Mas Toto Merangsek

SERI PATANGPULUHAN EDISI 24

TERGOPOH-GOPOH, sepeda motor diparkir sekenanya di pelataran Rumah Kadipiro. Agak berlari Mas Toto merangsek duduk di hadapan Cak Nun.

“Cak, saya kok ndak diajak?” protesnya.

“Zaaak….!” Cak Nun memanggil Syakurun Muzakki, adiknya, dari managemen Progress, yang mengurusi seluruh aktivitas Cak Nun dan KiaiKanjeng.

“Urus paspor, visa, tiket Mas Toto dan segala sesuatunya, jadi tambah satu orang yang ikut umrah!”

Semula Cak Nun dan Mbak Via, istri Cak Nun (Novia Kolopaking), memang tidak mengikutsertakan Mas Toto dalam rombongan KiaiKanjeng dan crew untuk beribadah umrah. Semua bertanya-tanya, Mas Toto itu agamanya apa. Maksudnya, meski dalam kolom agama di KTP tertulis Islam, tetapi, maaf, Mas Toto sangat ‘tidak jelas.’ Cak Nun dan Mbak Via ragu untuk menawarkan kepada Mas Toto.

Tentu saja Cak Nun sangat kaget dan hatinya gembira dengan rengekan Mas Toto di atas. Ini surprise. Mas Toto sangat serius memohon diikutsertakan ziarah ke Tanah Suci. Bagi Cak Nun, Mas Toto adalah sahabat yang sangat setia. Ketika jelang reformasi dan sesudahnya, banyak kawan-kawan Cak Nun, baik dari kalangan seniman, maupun aktifis kebudayaaan menebar fitnah, bahwa Cak Nun menerima dana yang sangat banyak dari Pak Harto, Mas Toto memilih menemani Cak Nun dan kawan-kawan lain di Komunitas KiaiKanjeng.

Kala itu, Cak Nun bersama beberapa tokoh nasional; Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Utomo Dananjaya, Malik Fadjar dll. merancang draft naskah pengunduran diri Soeharto dari tampuk kepemimpinan selama 32 tahun Orde Baru. Rancangan draft tersebut dititipkan kepada Saadilah Mursyid, Mensesneg, agar disampaikan kepada Pak Harto. Pak Harto menyetujui draft usulan tersebut, dan meminta nama-nama pengusul untuk mendampingi di saat pernyataan pengunduran diri dibacakan, Pak Harto juga meminta ditambah lagi nama tokoh-tokoh lain, akhirnya menjadi sembilan, yang disebut sebagai Sembilan Tokoh Islam.Hanya satu pesan Pak Harto, “mohon jangan disertakan nama Pak Amien!”

Sejarah mencatat, peralihan kekuasaan dari Pemerintah Orde Baru ke Komite Reformasi, sebagaimana draft naskah yang diusulkan Cak Nun dan tokoh-tokoh lain di atas, gagal dilaksanakan. Justru digagalkan oleh kroni-kroni Pak Harto sendiri. Akbar Tanjung, Fahmi Idris dan beberapa nama lain menolak.

Cak Nun menarik diri dari hiruk pikuk politik. Berhenti menulis untuk media massa, dan melanjutkan berkeliling ke kampung-kampung Jakarta, dengan Mini KiaiKanjeng dan pelantun shalawat; Zainul Arifin (almarhum), Haddad Alwi, Ki Sudrun dan Muhammad Adib. Kegiatan ini sudah berjalan setahun sebelum reformasi, yang diprakarsai oleh Adil Amrullah, adiknya, bersama beberapa aktifis mahasiswa dari Malang, Andy Subiyakto, Muhammad Ilham dan beberapa kawan di Jakarta, membentuk HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat).

Ketidakmenentuan peradilan terhadap Pak Harto, yang dituntut para mahasiswa dan masyarakat, setahun setelah Pak Harto lengser, Cak Nun menginisiasi Ikrar Husnul Khotimah. Mengundang Pak Harto untuk membacakannya di Masjid Baiturrahman Komplek MPR DPR Senayan. Usulan inilah yang disalahpahami oleh beberapa kalangan, seolah Cak Nun ingin melindungi Pak Harto dari pengusutan terhadap kejahatan-kejahatan korupsi Pak Harto. Padahal dalam salah satu point yang akan dibacakan Pak Harto ada kalimat yang menyatakan bersedia diadili dan mengembalikan harta korupsi ke negara, jika peradilan memutuskan bersalah dan terbukti korupsi. Akhirnya Cak Nun membatalkan acara Ikrar Husnul Khotimah.

Di kalangan seniman Yogya, terutama oleh BK, Cak Nun difitnah menerima dana dari Pak Harto satu milyar rupiah. Di beberapa kesempatan, Cak Nun menantang, jika bisa membuktikan bahwa Pak Harto memberi dana satu milyar, sipapun saja, Cak Nun akan membayar dua milyar.

Gosip menyebar dengan cepat. Banyak yang mencibir Cak Nun. Banyak kawan-kawan seniman yang menjauh. Bukan hanya di Yogyakarta, juga menjadi cerita-cerita beberapa kalangan, di kota-kota lain.

Dan Toto Rahardjo, sahabat yang paling setia, tetap menemani, sampai hari ini.