Deja vu Kepemimpinan

JIKA KITA bandingkan, akan banyak ditemukan kesamaan kondisi Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia saat ini dengan kondisi pada era tahun 1964-1965. Gaung revolusi yang saat itu di suarakan oleh Pemimpin Besar Revolusi terasa semakin parau terdengar ditengah keadaan krisis nasional. Kabinet 100 Menteri yang diharapkan menjadi daya tarik simpati dukungan politik rakyat terhadap pemerintahan tak kunjung terjadi. Keadaan serupa terjadi juga saat ini, jabatan-jabatan dalam pemerintahan setingkat menteri dan wakil-menteri diada-adakan dengan berbagai nama-jabatan dan sebutan. Tujuanya bukan untuk efektifitas berjalannya roda pemerintahan, tetapi sekedar meredam gejolak politik dengan cara bagi-bagi kue kekuasaan. Kepala-kepala bidang itu-ini, staft-staft ahli ini-itu, jabatan-jabatan mainan komisaris-komisaris-an disematkan untuk mengakomodasi para sponsorship dan makelar-makelar jabatan dari dalam maupun luar negeri. Cara-cara itu dilakukan tidak lain untuk mengamankan posisi pemerintah dari tekanan lawan-lawan politiknya.

Namun yang terjadi kala itu, Presiden Soekarno posisi-nya justru semakin terjepit oleh tekanan dari berbagai kekuatan politik yang menginginkan kejatuhan kekuasaannya. Terbukti, drama Super-Semar berhasil menjadi adegan lengsernya Ir. Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden RI dan digantikan oleh Mayor Jendral Soeharto. Babak baru perputaran roda pemerintahan dimulai, namun sekenarionya seolah hanya berulang dan mengulang sejarah. Sejak reformasi, roda itu pun terus bergulir dengan percepatan lebih kerap dengan plot sekenario yang tidak jauh berbeda.

Ketidakpercayaan publik terhadap kepemimpinan pemerintahan republik yang tidak sensitif terhadap kondisi rakyat sebenarnya sangat mudah untuk dihindari jika antara rakyat dan pemerintah masih saling setia dalam nasionalisme-nya. Namun ketika kekejaman dan perselingkuhan dilakukan oleh pemerintah-negara terhadap rakyatnya terjadi, niscaya dukungan publik terhadap pemerintah akan semakin pudar. Kondisi semacam ini akan dijadikan peluang bagi para lawan politik untuk melakukan manufer positioning di atas panggung nasional. Upaya-upaya pemakzulan terhadap pemerintahan akan semakin gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan jalannya roda pemerintahan.

Alat-alat kekuasaan negara yang berada di genggaman pemerintah dalam pemerintahan presidential memang sangat memungkinkan terjadinya penyelewengan fungsi lembaga. Batasan kekuasaan Lembaga Presiden yang berposisi sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan akan menjadi rancu dan rentan pelanggaran atas batas antara fungsi konstitusi-negara dan politik-pemerintah. Kondisi ini akan semakin diperparah dengan lemahnya fungsi kontrol lembaga-lembaga negara yang sudah terkondisikan berada dibawah kontrol pemerintahan, padahal seharusnya lembaga-lembaga ini menjadi sistem kontrol kepemimpinan di Indonesia. Keberadaan Lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung yang semestinya berdiri tegak sebagai Lembaga-Negara menjadi condong posisinya manakala intervensi Pemerintah mampu mengontrol bahkan menentukan siapa-siapa yang duduk pada jabatan-jabatan lembaga-lembaga negara itu.

Ada saatnya opini Publik mampu dikondisikan melalui permainan retorika dan propaganda media massa. Dukungan konstituen yang berada dalam pemerintahan maupun di luarnya juga memiliki batasan dengan standar yang beragam. Pemerintahan Ir.Soekarno hingga detik-detik akhir kekuasaannya masih mampu menggelorakan semangat revolusi, namun dukungan publik cepat atau lambat akan mampu membedakan antara realita dan retorika.

Percepatan pembangunan infrastruktur yang terjadi tidak bisa dijadikan parameter untuk mengukur tanggapan positif publik terhadap kinerja pemerintah. Defisit anggaran yang terjadi pada setiap periode pemerintahan justru sangat representatif untuk menilai kinerja pemerintahan. Kelihaian Kepala Pemerintah untuk mengendalikan mesin pembangunan akan menampakkan kinerjanya dalam menjalankan roda pemerintahan-negara. Ketika kepadatan lalulintas perekonomian Internasional terjadi, perlambatan pembangunan perlu dilakukan. Upaya untuk mempertahankan percepatan ditengah kemacetan perekonomian global jelas merupakan tindakan ceroboh. Lebih ceroboh lagi jika ditengah kemacetan ‘Sopir’ justru melimpahkan beban anggaran kepada rakyat.

Krisis kepercayaan rakyat jauh lebih berbahaya terhadap keberadaan negara-bangsa ketimbang krisis ekonomi dan krisis pemerintahan. Hilangnya sensitivitas pemerintah terhadap kondisi publik pada kondisi terparah dapat mengakibatkan upaya pemakzulan terjadi. Berkaca pada kondisi paska 1965 yang kemudian menjadi awal Orde Baru, lengsernya Pemerintahan Ir.Soekarno jelas hanya adegan sejarah yang kemudian berulang lagi terjadi pada Reformasi 1998(tentu dengan setting yang berbeda). Pergantian pemerintahan hanya periode-pergiliran ‘Sopir’ untuk meneruskan perputaran roda pemerintahan negara mengantarkan rakyat melewati dan mengisi kemerdekaan. Ketidakpercayaan Rakyat sebagai pemilik kendaraan kepada ‘Sopir’ menjadi suatu yang wajar, bahkan sangat mungkin rakyat sampai turun ke jalan.

Apresiasi terhadap berbagai upaya reaktif pemerintah menghadapi defisit anggaran hingga batas tertentu masih dimaklumi. Namun, hilangnya sensitivitas untuk menyadari adanya ketidakberesan yang terjadi pada mesin konstitusi negara dan alat-alat politik saat ini jauh lebih penting untuk terhindar dari kondisi yang lebih buruk. Jangan-jangan saat ini kondisinya sudah sangat parah, bahkan perakitan ulang sudah diperlukan untuk perbaikan perangkat, lembaga-lembaga dan badan usaha negara.