Kontinuitas Kepemimpinan

YANG INGIN kita lihat, sungai-sungai di Jakarta dan di mana saja dapat mengalir lancar dan airnya jernih. Yang ingin kita lihat, demokrasi dan birokrasi dapat menyalurkan aspirasi murni dari rakyat dan melayani rakyat tanpa kontaminasi dari intimidasi kepentingan investasi para sponsorship dan makelar kekuasaan. Yang ingin kita lihat adalah sosok pemimpin yang senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat dan selalu menjadikan Allah sebagai pertimbangan utama dalam setiap keputusan kepemimpinan-nya. Tapi ternyata yang sekarang ini, apa yang kita lihat bukanlah apa yang ingin kita lihat.

18 tahun lebih paska reformasi, kita harus melihat kondisi kekinian demokrasi di negeri ini, ternyata tidak seperti yang kita inginkan. Reformasi di Republik ini jelas belum selesai, sebagai contoh pelayanan publik masih selalu terganggu oleh rutinitas pemilu. Sistem demokrasi yang ada saat ini juga tidak siap jika misalnya pemilu/pilkada gagal. Padahal, jika ada 3 pilihan, tidak memilih dari ketiganya-pun merupakan sebuah pilihan. Bahkan sangat mungkin mayoritas akan memilih untuk tidak-memilih karena melihat kondisi politik seperti sekarang ini. Bupati, Gubernur bahkan Presiden sekalipun sesungguhnya adalah jabatan periodik yang akan habis masanya pada periode tertentu. Pada faktanya, birokrasi di Indonesia sangat bergantung pada jabatan periodik seperti itu. Padahal seharusnya, birokrasi dan pelayanan publik tidak boleh terpengaruh oleh hiruk pikuk pesta demokrasi setiap lima tahun, karena semua sudah disahkan oleh undang-undang.

Rakyat di negeri ini sedang dibutakan oleh situasi ekonomi-nya masing-masing. Konsumerisme buah dari kapitalisme global telah berhasil membutakan penglihatan rakyat untuk dapat melihat kemajuan masa depan bangsa ini, dan sejarah kebesaran bangsa ini telah lama tak terdengar oleh anak-anak bangsa yang sibuk menyuarakan kemajuan negara-negara Manca. Kondisi ini semakin parah dengan akumulasi jumlah orang-orang yang tidak mampu membaca situasi diri dan lingkungannya. Koleksi kosakata-kosakata dari berbagai literasi diperkaya sekedar jadi amunisi perdebatan silat lidah. Masyarakat semakin dijauhkan dengan sosok Muhammad bin Abdullah yang bergelar Annabii Al Ummiy, seorang yang buta huruf namun dengan kebutaan itu beliau justru mendapat wahyu pertama; Iqro’, maksudnya membaca lingkungannya, alam semesta.

Kecenderungan manusia saat ini, jika ada hal yang tidak membahagiakan dalam dirinya dianggap sebagai penderitaan. Dan sebaliknya, semua hal yang menyenangkan hatinya dianggap sebagai kebahagiaan. Padahal, penderitaan dan kebahagian bagi seorang pemimpin tidak berdasarkan persoalan senang atau tidak senang terhadap kondisi permasalahan yang dihadapi, melainkan bagaimana membuat solusi dari masalah itu secara adil, mem-proporsi-kan variabel-variabel yang terlibat masalah secara berimbang. Kontinuitas memelihara keseimbangan dalam menegakkan keadilan sebagai seorang pemimpin semacam itu bukanlah diperoleh dari bangku kuliah apalagi warisan yang didapat dari orang tua. Sebagaimana Muhammad bin Abdullah yang lahir dalam keadaan yatim, hal ini menegaskan bahwa kesuksesan seseorang dalam memimpin bukan karena nasab. Muhammad bin Abdullah tidak membawa nama Ayahnya agar ia bisa diterima oleh masyarakat disekitarnya saat itu. Semuanya murni atas jerih payah dirinya sendiri dalam membentuk karakter seorang pemimpin yang benar-benar dibimbing oleh Allah.

Meskipun Allah tidak rugi jika manusia seluruhnya kafir, dan Allah juga tidak laba jika seluruh manusia mu’min muslim, namun kita sebagai sesama anak keturunan Adam sudah semestinya untuk berusaha melindungi makna hidup sebagai seorang Khalifah di muka bumi. Mau-tidak mau dalam setiap keseharian kita akan dihubungkan dan berhubungan dengan keabadian. Sehingga pada akhirnya kebenaran adalah sesuatu yang akan kita ketahui asal usul dan mekanisme-nya. Dialektika antara usaha-keinginan-realita selalu saja mengiringi setiap perjalanan aktivitas kehidupan kita. Tinggal bagaimana kita menjalankan peran kita sebagai manusia, apakah berperan sebagai seorang Khalifah yang mampu memimpin dirinya, alamnya dan sesama manusia yang berada pada kepemimpinan-nya; atau justru terjerembab berperan sebagai budak nafsunya sendiri.

Pada setiap lini persoalan kehidupan, kontinuitas kepemimpinan setiap orang akan dibuktikan oleh dirinya dalam menghadapi setiap urusan yang dihadapi bersama sesama manusia lainnya. Urusan-urusan yang bermunculan dalam proses dialektika interaksi hubungan-antar-manusia dan antara-materi-persoalan diantara mereka; akan memunculkan arus daya tarik-menarik. Pada prosesnya, jika manusia-manusia yang terlibat tidak mampu menegakkan keadilan diantara mereka, maka hubungan diantara mereka akan tumbang dan hanyut tertarik oleh persoalan diantara mereka. Hubungan pertemanan, hubungan suami-istri, hubungan kerja, hubungan manajemen perusahaan-karyawan, hubungan investor-pengusaha-buruh, hubungan pemerintah-rakyat-negara-bangsa; itu semua dapat tumbang dan hanyut oleh persoalan diantara mereka jika tidak diselesaikan secara adil.

Kontinuitas kepemimpinan akan nampak dengan tegaknya setiap urusan yang berada pada wilayah kepemimpinan-nya. Dari waktu ke waktu, aliran persoalan yang mengalir dibawah kepemimpinan-nya dikendalikan dengan cara menegakkan keadilan. Adil dalam mem-proporsional-kan masalah yang dihadapi saat ini, adil dalam melihat potensi yang akan terjadi di masa depan dan adil dalam mendengarkan cerita masa lalu sebagai pertimbangan. Hanya jika berada pada seorang pemimpin, urusan keluarga, urusan perusahaan, bahkan urusan negara dapat tegak.