MANUSIA DAN NEGARA GRAVITATIF

REPORTASE KENDURI CINTA AGUSTUS 2016

DALAM BEBERAPA RUBRIK DAUR di awal-awal Agustus 2016 Cak Nun mengangkat satu tema besar; keseimbangan. Dan, di bulan sebelumnya, Cak Nun menyampaikan pernyataan Sabrang dalam sebuah diskusi bahwa yang ditawarkan oleh Maiyah bukanlah materi ilmu, data tentang ilmu atau tafsiran atas sebuah ilmu, namun yang ditawarkan oleh Maiyah adalah keseimbangan dari itu semua. Maiyah berusaha membangun fondasi kejernihan berfikir guna menemukan apa yang benar, bukan siapa yang benar.

Setelah melewati tahapan diskusi dalam forum Reboan, tema tentang keseimbangan tersebut lalu disepakati oleh pegiat Kenduri Cinta untuk dibahas lebih mendalam pada forum Kenduri Cinta. Syahdan, Kenduri Cinta edisi Agustus 2016 pun mengangkat tema “Manusia dan Negara Gravitatif”.

Tepat pada Jum’at kedua, pada malam 12 Agustus 2016, Kenduri Cinta dilaksanakan seperti biasa di Pelataran Taman Ismail Marzuki. Setelah diawali dengan pembacaan Wirid Wabal, menjelang pukul 9 malam, beberapa pegiat yang berada di panggung mengawali sesi Prolog. Sigit dan Nasir memoderasi beberapa narasumber internal yang sudah  hadir; Ali Hasbullah, Adi Pudjo, Luqman Baehaqi dan Hendra Kusuma.

Jama’ah mulai berdatangan dan mengambil posisi duduk. Suasana belum begitu ramai. Sebagian jamaah masih tampak menikmati kudapan dari angkringan di pojok belakang dan menikmati pertemuan dengan sesama jamaah maiyah. Sementara itu, Warung Kenduri Cinta di sebelah angkringan juga tampak menjadi pusat perhatian sendiri bagi jamaah yang hendak membeli beberapa buku-buku karya Cak Nun dan beberapa merchandise KiaiKanjeng dan Kenduri Cinta.

DEBAT DAN PILIHAN

SETELAH DIPERSILAHKAN oleh Nasir, Luqman mengawali pemaparannya bahwa saat ini masyarakat dihadapkan berbagai macam perdebatan yang  pada akhirnya justru menimbulkan perpecahan-perpecahan yang baru di kalangan masyarakat sendiri. Satu contoh yang sempat menjadi perdebatan di kalangan masyarakat akhir-akhir ini adalah apakah bumi itu datar atau bulat?

Pada akhirnya, perdebatan tidak melahirkan kesepakatan akhir. Sedangkan yang muncul justru pemandangan adu dominasi oleh para pelaku perdebatan-perdebatan yang juga melakukan hal sama pada persoalan sebelumnya. Secara sederhana, Luqman mengibaratkan bahwa saat ini masyarkaat hanya dibatasi dalam dua jenis pilihan. Jika seseorang tidak memilih A maka dianggap memilih B. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang tidak memilih B, maka ia dianggap memilih A. Seakan-akan tidak ada pilihan C, D, E dan seterusnya. Seperti dalam sebuah lapak jajanan pasar, kita hanya ditawarkan jenis makanan pisang goreng dan tempe goreng, kita dikondisikan untuk memilih salah satu diantara keduanya tanpa ada tawaran bahwa ada jenis jajanan pasar yang lain.

