Tujuh Puluh Satu Tahun Tak Kunjung Merdeka

PEMERINTAHAN NEGARA Kesatuan Republik Indonesia berdiri tidak langsung jadi dan bersifat permanen. Bongkar pasang model-bentuk-wujud ideologi-negara dan teritorial geografisnya berubah-ubah seiring dinamika politik yang terjadi. Proklamasi kemerdekaan RI yang menandai adanya pemerintahan negara merupakan keniscayaan dari geliat Kebangkitan Nasional yang sudah terjadi sejak 1900-an. Bahkan jauh sebelum itu, persatuan bangsa-bangsa Nusantara sudah terjalin sebelum ada istilah Indonesia atau-pun Nusantara. Kehidupan sosial-masyarakat dengan kekayaan alam  dan ragam-budayanya telah hidup berdampingan sejak ratusan tahun silam. Antar suku-bangsa saling menjaga martabat dan kedaulatan tiap-tiap suku-bangsa-bangsa yang ada di bumi nusantara. Riak-riak konflik politik dan pertempuran fisik sesekali terjadi, namun tidak memupuskan cita-cita luhur bersama untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, hingga pada prosesnya memunculkan keperluan didirikannya sebuah negara-bangsa Indonesia.

Sebuah Bangsa tidak lahir dari sesuatu yang sifatnya mendadak dan sementara. Identitas sebuah bangsa dibangun melalui proses panjang pengalaman kesejarahan, melibatkan multi dimensi rangkaian peristiwa-peristiwa yang hanya dapat dibukukan sebagian kulit-kulitnya saja, itu-pun hanya kesejahteraan yang bersifat politis. Padahal, dinamika Bangsa-bangsa sedemikian kompleks dan tidak melulu hanya persoalan politik(kenegaraan).  Ada persoalan ekonomi, teknologi, regenerasi bangsa, kelestarian alam dan budaya, bahkan romantika cinta dan persahabatan para orang-orang pelaku sejarah yang tidak mungkin dapat disekenariokan menggunakan skrip perencanaan manusia. Jelas ada yang sedang ber’main’ dengan prosesi terbentuknya sebuah bangsa, sebagaimana diaturnya cuaca dan peristiwa alam yang tidak mungkin disekenariokan oleh manusia.

Berbeda dengan prosesi lahirnya sebuah bangsa, Pemerintahan Negara dibentuk berdasarkan ayat-ayat dan pasal-pasal hasil konvensi politik. Kedaulatan negara diatur dengan konstitusi yang berlaku secara politik dan militer. Melalui perundingan-perundingan politik dan pertempuran menghadapi agresi militer, Negara didirikan untuk menegakkan keberadaannya diatas cita-cita luhur dari sebuah bangsa. Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa memiliki karakteristik yang tidak ada duanya sebagai sebuah negara sekaligus sebagai sebuah keluarga besar bangsa, maka menjadi beralasan jika sistem pemerintahan yang mengatur rumah tangga negara masih akan terus menerus mengalami penyesuaiannya terhadap nasionalisme warga negara dan personalitas para pemangku negara dalam menggenggam cita-cita luhur sebagai sebuah bangsa. Dengan bahasa sederhananya, majikan dari Pemerintahan Negara Indonesia adalah Rakyat Bangsa Indonesia yang berdaulat sebagai anak bangsa-bangsa Nusantara. Jadi semestinya orientasi utama Pemerintahan Negara adalah menjadi pelayan untuk Rakyat. Eksistensi pemerintahan negara sebatas menjalankan tugas-pelayanan dari amanat dan mandat yang diberikan oleh Rakyat Bangsa Indonesia.

Pada era globalisasi dan banjir konsumerisme saat ini , nasionalisme dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa mengalami kerapuhan yang berkepanjangan. Anak-anak bangsa Nusantara hanyut oleh arus zaman, hingga tenggelam kehilangan jati-diri. Tarikan gravitasi globalisasi sedemikian kuat merobohkan bangunan-bangunan nasionalisme bangsa-bangsa diseluruh penjuru dunia. Anak-anak bangsa di berbagai belahan dunia disibukkan dengan berbagai wacana globalisasi sehingga tidak memiliki waktu untuk sekedar mengenali jati dirinya sebagai anak-anak bangsa. Demokrasi sekedar dijadikan rutinitas-politik peralihan kekuasaan lima tahunan. Modernisasi sedemikian sistematis untuk merontokkan bangunan-bangunan kebudayaan, peradaban modern telah berhasil menjadikan bangsa-bangsa di dunia terasing dan saling tidak mengenal. Dan semakin parah ketika institusi pemerintahan negara yang semestinya menjaga kesakralan kebudayaan leluhur justru menjadi mesin gergaji yang menumbangkan warisan pohon budaya, dan itu semakin tidak beralasan karena hanya bertujuan untuk mengeruk devisa dari sektor pariwisata.

Pertanyaannya, apakah kearifan budaya Batak, Bali, Betawi, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Bugis, Menado, Mandar, Sumba, Maluku, Papua dan ratusan kebudayaan warisan leluhur bangsa sudah sedemikian tertinggal, sehingga hanya hukum produk demokrasi menjadi satu-satunya yang layak menjadi supremasi kebijakan pemerintahan Negara Indonesia? Sudahkah Negara dan Pemerintahan Indonesia  benar-benar menjalankan estafet amanat kenegaraan untuk mewujudkan cita-cita Bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur? Atau yang terjadi  justru Negara yang ada saat ini sekedar menjadi alat bagi kapitalisme-global dan antek-antek neo-kolonial.