Penabuh Gong

SERI PATANGPULUHAN EDISI 25

DI RUANG TENGAH orang-orang sudah berkumpul. Ruangan yang tidak terlalu luas, terasa sumpek. Di atas tikar dan karpet, berderet gelas-gelas kopi dan teh, aroma nikmat dihantarkan uap panas kehirup orang-orang. Satu dua orang berebut kopi. Ternyata tehnya kurang laku. Asap rokok memenuhi langit-langit. Berserak beberapa jilid tipis draft naskah monolog.

Memang seminggu sebelumnya, Mas Toto mengetik undangan. Para penghuni rumah Patangpuluhan, dan beberapa orang yang diundang ditanyai oleh Mas Toto satu persatu. Ada hajatan besar, membentuk komunitas dan merencanakan pentas musik dan teater. Pertanyaan Mas Toto sederhana, ikut bergabung membesarkan komunitas dan rencana-rencana pentas atau tidak ikut.

Sebagian besar ikut bergabung, hanya beberapa yang menyatakan tidak ikut terlibat, termasuk saya.

“Saya tidak ikut, saya mau ke Jakarta,” jawab saya.

Beberapa hari sebelumnya saya terima surat dari Cak Nun. Surat tulisan tangan itu (sayang, sekarang sudah hilang), intinya agar saya mencari alternatif lain yang lebih menjanjikan. Mumpung masih muda, sudah lulus sarjana, pikirkan masa depan. Jangan terlalu terlena di Patangpuluhan.

Belakangan, ketika Teater Dinasti mementaskan Tikungan Iblis di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 30 Desember 2008, di belakang panggung Indra Tranggono memburu saya.

“Kowe diusir Toto ya?”

Saya diam, dan tersenyum. Lalu teringat sekian tahun lalu, seperti cerita di atas, saya menerima surat dari Cak Nun. Asem tho. Ternyata, pembisiknya Mas Toto.

Pak Kanjeng

Dari kumpul-kumpul di Patangpuluhan, dibentuklah Komunitas Pak Kanjeng, dengan beberapa aktifitas sebagai agenda: Musik Puisi dan Pementasan Teater. Yang ikut bergabung di komunitas itu yakni: Novi Budianto, Joko Kamto, Bobiet, Bayu, Djadug Ferianto, Butet Kartaredjasa, Purwanto, Narto Piul, Indra Tranggono, Toto Rahardjo, Agus Noor, Si Ong Hari Wahyu, Whani Darmawan, Piyel, Pathing.

Komunitas Pak Kanjeng, pertama mempersiapkan reportoar Monolog Pak Kanjeng, dengan tiga karakter Pak Kanjeng yang dimainkan oleh Novi Budianto, Joko Kamto dan Butet Kartaredjasa. Musik gamelan digawangi, terutama oleh pencipta gamelan, Novi Budianto dan pemusik handal Djadug Ferianto. Selain pementasan Monolog Pak Kanjeng, Komunitas Pak Kanjeng beberapa kali mementaskan Musik Puisi yang dibacakan Cak Nun sendiri.

Pak Kanjeng bukan tokoh fiktif. Ia ada, Pak Djenggot, perjuangannya mempertahankan hak dari kesewenang-wenangan pemerintahan Orde Baru menjadi inspirasi Cak Nun menciptakan Reportoar Pak Kanjeng.

Ajakan beberapa kalangan kepada Cak Nun untuk bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai salah satu pengurus diterimanya. Cak Nun berharap, pembelaan terhadap korban penggusuran Waduk Kedung Ombo, yang selama ini dibela bersama Romo Mangun akan lebih mudah didengar oleh pemerintahan Pak Harto.

Dalam perjalanan pesawat pribadi, Yogyakarta ke Jakarta, Cak Nun mengiringi BJ Habibie, sebagai Ketua Umum ICMI, dijanjikan akan membantu membujuk Pak Harto agar memperhatikan nasib warga Kedung Ombo yang menjadi korban penggusuran. Itulah syarat kenapa Cak Nun mau bergabung dengan ICMI.

Dalam kenyataannya, setelah sekian bulan tak ada tanda-tanda BJ Habibie bisa membantu persoalan warga Kedung Ombo, Cak Nun menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan ICMI.

KiaiKanjeng

Komunitas Pak Kanjeng hanya bertahan satu tahun. Toto Rahardjo menginisiasi terbentuknya Gamelan KiaiKanjeng, bersama Novi Budianto, Joko Kamto, Bayu Kuncoro, Narto Piul. Beberapa personil baru direkrut, Joko SP, Azeed Dewa, Yoyok, Imoeng, Giyanto.

Di sisi lain, Butet dan Djaduk membentuk Kua Etnika, bergabunglah Purwanto, Indra Tanggono, Agus Noor, Whani Darmawan dst.

Sementara Bobiet masih bimbang, mau bergabung ke KiaiKanjeng atau Kua Etnika. Dalam satu peristiwa, KiaiKanjeng sedang latihan untuk mengisi acara Talbiyah Cinta di RCTI untuk Idul Adha, datanglah Bobiet, yang sebenarnya di Jakarta ikut rombongan Kua Etnika, yang mau pentas juga namun berbeda event. Salah satu personil KiaiKanjeng menanyakan, mau memilih ikut KiaiKanjeng atau Kua Etnika, saat itu tanpa ragu lagi Bobiet bergabung dengan KiaiKanjeng.

Dalam proses pembentukan Komunitas Pak Kanjeng dan KiaiKanjeng, peran Mas Toto sangat kentara. Padahal Mas Toto bukanlah seniman. Ia konseptor dan managerial. Mas Toto tidak bisa menyanyi, tak satupun alat musik yang dikuasai.

Namun, di awal-awal pembentukan Komunitas Pak Kanjeng, dan juga kemudian, awal-awal KiaiKanjeng, Mas Toto dilibatkan sebagai pemukul gong. Entah siapa yang menjerumuskan. Memukul gong seolah gampang, sesungguhnya sulit. Jarang dipukul, tapi harus tepat waktu kapan harus dipukul dan kapan berhenti