Tamu Dari Malang

seri patangpuluhan edisi 26

TANPA KABAR, di suatu pagi dikagetkan orang tergeletak di atas dipan beralas tikar. Ia tidur nyenyak. Tas ransel besar teronggok di sampingnya, tak peduli dengan beberapa koran dan majalah yang berserak.

Pintu rumah Patangpuluhan tidak pernah dikunci. Siapa saja yang biasa datang dan pergi, tahu persis lewat pintu mana harus masuk.

Pelan-pelan saya buka pintu dan jendela. Lantai berdebu, pasir-pasir halus dari halaman ikut terbawa sandal dan sepatu. Agar tak mengganggu orang yang sedang tidur kelelahan, lantai kotor disapu tanpa menimbulkan berisik.

Cahaya terang dari jendela menerpa mata. Terbangunlah ia.

“Mas Toto kapan datang?”

“Mau esuk…”

“Kopi?”

“Boleh…”

Hari makin siang. Obrolan berlanjut di teras depan. Masih bersarung dan kaos oblong putih, Cak Nun menemani Mas Toto. Tak lama datang Simon HT dan Si Ong Hari Wahyu.

Seperti hari-hari lalu, saya menata koran dan majalah. Saya buka lembar demi lembar, menyortir dan menandai berita dan kolom. Kolom, berita atau tulisan tentang Cak Nun, nantinya akan digunting dan dikliping.

Surat-surat saya buka satu persatu. Banyak sekali undangan acara atau permintaan tulisan dari media untuk Cak Nun. Kadang Cak Nun merasa kewalahan untuk memenuhi berbagai acara baik di Yogya sendiri maupun di kota-kota lain.

Rumah Patangpuluhan menghadap ke selatan, halamannya lumayan luas, tanah berpasir tanpa pagar pembatas dengan jalan, Jl. Madubronto. Di sisi kiri dibatasi tembok terdapat lahan kosong, sering digunakan untuk parkir sepeda pancal dan sepeda motor orang-orang berbelanja di Pasar Legi; sisi sebelah kanan, gang kecil menembus rumah-rumah perkampungan di belakang.

Saya bergabung duduk di teras ikut mendengarkan apa yang jadi perbincangan. Rupanya ada rencana membuat yayasan untuk berbagai kegiatan. Cak Nun memilihkan nama, mengambil satu amsal ketika Raja Abrahah dengan pasukan gajah akan menghancurkan Ka’bah, Allah mengirim Thairan Ababil, ribuan burung Ababil menyerbu melemparkan batu-batu panas dari langit. Nama “Ababil” diambil untuk nama yayasan, Yayasan Ababil. Sementara Mas Toto dan Mas Simon diberi tugas membuat konsep kegiatan, Mas Ong sendiri yang mendesain logo yayasan.

Setelah disain rampung, dipanggil Irfan Muchlis di rumah kontrakan Sanggar Shalahuddin untuk menyablon kop surat (Irfan, kini sebagai salah satu crew KiaiKanjeng).

Konsep kegiatan yang dirancang meliputi kegiatan Cak Nun sendiri, memenuhi undangan acara, menulis kolom media; workshop teater, pelatihan jurnalistik dan musik.

Langkah berikutnya, Mas Toto “merenovasi” ruangan. Tembok yang kusam dicat, rak besar dibuat untuk menata buku-buku, arsip, dan dokumen lain.

Begitulah, kini ruang tamu sudah disulap lebih bersih, tata ruang terasa lega, arsip-arsip tertata rapi. Aturan bagaimana menerima tamu, acara-acara apa saja yang disetujui; sudah ada juklaknya.

Pagi berikutnya, ada serombongan tamu dari Malang, seorang dokter, mengaku keluarga Cak Nun dan ingin bertemu.

Dalam aturan juklak, ada tiga ring: Ring pertama, adalah keluarga. Hampir semua keluarga besar Cak Nun saya mengenalnya. Ring kedua, kawan-kawan Cak Nun. Jika Cak Nun di rumah bisa langsung ngobrol. Dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya Cak Nun sedang istirahat, baru pulang dari luar kota, tidak harus ketemu langsung, jika mendesak boleh titip pesan, janjian kapan dan di mana bertemu. Ring ketiga adalah tamu-tamu yang ingin mengundang atau konsultasi. Cukup diterima oleh para penghuni rumah Patangpuluhan, meminta surat permohonan atau proposal acara, yang konsultasi, utarakan permasalannya, nantinya akan dibalas via pos atau telpon.

Aturan juklak serasa kaku, dan sangat sulit untuk menerapkan. Tapi sesungguhnya, jika Cak Nun dalam kondisi tidak capai, semuanya bisa ngobrol ngalor ngidul dengan santai.

Sungguh, tamu keluarga dari Malang ini belum saya kenal. Penerapannya, supaya tidak salah-salah, saya anggap sebagai ring kedua atau ketiga. Saya terima dengan sopan, sebagaimana tamu-tamu yang lain. Saya katakan bahwa Cak Nun sedang keluar, kalau ada pesan-pesan, silakan ditulis di buku tamu.

Belum sempat saya bilang soal tamu dari Malang, saya dipanggil duluan oleh Cak Nun.

“Mbok bilang, kalau ada tamu jauh dari Malang!”

“Maaf, Cak….”

“Seharusnya suruh tunggu!”

“Iya Cak, maaf, saya tidak tau…”

Ternyata tamu keluarga dari Malang ini telpon ke Cak Nun, mengeluh, untuk bertemu dengan Cak Nun kok ribet amat. Susah. Jengkel kepada saya. Dan Cak Nun dimarahi.

Seharusnya Mas Toto ikut menerima tamu, sehingga bukan hanya saya yang kena ekses juklak itu. Tapi Mas Toto lama tak kelihatan batang rokoknya. Cuuuk!

“Toto mana?”

“Lama gak keliatan Cak..”

Ada yang menyahut.

“Ke Papua, Cak!”

“To, To, gawe-gawe aturan, bongkar-bongkar ruangan, kok malah pergi!”

Begitulah Mas Toto. Pergi ke Papua tiga bulan, pulang seminggu atau dua minggu, pergi lagi ke Flores, Maluku atau kota-kota lain; berbulan-bulan.