tidak merasakan hukuman, pasti nalurinya akan merasa tidak enak. Jika kelak ada manusia yang penuh dosa ternyata berada di surga, pasti nalurinya akan merasa tidak kerasan di surga.

Allah sendiri menyatakan bahwa Dia memasukkan manusia ke surga itu dengan rahmat-Nya, bukan karena amal ibadah manusia itu. Cak Nun memiliki prinsip bahwa melakukan kebaikan itu atas dasar nyicil utang kepada Allah. Karena Cak Nun merasa bahwa Allah sudah memberi banyak hal, dan satu-satunya cara untuk membayar utang kepada Allah itu adalah dengan cara berbuat baik, kepada siapapun saja, di manapun saja.

Ada lagi kelompok kedua, diwakili oleh Kuryoto yang semi curhat ketika presentasi, ia mengungkapkan bahwa ketika Allah memberi ujian kepada kita seharusnya yang kita lakukan adalah menikmatinya. Ia bercerita pengalaman hidupnya yang pernah mengalami masa-masa sulit, tetapi karena ia merasa bahwa ujian dari Allah itu harus dinikmati dan disyukuri, kini ia merasakan hidup yang lebih baik dari sebelumnya, sudah puya rumah dan usaha, juga keluarga yang harmonis. Dan terkadang, dia merasa rindu untuk merasakan lagi hidup menderita seperti dulu.

Sampai pada suatu ketika, saat ia masih merasa bahwa Allah masih mengujinya, ia mengalami puncak dari keimanannya, ia berucap, “Wis terserah njenengan Ya Allah, babah! Sing penting urip!” baru kemudian ia mengalami perubahan hidup, hingga hari ini.

“Allah punya kewajiban berbuat adil ndak sama anda?” Cak Nun melempar pertanyaan. Muncul jawaban yang beragam dari jamaah. Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap seluruh makhluknya, tetapi karena Allah Maha Pemurah, Dia sangat Rahman Rahiim, maka Allah sudah berlaku adil kepada seluruh makhluknya.

Ini soal dialektika tentang hak dan kewajiban, jika ada orang yang sudah menunaikan kewajiban maka ia memiliki hak. Karena Allah sudah menunaikan kewajibannya kepada manusia, maka Allah memiliki hak untuk menagih kepada manusia. Tagihannya berupa ibadah, berbuat baik kepada sesama dan lain sebagainya. “Allah itu Maha Adil, tapi bukan berarti Allah wajib untuk adil. Karena Allah sudah pasti adil kepada segala sesuatu yang Dia ciptakan,” lanjut Cak Nun.

“Maka, jangan pernah sombong dengan ibadah yang kita lakukan, karena itu semua datang dari Allah.”
Ust. Noorshofa, Kenduri Cinta (Januari, 2020)

SELARAS dengan ungkapan tadi, Cak Nun menjelaskan bahwa Cak Nun sendiri tidak memiliki kemampuan apapun untuk mendatangkan jamaah Maiyah ke suatu tempat di sebuah maiyahan berlangsung. Tidak pernah sekalipun Cak Nun dan KiaiKanjeng atau penggiat Kenduri Cinta memiliki keyakinan bahwa jamaah yang datang akan sebanyak jumlah orang yang datang di maiyahan hari ini. Disitulah kita harus memiliki kesadaran bahwa Allah yang menggerakkan hati kita untuk datang ke maiyahan. Karena Maiyah ini bukan bikinan manusia, bukan rencana manusia.

Maiyah adalah dialektika antara Allah dengan manusia yang saling bersambut. Ketika Allah menurunkan hidayah, sebisa mungkin kita sebagai manusia merespons hidayah Allah itu, hingga akhirnya Allah akan terus menambahkan lagi hidayah-hidayah yang lain kepada kita.

Salah satu sifat Allah juga di dalam Asmaul Husna adalah Allah Yang Maha Mematikan. Cak Nun berkisah bahwa Ayahanda Cak Nun meninggal di usia 49 tahun setelah mengalami sebuah kecelakaan di Krian, Sidoarjo. Yang dicatat oleh Cak Nun adalah bahwa tidak selalu mati adalah sesuatu yang buruk atau meyedihkan.

Ditegaskan oleh Ust. Noorshofa, kematian adalah sebuah keniscayaan. Kemanapun manusia menghindari kematian adalah sebuah hal yang sia-sia, karena kematian pasti akan mendatangi setiap makhluk yang bernyawa.

Cak Nun kemudian menceritakan bagaimana Abu Dzar Al Gihfari suatu hari ketika duduk bersama Rasulullah Saw dan para sahabat, ketika ditanya oleh Rasulullah Saw mengenai 3 hal yang paling disukai, Abu Dzar menjawab; lapar, sakit dan mati. 3 hal yang sangat esensial dari pertanyaan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Bagi Abu Dzar, lapar dapat melembutkan hati, dengan sakit ia merasa diampuni dosa-dosanya, dan dengan mati maka itu menjadi sebuah pertanda bahwa ia akan segera bertemu dengan Allah.

Ust. Noorshofa kemudian menceritakan bagaimana kisah Anas bin Malik ketika suatu hari ditanya apa permintaannya yang ingin dikabulkan, ia menjawab bahwa ia ingin selalu menemani Rasululllah Saw bahkan ketika di surga kelak. Rasulullah Saw menjawab; Ya Anas, a’inni bi katsroti-s-sujuud, bantulah aku ya Anas, perbanyaklah engkau bersujud kepada Allah. Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini?

Ust. Noorshofa menjelaskan bahwa ketika Anas meminta hanya untuk dirinya, tetapi Rasulullah Saw memikirkan seluruh ummat manusia. Pesan yang diwasiatkan kepada Anas bin Malik itu ditujukan kepada seluruh umat manusia, yang artinya apabila kita semua ingin dekat dengan Rasulullah Saw kelak di surga, maka yang harus kita lakukan saat ini adalah memperbanyak sujud kepada Allah Swt.

“Rasulullah Saw itu tidak hanya ganteng, tapi indah,” Cak Nun merespons kisah yang diceritakan oleh Ust. Noorshofa. Indah itu jauh lebih universal dari sekadar ganteng atau cantik. Membayangkan bentuk fisik Rasulullah Saw dari kisah-kisah yang tercatat oleh para sahabat saja kita sudah tidak mampu membayangkan rasanya.

Memasuki sesi akhir, Cak Nun memberi kesempatan kepada jamaah untuk bertanya atau merespons paparan yang sudah disampaikan. Terkadang, sesi tanya jawab ini juga menjadi satu sesi yang ditunggu-tunggu oleh jamaah. Pertanyaan yang muncul tentu saja beragam, mulai dari soal agama, kehidupan bahkan hingga soal kebangsaan dan negara. Maiyahan ini membebaskan dari belenggu-belenggu dan sekat-sekat. Apapun keresahan kita, di sinilah kita merasakan kebebasan untuk mengungkapkan.

Tidak terasa, sepertiga malam telah terlewat. Menjelang pukul 3 dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan ‘Indal Qiyam. Cak Nun mengajak semua jamaah ber-sholawat kemudian Ust. Noorshofa memimpin doa bersama.

Alhamdulillah, edisi pembuka Kenduri Cinta di tahun 2020 terselenggara dengan baik. Jamaah pun kemudian bersama-sama membersihkan dan merapikan kembali area Plaza Teater Besar. Semua menyadari bahwa ini adalah forum bersama yang kita rawat bersama.