Luqman kemudian mengambil lagi sebuah pengibaratan, yaitu sebuah boneka yang dipasang pemberat di bagian bawahnya. Ketika boneka tersebut digoyangkan ke arah manapun, depan, belakang atau kesamping, maka ia akan kembali ke posisi ditengah, karena pemberat yang terpasang akan mengkondisikan ia tetap berada di pusat keseimbangannya. Adi Pudjo lalu memaparkan kata Gravitatif dalam tema Kenduri Cinta kali ini yang diambil dari kata Gravitasi. Adanya gaya Gravitasi telah membuat kita dan semua benda yang ada di bumi ini tidak melayang-layang seperti yang terjadi apabila berada di Bulan, misalnya. Dan, hari ini, hampir semua fokus masyarakat dipusatkan kepada Negara. Adi Pudjo pun memberi gambaran bagaimana kondisi masyarakat hari ini diarahkan untuk membicarakan sesuatu hal yang seharusnya menjadi tugas Negara dan Pemerintah. Melalui penyebaran informasi yang mereka terima di media massa, mereka dipaksa untuk ikut memikirkan Negara.

Setelah menyapa jamaah, Hendra Kusuma menarik refleksi pada tema Kenduri Cinta di bulan lalu, Manusiahwat, yang menurutnya masih ada kaitannya dengan tema kali ini. Sebelumnya pernah dibahas bahwa di dalam diri manusia terdapat akal, hati dan nafsu. Ketiga hal itu membutuhkan keseimbangan satu sama lain agar terjadi keselarasan dalam berfikir dan berbuat. Masing-masing memiliki porsinya yang tepat, dan jika saja salah satu dari ketiga hal itu melampaui batas, maka yang terjadi adalah dismanajemen dalam diri manusia.

“Bukan hanya manusia saja, bahkan semua bangunan yang ada di bumi pada hakikatnya tunduk dalam aturan Allah, dan itulah yang menyebabkan mereka tidak roboh”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Agustus, 2016)

SEJALAN DENGAN Hendra, Ali Hasbullah mengutip sedikit apa yang dituliskan oleh Cak Nun dalam DAUR edisi 179, bahwa titik pusat keseimbangan manusia berada dalam garis lurus hingga ke arasy-nya Allah. Hal ini menandakan bahwa manusia tidak bisa terlepas dari Allah. Secara mudah Ali menggambarkan bahwa bukan hanya manusia saja, bahkan semua bangunan yang ada di bumi pada hakikatnya tunduk dalam aturan Allah, dan itulah yang menyebabkan mereka tidak roboh.

Ali menjelaskan bahwa setiap hari umat muslim mengucapkan kalimat; Ihdinasshiroto-l-mustaqiim. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa sejatinya manusia akan menghadapi kehidupan yang bisa saja menyebabkan dirinya bergeser dari titik pusat gravitasinya terhadap Allah. Yang dimaksud dengan jalan lurus bukanlah sebuah jalan yang berupa materi, sehingga manusia tidak akan berbuat salah dan dosa, dan manusia berada dalam kondisi yang baik-baik saja, serta menjalani kehidupan dengan damai dan tentram, bukan itu sebenarnya. Yang dimaksud jalan yang lurus adalah tauhid dan cintanya terhadap Allah.

Jalan yang dilalui oleh manusia tidak harus lurus, bisa saja berkelok-kelok, terkadang harus naik dan turun, bahkan tidak jarang manusia harus berputar kembali ke belakang dan melalui jalan yang sudah dilewati sebelumnya. Tetapi, dalam kondisi apapun, manusia memohon kepada Allah agar berada dalam garis lurus tauhid kepada Allah, manusia berada dalam pusat gravitasinya Allah. Sehingga, apapun yang dilakukan oleh manusia tidak sampai menyalahi aturan Allah.

Seperti halnya ketika manusia berada di jalan yang miring, secara otomatis ia akan menghitung kemiringan tubuhnya dan sesegera mungkin mengkondisikan tubuhnya untuk menyesuaikan dengan kondisi tanah yang ia pijak, sehingga ia tidak jatuh.  Demikian pula apabila seorang tokoh partai politik begitu ia menjadi pejabat negara, maka seharusnya pusat gravitasinya pun tidak terpengaruh, ia akan tetap berada dalam pusat gravitasi Allah meskipun ia menjadi Presiden, Menteri, Gubernur dan lain sebagainya. Kesadaran akan posisi makhluk dalam pusat gravitasi Allah inilah yang hari ini tidak dimiliki oleh banyak orang. Ketika seorang pejabat negara atau pejabat pemerintahan bekerja tidak berpusat pada titik gravitasi Allah, maka di saat itu pula ia seperti sebuah bangunan yang miring. Dan, bangunan itu juga akan membahayakan orang yang ada disekitarnya.

