Bengkel Markesot

SERI PATANGPULUHAN EDISI 21

TIBA-TIBA Cak Nun memberi mandat besar kepada Toto Rahardjo, salah satu penghuni tidak tetap di Patangpuluhan, agar mencari lahan kosong untuk dijadikan Kios Bengkel. Ditemukanlah lokasi strategis, sebidang tanah kosong di pinggir jalan raya, Jl. Bugisan, perempatan lampu merah Pojok Beteng Kulon ke arah barat Kampung Bugisan.

Dibangunlah kios non permanen, dengan tenaga kerja gratisan para penghuni Patangpuluhan. Kami; saya, Imam Syuhada dan Teguh Purwanto, mengaduk semen, memotong kayu dan belanja material. Markesot sendiri sebagai tukang sekaligus mandor yang perintah-perintah para asisten tukang. Lalu, abrakadabra, berdirilah Bengkel Markesot. Spanduk di pasang: Bengkel Markesot, Menerima Service Sepeda Motor Dan Mobil.

Malam Jumat, waktunya Yasinan, berpindah lokasi dari rumah Patangpuluhan ke Kios Bengkel Markesot sekaligus untuk acara slametan, dengan mengundang para kamitua kampung, Ketua RT, RW dan tetangga kiri kanan.

Esoknya, bengkel resmi dibuka. Satu dua hari masih sepi. Seminggu dua minggu mulai berdatangan, satu dua mobil, juga motor. Bahkan Markesot siap mengerjakan tambal ban bocor. Cak Nun sendiri tak segan ikut berpromosi, beberapa kawan-kawan dihubungi.

Dalam kehidupan keseharian Markesot memang sering menjengkelkan. Perbedaan kultur dan budaya preman ikut mewarnai. Saya seringkali berantem omong. Masalahnya juga hal remeh, bukan prinsip. Saking ngeyel-nya saya, entah masalah apa, tiba-tiba Markesot mengeluarkan simpanannya, yang sangat dirahasikan. Semua terkesiap. Sebilah celurit diambil dari lemari pakaian. Lha kok ada celurit. Padahal lemari tersebut digunakan bersama untuk menyimpan pakaian. Pakaian saya juga ada di lemari itu.

Saya sangat ketakutan. Namun saya mencoba untuk tetap tenang. Markesot memang temperamental. Dengan lemah lembut Imam Syuhada mengajak Markesot ngobrol, mengambil hatinya, secara bertahap emosinya menurun. Celurit disimpan kembali. Puji Tuhan. Slamet, slamet.

Konflik kecil-kecilan ini jelas tanpa sepengetahuan Cak Nun. Pastilah kalau Cak Nun tahu akan marah besar.Nasehat-nasehat kebijakan akan meluncur dari Cak Nun. Seharusnya kitalah yang memahami dan menampung Markesot. Bukan sebaliknya, memusuhi dan bikin konflik.

Lucu juga. Untuk beberapa saat saya dan Markesot saling diam. Berpapasan tak saling sapa. Saya mencoba menegursapa duluan, Markesot melengos tak menyahut. Jelek banget.

Tidak enak hidup bersama di rumah Patangpuluhan, memakan di meja makan yang sama, tapi bermusuhan. Lambat laun, Markesot melunak.

Sesekali kami jalan keliling-keliling kota Yogya berboncengan motor. Di sebuah warung makan kaki lima pinggir jalan berhenti.

“Orang Yogya malas!” kata Markesot sambil menerima gelas teh.

“Kenapa memang?” tanya saya kaget.

“Nyuguhin teh ndak mau ngaduk!”

“Hahaha, oh itu.”

Teh manis di Yogya memang nyamleng. Wangi dan enak. Karena sering dijog ulang, gulanya hampir setengah gelas. Penjual tidak pernah mengaduk. Penikmatlah yang mengaduk sesuai selera kadar manisnya. Budaya ini yang belum dipahami Markesot.

Kemudian, bagaimana kondisi perkembangan bengkel, setelah sekian bulan?

Sebulan sudah berjalan, bulan-bulan berikutnya menyusul; kok bengkelnya masih sepi juga. Maksud saya, konsumen ada satu dua dalam sehari, tiga empat sampai lima, namun pendapatan sekedar untuk makan minum kok masih saja nombok?

Walah-walah, jangan-jangan Markesot korupsi. Penghasilan yang didapat berapa tidak berterus terang, tidak ada report keuangan, dana keluar masuknya.Atau ada sesuatu yang disembunyikan.

Tanpa sengaja ada yang memberikan info, bahwa Markesot “terlalu baik.” Jika ada orang terkena musibah, apes di jalan, ban gembos terkena paku misalnya, dengan senang hati Markesot akan menambalnya, meski resminya adalah bengkel service mobil dan motor, bukan bengkel tambal ban. Markesot memperhatikan pemilik kendaraan, jika orang yang tersebut kelihatan orang susah, maka Markesot tidak mau dibayar. Walah dhalah, ini tho ternyata biang keladinya.

Maka perlakuan Markesot terhadap semua konsumen, bisa diduga, diperlakukan sama, yaitu dengan menarik ongkos yang super murah. Apalagi jika konsumennya kebetulan sudah saling kenal. Gratis tis.

“Lho kok nggak mau dibayar, Cak?”

“Mesakno, kena apes masa harus bayar.”

“Lha ini bengkel, siapapun harus bayar!

“Menolong orang kan baik!”

Naif. Bengkelnya akhirnya ditutup. Bangkrut. Besar pasak dari pada tiang. Untuk membayar uang kontrakan tahun berikutnya tidak mencukupi

“Markesot bukan pedagang,” kata Cak Nun membungkam para pemrotes, kawan-kawan penghuni rumah Patangpuluhan.