Menangis Di Depan Ka’bah

Seri patangpuluhan edisi 28

JAKARTA SENJA. Mentari menyisakan pendaran cahayanya. Cakrawala membentang, awan putih kemerahan. Tak ada burung atau kelelawar beterbangan. Binatang-binatang langit sudah lama menyingkir dari kebisingan kota-kota besar.

“Segera kirim nama dan alamat lengkap, serta nomer KTP!”

Smartphone Android yang hobinya hidup-mati itu memuat pesan WhatsApp dari Gandhie, kawan pegiat.

“Untuk apa?”

“Pesan tiket.”

“Maksud lo?”

“Wis tho melu wae, kita ke Lawen, Banjarnegara, ke tempat Mas Toto.”

Mas Toto punya hajat, mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk mengisi acara “Sabda Leluhur” mengenang orang tuanya Mas Toto, Bapak Soebarno.

Saya mengiyakan. Janjian ketemu di stasiun.

Sabtu sore itu, 22 Agustus 2015, saya ngojek ke Stasiun Senen, perjalanan kereta api malam menuju Purwokerto diisi dengan istirahat, turu. Kawan-kawan dari Juguran Syafaat Purwokerto sudah menunggu di pagi harinya, Minggu (23/08/2015) langsung mampir sejenak di Purbalingga, untuk selanjutnya bersama pegiat Juguran Syafaat beriringan mobil menuju perbukitan Banjarnegara yang berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan.

Mas Toto dikenal sebagai salah satu kawan setianya Cak Nun, meski sejak lama dianggap kurang religius, sehingga sering-sering dicap sebagai Islam-Abangan, namun belakangan, akhir-akhir ini, mungkin berjalan sepuluh tahun, kehidupannya sangat religius. Acara yang diadakan di kampung kelahirannya ini sebagai bentuk berbaktinya seorang anak shaleh terhadap orang tuanya. Slametan, mengirim doa-doa kepada leluhur yang telah lama meninggal.

Puncak kesadaran manusia adalah sadar untuk kembali. Rengekan Mas Toto, memohon-mohon kepada Cak Nun agar diikutkan dalam ziarah ke Baitullah, misalnya, bersama kawan-kawan KiaiKanjeng melaksanakan umrah, adalah perjalanan rohani. Merupakan lelaku kembali ke diri.

Sampailah mereka, jamaah KiaiKanjeng di Mekkah. Semuanya sudah siap melaksanakan syarat dan rukun umrah secara tertib dan benar. Doa-doa dan kalimat dzikir apa yang perlu dibaca. Menahan diri dari amarah, tidak berkata-kata yang tak perlu.

Manusia Yogya dikenal humoris, juga dalam sesrawungan antar pemain KiaiKanjeng, suka bercanda dan saling garap-garapan. Dalam suasana prosesi beribadah, ada beberapa yang memulai iseng. Mulut terasa gatal, keinginan berkelakar antar sesama sahabat KiaiKanjeng tak terbendung.

Usai ambil miqot di salah satu masjid di luar kota Mekkah, ada seseorang yang memancing plesetan. Plesetan itu humor khas dari Yogya. Tidak semua orang mampu mengeluarkan joke-joke plesetan. Butuh spontanitas dan momentum waktu yang tepat. Jika tidak, terasa dipaksakan dan wagu.

“Coba, apa plesetannya miqot?”

Semuanya menahan diri, ingat pesan-pesan yang didengar sebelum berangkat dari beberapa orang agar dalam melaksanakan ibadah umrah menjaga lisannya. Ngampet.

Prosesi thawaf sudah dijalankan, sa’i hampir diselesaikan, lalu terdengar jawaban:

“Mikocok, mikocok, mikocok…..”

Tak tahan. Spontan menjawab. Semua yang mendengar tertawa terbahak.

Begitulah, usai keluar dari Masjidil Haram, untuk mengambil moqot kembali, kakinya terpleset seolah dikocok-kocok. Kaki bagian bawah terlepas dari engsel. Sahabat-sahabat KiaiKanjeng buru-buru memapah dan membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Keluar dari Rumah Sakit sudah menggunakan kruk, kayu penyangga tubuh dengan jalan tertatih-tatih.

Kisah mikocok berlanjut di Indonesia, setelah beberapa bulan. Yang mula-mula sebagai pelempar plesetan, “apa plesetannya miqot” mengalami kecelakaan di Semarang. Masuk rumah sakit, keluar tertatih-tatih menggunakan kayu penyangga untuk berjalan.

Di mana Mas Toto?

Mas Toto menangis sesenggukan di depan Ka’bah. Prosesi perjalanan spiritual yang luar biasa. Di tengah orang-orang seluruh penjuru dunia, lintas ras, berbangsa-bangsa, seolah bertemu dengan kakeknya yang sudah lama meninggal di antara para jamaah.