Mukadimah: AFDLALIYAH MAIYAH

BANYAK MUNCUL pertanyaan di tengah diskusi antara penggiat Kenduri Cinta dan sudah pula jadi pertanyaan umum Jamaah Maiyah. Mengapa keberadaan Maiyah sampai saat ini seperti belum terlihat peranannya di kancah Nasional Indonesia? Tentu ada sanggahan mengatakan bahwa Maiyah sudah berperan. Hanya saja peran itu tidak tampak dan bahkan banyak yang berpendapat bahwa Maiyah tidak untuk ditampak-tampakan.

Tidak kurang-kurang di setiap Maiyahan selalu ada pembahasan menyoal masalah Indonesia. Meskipun sebenarnya Maiyah tidak berkewajiban kepada Indonesia, tapi mau tidak mau, suka tidak suka, urusan Indonesia adalah bagian dari kehidupan Orang-orang Maiyah. Yang dengan kadar tertentu, berbeda-beda setiap orang, Indonesia menjadi masalah yang perlu dipecahkan. Tentu tidak hanya sekedar rasan-rasan semata, bahkan sering muncul solusi taktis dan praktis. Tapi sepertinya ini masih “bertepuk sebelah tangan”, kata pemuda yang tak kunjung mendapat respon dari si pemudi yang dicintai. Gayung tak jua bersambut, kata belum juga berjawab. Sepertinya keberadaan Maiyah masih diabaikan oleh Indonesia.

Memang tidak dapat dipungkiri, sering muncul pesimistis ketika Jamaah Maiyah berusaha menghadirkan nilai-nilai Maiyah ke dalam lingkungan kesehariannya. Tentu itu disesuaikan dengan kapasitas tiap masing-masing individu. Ada yang sebagai karyawan, pegawai, pedagang, guru, pengusaha dan lain sebagainya. Namun untuk mewarnai bidang-bidang itu dengan nilai-nilai Maiyah seolah masih kalis. Manajemen konflik seolah sudah menjadi bangunan baku di lingkungan profesional, sedangkan semangat kegembiraan bekerja dalam menjalankan fungsi dan peran dalam usaha tak kunjung terlaksana. Persaingan usaha dan perebutan kekuasaan seolah sudah paten, ketimbang semangat untuk meraih keadailan dan kesejahteraan bersama-sama.

Kalau saja Indonesia menggunakan metode sinau bareng dalam menyelesaikan berbagai masalah kenegaraannya, semestinya Negara ini tidak perlu berlama-lama untuk benar-benar menjadi mercusuar dunia. Jangankan untuk meraih cita-cita itu, sekadar mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya saja masih tersandera oleh kepentingan elit-elit politik. Paska reformasi rakyat sangat serius dalam berdemokrasi, tapi aspirasi rakyat dikorupsi oleh para elit. Terang terangan bahkan para tokoh-tokoh elit mempertontonkan manuver perebutan kekuasaan. Bukan masalah kesejahteraan rakyat yang diperjuangkan, melainkan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan yang dipertarungkan.

Popularitas,persaingan untuk meraih kekuasaan, usaha untuk memiliki sebanyak-banyaknya materi seolah sudah menjadi tujuan dari setiap usaha manusia di zaman ini. Tidak salah orang berusaha untuk menjadi kaya, tidak salah orang berpolitik untuk mendapatkan kekuasaan, dan begitu pula tidak salah orang-orang berusaha mendapatkan popularitas. Tapi akan menjadi salah ketika itu didapat dengan cara mencuri, melanggar peraturan yang sudah disepakati, sehingga berakibat merugikan orang lain. Lebih diperparah lagi jika sampai peraturanpun dapat dimanipulasi demi untuk kepentingan pribadi, karena pasti akan mencederai prinsip keadilan sosial.

Demokrasi seolah sudah menjadi puncak dari pencapaian peradaban umat manusia. Usaha kritis terhadap demokrasi langsung dicap sebagai gerakan pengacau stabiltas masyarakat. Sekalipun sudah jelas-jelas ada perbedaan mendasar antara prinsip bermusyawarah dan demokrasi, namun tetap saja saat ini benarnya orang banyak dijadikan acuan kebenaran. Padahal benarnya orang banyak belum tentu benar.

Jangan sampai “bunga layu sebelum berkembang”, mumpung masih ada banyak hal yang dapat kita pikirkan dan kerjakan bersama. Mumpung masih ada waktu bagi kita duduk-duduk dengan kepala dingin tanpa ada curiga satu dengan yang lain. Meskipun kepercayaan itu semakin tipis karena adanya kesalah pahaman atau bahkan pengkhianatan demi pengkhianatan yang terang-terangan, tapi siapa tahu dengan kita menimbang kembali kesamaan dan ketidaksamaan yang saat ini ada, akan muncul kembali tunas optimisme Maiyah terhadap Indonesia.