Mukadimah: KELUARGA MUTAHABBIN

MENYAKSIKAN kelihaian pendekar-pendekar memainkan pedang, dapat menimbulkan hasrat seseorang untuk menguasai ilmu pedang. Dari ketertarikan itu kemudian menjadi dorongan baginya untuk turut bergabung dengan mereka yang sudah terlebih dahulu mencintai ilmu pedang. Teknik menggenggam gagang, menusuk, menyabet, mengiris, menangkis dan menepis dapat dipelajari dari para ‘senior’. Tentu butuh proses, tidak otomatis orang yang sudah memiliki pedang bagus dan tajam lantas dapat langsung bisa memainkan pedang secara benar, baik dan indah.

Ilmu tanpa kebijaksanaan sangat berbahaya. Di tangan orang yang tidak tepat, sebilah pedang bisa sangat berbahaya. Tidak hanya berbahaya bagi orang lain di sekitarnya, tapi juga dapat membahayakan dirinya. Karenanya, selama proses latihan, replika pedang dari kayu digunakan, untuk mengurangi risiko cedera. Selain mempelajari teknik menggunakan pedang, kebijaksanaan dalam mengendalikan diri juga perlu dilatih. Perlu latihan panjang, ada jalinan personal yang perlu dibangun dalam ekosistem sesama pecinta ilmu pedang. Para pemula dan pendahulu saling menghargai dan menikmati proses di setiap latihan.

Menilai dan menghargai sebilah pedang bagi pecinta ilmu pedang tentu berbeda dengan cara menilai dan menghargai pedang bagi seorang pedagang. Bagi pedagang, sebilah pedang tidak lebih dari sebuah barang komoditas. Pedagang pedang tidak akan menghargai keseriusan pecinta ilmu pedang dalam belajar dan mendalami ilmu pedang. Begitu juga dalam menghargai sebuah sabuk yang digunakan sebagai petanda tingkat kepenguasaan ilmu bela diri. Untuk mendapatkan sabuk hitam, jarak proses panjang seseorang berlatih bela diri sangat dihargai. Tetapi bagi pedagang sabuk, yang ada cukup sebuah transaksi, jual-beli.

Nilai-nilai kekeluargaan yang menjadi perekat hubungan personal dalam berbagai macam organisasi, perusahaan, komunitas, maupun paguyuban, menjadi inti dari tumbuh dan berkembang tiap organisasi sosial. Rasa saling mencintai dan memiliki bukan karena pertalian darah, namun merupakan akad kesetiaan terhadap nilai-nilai yang senantiasa dipelihara dalam proses kebersamaan. Di pagelaran wayang, gambaran keluarga punokawan/ponokawan dalam mengabdi dan melayani tidak sekedar berada dalam kisah cerita yang dibawakan oleh sang dalang dalam pagelarannya. Lebih dari itu; Semar, Gareng, Petruk dan Bagong(Bawor) juga berinteraksi dengan para penonton pertunjukan, nayaga dan waranggana yang terlibat dalam pertunjukan.

Menyaksikan berita-berita yang berseliweran di berbagai media seperti mengikuti cerita yang tidak ada habisnya. Seperti menonton pertunjukan wayang dengan ribuan panggung, ribuan lakon, ribuan dalang dan berjuta peran. Belum usai cerita peperangan pemberataan korupsi, muncul cerita banjir, muncul salam Pancasila. Belum tegak cerita penegakkan hukum, cerita perapuhan hukum sudah menyertai. Belum usai berita pembantaian, nasionalisme, terorisme dan radikalisme, mucul berita-berita baru dengan bermacam tema. Belum selesai pertarungan raksasa ekonomi China vs Amerika, tiba-tiba muncul virus Corona yang imbas ketakutan dari sebaran informasinya lebih masif ketimbang berkembang biaknya virus itu.

Dakwah ketakutan terhadap keberadaan virus yang diidentifikasi sebagai makhluk antara makhluk hidup dan benda mati itu tidak kasat mata, tapi keberadaanya telah sukses mengganggu rutinitas kehidupan umat manusia beberapa minggu terakhir. Sampai-sampai Masjidil Haram sementara diliburkan karena Corona. Jamaah umroh dari berbagai negara dihentikan untuk sementara. Untuk saat ini, tidak ada prosesi tawaf yang biasanya dilakukan jamaah umroh tanpa putus bergantian mengelilingi Ka’bah.

Layak bila disebutkan ketajaman pena bisa melebih ketajaman pedang. Dengan teknologi informasi setiap orang bisa menerima sekaligus menyebarkan informasi dengan mudah. Dalam hitungan detik, informasi di belahan dunia yang jauh dapat kita terima. Sebaliknya, dengan seperangkat gawai dan koneksi internet setiap orang bisa menjadi jurnalis, membuat berita sekaligus mempublikasikan secara langsung. Dengan berbagai kemudahan menyebarkan informasi di zaman ini, gawai seperti bilah pedang tajam yang berada dalam genggaman setiap orang. Tentu jika berada ditangan orang dewasa resikonya akan lebih sedikit, tetapi pada kenyataan banyak remaja dan bahkan anak-anak sudah diberi gawai oleh orang tua mereka.

Pada era kebebasan informasi sekarang ini, keluarga memiliki peran utama dalam pendidikan generasi penerus. Sementara lembaga pendidikan formal selalu mengikuti dinamika kurikulum pendidikan yang berubah-ubah oleh konstelasi politik nasional, peran keluarga dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak-anak menjadi aktor utama dalam regenerasi penerus bangsa. Orang tua belajar menjadi punokawan dan ponokawan yang senantiasa hadir untuk membimbing anak-anak. Tidak sekedar mentransfer ilmu kehidupan, tetapi juga melatih kebijaksanaan dalam menjalani hidup. Tidak hanya mengajarkan bagaimana mencintai tapi juga memberikan tauladan kesetiaan.

Edisi bulan lalu Kenduri Cinta mengangkat judul Afdhaliyah Maiyah, dengan pembahasan mengenai keutamaan-keutamaan bermaiyah yang berkonklusi pada prioritas keluarga. Selanjutnya, pada edisi 13 Maret 2020 mengangkat judul Keluarga Mutahabbina. Tentunya setiap orang memiliki pengalaman hidup di dalam keluarga, pengalaman berkeluarga, atau setidaknya merencanakan untuk berkeluarga yang dapat dishare. Keluarga Mutahabbina disini juga bukan sekedar jalinan pertalian darah, lebih dari itu gambaran keluarga mutahabina adalah kekeluargaan yang ditumbuhkan oleh para sahabat Rasullullah saw. yaitu Abubakar ra.,Umar ra.,Utsman ra. dan Ali ra. atau setidaknya seperti para punokawan/ponokawan yang tulus mengabdi berdasarkan nilai-nilai, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Tentu membahas mengenai keluarga akan menarik, karena keluarga adalah inti peradaban.