Di Maiyah, kita bisa mendapatkan kunci-kunci yang menjadi pedoman dalam kehidupan. Ali mencontohkan, bagaimana Cak Nun memberi metafor bahwa dalam kehidupan terdapat 3 terminologi: Cangkul, Pedang dan Keris. Cangkul adalah lambang ekonomi, sementara Pedang adalah lambang kekuasaan dan Keris adalah lambang pusaka. Terminologi ini bisa dikembangkan dalam cara kita memaknai kehidupan.

Misalnya, seorang sarjana S1 menggunakan gelar sarjana yang ia miliki untuk apa; sebagai Cangkulkah, sebagai Pedang, atau sebagai Keris. Jika Cangkul, maka ia hanya bernilai ekonomi. Ia menggunakan gelar S1 sebagai alat untuk mencari pekerjaan dan mengumpulkan uang. Lalu, jika ia maknainya sebagai Pedang, maka gelar sarjana yang ia miliki akan menjadi alat untuk berkuasa. Sedangkan bila ia memaknai gelar sarjananya itu sebagai Keris, maka akan menjadi pusaka dalam kehidupannya sehingga ia tidak akan main-main dengan gelar yang ia miliki.

Sekarang kita bisa melihat banyak sekali contoh bagaimana pendidikan tinggi yang dimiliki oleh seseorang ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas moral yang seharusnya juga semakin luhur. Alhasil, pada konteks ini dapat disimpulkan, bahwa apabila seseorang memaknai apa yang ia miliki sebagai Keris, maka ia juga akan berlaku sebagai Pedang dan Cangkul. Akan tetapi, jika hanya dimaknai sebagai Pedang atau Cangkul, ia tidak akan mampu mencapai derajatnya sebagai Keris.

Untuk memberikan jeda sejenak, Jimmi HipHop menampilkan beberapa nomor hiphop untuk yang pertama kali di Kenduri Cinta. Usai penampilan Jimmi Hihop, Tri Mulyana bersama Ali Hasbullah memasuki moderasi diskusi sesi pertama.

“Perangkat lunak itu adalah sebuah teknologi buatan manusia sedangkan tangan manusia adalah teknologi buatan Tuhan”
Mujirun, Kenduri Cinta (Agustus, 2016)

HADIR DALAM diskusi kali ini Pak Mujirun, seorang engraver uang kertas Indonesia. Pak Mujirun sedikit berkisah, bahwa menjadi seorang engraver uang kertas adalah sebuah pekerjaan yang menuntut ketelitian yang lebih mendalam jika dibandingkan dengan pekerjaan seorang desain grafis. Menurutnya, seorang Engraver sudah pasti adalah seorang desain grafis, tetapi seorang desain grafis belum tentu bisa disebut sebagai engraver.

“Pada saat saya membuat satu lukisan untuk mata uang, saya membutuhkan waktu antara 4-6 bulan. Lukisan itu harus melewati proses yang cukup lama dan membutuhkan ketelitian yang tinggi”, Pak Mujirun yang memiliki latar belakang pendidikan Sekolah Seni Rupa Yogyakarta menjelaskan. Dulu ia direkrut oleh PERURI pada saat masa pendidikan di sekolah belum selesai. Setelah selesai dari masa pendidikan di Yogyakarta, sejalan dengan masa tugas di PERURI, beliau lalu disekolahkan ke Swiss, Italia, Inggris dan Hongaria untuk mendapatkan ilmu yang lebih matang lagi dalam teknik engrave mata uang ini. Kata Pak Mujirun, sebuah Engrave bagi mata uang adalah salah satu media pengaman mata uang, sehingga sebuah engrave mata uang harus dibuat serumit mungkin, namun tetap menghasilkan sebuah hasil karya yang indah. Dengan kata lain, engrave adalah salah satu lapisan keamanan terhadap sebuah mata uang agar terhindar dari pemalsuan uang.

