Arena Tinju Pak Nevi

seri patangpuluhan edisi 30

ACARA Cak Nun dan KiaiKanjeng baru saja usai di Kemendikbud, pekan ketiga November 2018. Personil KiaiKanjeng bercengkerama di teras depan Gedung A Kemendikbud menunggu jemputan pesanan mobil untuk balik ke hotel tempatnya menginap. Canda ceria, saling garap-garapan antar mereka. Tak sekali dua, Pimpinan KiaiKanjeng, Novi Budianto, menjadi sasaran guyonan.

“Sepatunya baru, ya?” Bayu memulai melontarkan jurus garapan. Sambil berjalan tertatih dengan tongkat penyangga, Pak Nevi bersiap-siap menanggapi. Dengan logat Betawi yang dibuat-buat, Pak Nevi menjawab, “Iya nih!” Semua yang mendengar tergelak, sambil matanya melihat ke arah sepatu warna coklat mengkilap.

Saya mengenal Pak Nevi sudah lumayan lama, sejak mengurus surat-surat kepemilikan rumah di Desa Taman Tirto, Kecamatan Kasihan, Bantul. Lokasi yang sekarang menjadi tempat acara Mocopat Syafaat di Komplek “TKIT Alhamdulillah”, semula milik Pak Nevi kemudian dijual kepada Cak Nun.

Setiap berjumpa dengan Pak Nevi, selalu saja menyapa, “Piye, Wangon?” Tak pernah menyebut namaku. Paska Reformasi, di tahun 2000-an, KiaiKanjeng dengan personil terbatas dan peralatan musik tidak full, empat kali setiap bulannya bolak- balik Yogya-Jakarta. Ketika balik ke Yogya, seringkali saya nunut ikut pulang ke kampung halaman di Purwokerto. Lewat Bandung melalui jalur selatan, saya turun di Wangon, kota paling dekat untuk menuju desa saya, Cikawung, Kecamatan Pekuncen. Nama Wangon lah yang paling diingat Pak Nevi, sehingga bertegursapa dengan kata Wangon.

Pensiunan PNS, guru bidang studi Seni Rupa di salah satu SMP Negeri Yogyakarta ini seniman multi talenta. Beliau seorang pelukis, aktor besar untuk teater dan beberapa film dan sinetron, musisi dan pencipta alat musik gamelan. Gamelan KiaiKanjeng, alat musiknya bukan murni gamelan Jawa. Dengan kreasi Pak Nevi, gamelan KiaiKanjeng mampu menampung berbagai genre musik dunia.

Sosok Pak Nevi dikenal sangat sederhana, lugu, bahkan terkadang naif. Hal inilah yang sering menjadi sasaran tembak guyonan kawan-kawan personil KiaiKanjeng. Sangat sering Cak Nun bercerita tentang kenaifan Pak Nevi. Meski cerita Cak Nun berkali-kali dituturkan, kehebatan Cak Nun, selalu menarik dan terasa baru.

Di sebuah Maiyahan, ketika penghujung acara, Cak Nun berdiri Indal Qiyam, memimpin bacaan Mahallul Qiyam, Ya Nabi Salam ‘Alaika, semua personil KiaiKanjeng meraih alat musik terbang sambil berdiri, tak terkecuali Pak Nevi. Tergopoh-gopoh Pak Nevi berdiri. Tidak siap acara segera berakhir. Apa yang terjadi? Rupanya sarung yang dikenakan ikatannya tidak kencang, sehingga ketika berdiri jatuh melorot ke bawah. Beberapa kawan yang melihat adegan “17 tahun ke atas” tak terduga, tertawa terbahak. Buru-buru Pak Nevi membetulkan sarungnya.

Persahabatan Pak Nevi dengan Cak Nun sejak usia sangat belia. Pak Nevi dan Pak Joko Kamto, yang tergabung dalam Karawitan Dipowinatan, sebagai cikal bakal pengiring musik dalam drama Teater Dinasti dan Pementasan Musik Puisi Cak Nun.

Di Alun-alun Utara, depan Keraton Yogyakarta, tiap bulan Maulud (Rabiul Awwal), diselenggarakan tradisi sekatenan, Pasar Malam sebulan penuh. Disajikan berbagai macam hiburan rakyat, aneka permainan dan penjualan makanan dan minuman. Ada panggung-panggung musik dangdut, arena tinju, tong setan, akrobat dan lain-lain.

Cak Nun ditemani Pakde Nuri (Muhammad Zainuri, alm) melihat-lihat keliling Arena Sekaten. Mereka berdua terperanjat, di salah satu sudut counter arena tinju melihat orang-orang yang sangat dikenal. Dua orang sedang bertinju, Pak Nevi melawan Pak Rohmat (alm) didampingi masing-masing satu orang yang memakai handuk kecil sebagai “pelatih”. Pak Nevi, Pak Rohmat dan dua orang yang bertindak sebagai “pelatih” semuanya anggota Teater Dinasti.

Pak Nevi dan Pak Rohmat bertanding final, artinya keduanya telah mengalahkan lawan-lawannya. Dan mereka seolah tidak saling kenal. Perlu diketahui, hampir seluruh pemain Teater Dinasti sangat terlatih dalam penguasaan ilmu bela diri. Pak Rohmat sendiri pernah sebagai pelatih bela diri di Taruna Angkatan Udara di Yogyakarta.

“Yo, opo iki?” Selesai bertanding Cak Nun bertanya.

“Pemenangnya hadiahnya uang Cak, dibagi berempat!”

Ealah.


Dari Hotel Alia, tempatnya menginap seluruh crew dan personil KiaiKanjeng, Pak Nevi menyusuri jalanan di Cikini. Banyak hal berubah, batinnya berkata. Sejak lama Pak Nevi sangat hafal lingkungan sekitar Taman Ismail Marzuki. Beberapa kali pentas teater di TIM bersama Teater Gandrik. Di pojokan jalan, ada sebuah Warung Tegal, berhenti dan masuk ke dalam. Dipesannya teh panas dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk.

“Pinten Pak?”
“Ndak usah, ndak usah….!”
“Lha…?”

“Ya, ndak usah, Pak Nevi kan?”

Pak Nevi kebingungan.

“Saya kan sudah lama di sini, setiap acara Kenduri Cinta, pasti saya hadir, apalagi yang ada KiaiKanjeng-nya.”

“Oo, terima kasih sanget Pak. Matur nuwun. Tapi, kalau besok-besok saya makan di sini gratis lagi, saya akan pindah cari warung lain!” Ancam Pak Nevi.

Siang itu, diakhiri dengan foto bersama.