Markesot Mendebat

SERI PATANGPULUHAN EDISI 19

YASINAN RUTIN di Patangpuluhan makin hari kian banyak yang bergabung. Terutama dari mahasiswa UGM, IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN) dan beberapa perguruan tinggi lain; UII, IKIP Muhammadiyah (UAD, Universitas Ahmad Dahlan), UMY, ISI dst. Mereka,antara lain dari Jamaah Shalahuddin (atau sebutlah Sanggar Shalahuddin), Teater Jiwa, Kelompok Titian, Teater Burdah, Kelompok Keseratus, juga Teater Dinasti ‘Ampas,’ yang aktivitas kreatifnya bersentuhan dengan Patangpuluhan. Tentu saja, ada pula mahasiswa-mahasiswa yang concern-nya tidak di wilayah kesenian, namun wawasan intelektual yang kerap diungkap dalam kolom-kolom Cak Nun di beberapa media cetak.

Di tengah perbincangan serius, tiba-tiba Markesot menyela dan menyanggah. Sanggahan dan debatnya sangat tidak konteks dengan apa yang menjadi perbincangan.Selalu saja berulang. Siapa saja yang berbicara selalu berhadapan dengan Markesot. Beberapa mahasiswa dibuat jengkel. Bagi mahasiswa, kalimat-kalimat Markesot tidak tersusun secara sistematis, vulgar dan sangat kampungan.

Cak Nun yang juga melingkar di antara “jamaah Yasinan” menyungging senyum, mripat-nya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan para hadirin dan berhenti ke orang yang terlihat sangat emosional. Sesekali Cak Nun meninggalkan forum masuk ke bilik pribadinya. Siapapun tahu, Cak Nun meneruskan beberapa tulisan yang tertunda, dan semuanya dibatasi oleh deadline beberapa surat kabar dan majalah. Tulisan kolom untuk media-media cetak: Surabaya Post, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Yogya Post, Suara Merdeka, Wawasan, Tempo, Suara Pembaruan, dst.

“Mahasiswa ini bagaimana, katanya orang pintar kok tidak paham omongan saya,”protes Markesot.

“Orang pintar itu harus memahami bahasanya orang bodoh,” Markesot masih protes. Dan sangat menohok.

Semua hadirin terkesiap. Markesot tidak tamat Sekolah Dasar tapi omongannya sangat dalam.

“Kalau saya tidak paham omongan sampeyan, ya wajar, lha saya kan ndak sekolah!” Markesot terus mencerca para mahasiswa. Matanya memerah. Tangannya diacung-acungkan.

Beberapa mahasiswa di kiri kanan Markesot berusaha meredam dengan mengelus punggungnya. Markesot secara kasar membuang tangan yang mengelusnya.

“Saya tidak marah…!”

Dari balik pintu Cak Nun melongok, lalu bergabung. Bantah berbantah masih berlangsung.

“Pertanyaannya adalah orang awam harus memahami orang pintar atau sebaliknya?”Cak Nun memulai ikut bicara. Semua terdiam menyimak.

“Seharusnya mahasiswa, orang-orang pintar, dituntut bisa memahami bahasanya orang bodoh, bahasanya orang awam. Jangan sebaliknya. Kalian ini orang-orang beruntung, bisa sekolah tinggi. Tampunglah semua orang, tampunglah Markesot.

Markesot merasa dibela. Hampir sebagian forum merasa kesal.Tiap diskusi yang dibangun selalu berantakan jika ada Markesot. Ia menjadi momok. Sangat menjengkelkan. Markesot dianggap bodoh.

Itulah Guk Nuki, kawan lama Guk Nun. Orang yang sangat disayang Cak Nun. Kini Markesot tinggal di Menturo, Jombang.

Setelah melanglang di hutan Kalimantan, Markesot pulang ke Jombang. Kerja serabutan di kampungnya atau di Surabaya. Sesekali dipanggil untuk bantu-bantu service mobilnya Cak Nun di Yogya.

Keahlian Markesot mbenerin mobil sangat spesial. Tanpa mengganti spare-part baru dengan daya kreatifnya sebuah mobil ngadat bisa beres dan hemat BBM lagi. Repotnya, sewaktu-waktu mobil bermasalah, sementara Markesot berhalangan tidak bisa ke Yogya, maka “terpaksa” mobil harus ditangani montir bengkel konvensional. Disitulah akan terjadi “pertarungan kultural.”

Versi Markesot akan diganti semuanya oleh montir bengkel.Karena dianggap merepotkan dan tidak baku teorinya. Jalan pintasnya, ganti spare-part baru. Berlakulah hukum dagang, rusak sedikit harus beli yang baru. Begitulah.