Profesi seorang engraver ini bisa disebut sebagai profesi yang sangat langka, saat Pak Mujirun pensiun dari PERURI, beliau mencatat hanya tinggal 4 orang saja yang memiliki kemampuan menjadi seorang engraver mata uang. Sementara itu, yang mampu membuat engrave di plat baja saat itu hanya Pak Mujirun sendiri. Saat ini Indonesia hanya memiliki 10 orang engraver. Salah satu karya yang begitu berkesan bagi Pak Mujirun adalah engrave mata uang bergambar lukisan Presiden Soeharto, sat itu Pak Mujirun menyingkirkan kontestan lain yang mengikutsertakan karya engrave mereka di Bank Indonesia. Dan, Pak Mujirun saat itu adalah satu-satunya kontestan yang berasal dari Indonesia.

Profesi sebagai seorang engraver diawali oleh Pak Mujirun sejak tahun 1986. Dijelaskannya bahwa dalam proses engrave plat-plat baja yang dinyatakan gagal desain, maka plat tersebut akan dihancurkan untuk menghindari terjadinya pencetakan uang dengan desain yang salah. Kemudian, dengan kemajuan teknologi, ditemukanlah perangkat lunak yang mampu membantu manusia untuk membuat sebuah engrave diatas plat baja, meskipun oleh Pak Mujirun diakui hasilnya tidak lebih bagus dari karya tangan manusia. “Mungkin inilah perbedaannya, jika perangkat lunak itu adalah sebuah teknologi buatan manusia sedangkan tangan manusia adalah teknologi buatan Tuhan”, lanjut Pak Mujirun.

Tantangan seorang engraver plat baja adalah harus patuh dengan aturan main; boleh menambah desain, tetapi tidak boleh mengurangi apalagi menghapus desain. Karena engrave yang dibuat diukir dengan menggunakan media berupa plat baja yang sangat kuat yang kemudian dijadikan sebagai master engrave sebuah mata uang. Dengan tingkat ketelitian yang sangat tinggi, sebuah garis seukuran satu millimeter harus mampu dipecah lagi menjadi 7 garis. Tingkat detail yang sangat rumit inilah yang menjadi sistem keamanan sebuah uang kertas yang beredar di masyarakat.

Tri Mulyana melanjutkan sesi dengan memancing sebuah pertanyaan kepada Pak Mujirun, bahwa dengan profesinya sebagai seorang engraver mata uang sangat mungkin sekali memanfaatkan celah untuk meraih uang sebanyak mungkin dengan menjual plat hasil engravenya sendiri kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Mengapa Pak Mujirun bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal itu? Dan,Pak Mujirun menjawab, “Saya tidak ingin harta yang saya dapatkan berasal dari cara yang haram. Karena saya yakin Allah akan memberikan rizqi yang berkah bagi saya”.

Sebelum pensiun dari PERURI, Pak Mujirun sempat ditawari pekerjaan yang sama oleh Malaysia dengan imbalan penghasilan tetap 3 kali lipat dari gaji yang ia dapatkan di PERURI saat itu. Tawaran itu ditolak oleh beliau.selain itu, melihat kondisi bahwa di Indonesia belum ada sekolah engraver, Pak Mujirun menyatakan diri untuk siap diperbantukan apabila dikemudian hari ada sebuah kampus yang membuka jurusan seni engrave.

Dari Tri Mulyana, Irfan Bimantoro kemudian menyampaikan paparannya dengan informasi awal mengenai konstelasi yang terjadi di Turki saat ini. Menurut Irfan, apa yang terjadi di Turki hanyalah karena barat tidak menyukai Erdogan, bukan terhadap sistem demokrasi yang berlangsung di Turki sendiri, yaitu jangan sampai sistem demokrasi Turki saat ini diganti menjadi sistem Khilafah Islamiyah. Maka, keributan yang terjadi saat ini di Turki lebih dikarenakan karena adanya sosok Erdogan itu sendiri. Irfan menjelaskan konstelasi yang terjadi di Eropa saat bermuara pada PIGS; Portugal, Irlandia, Greece (yunani) dan Spanyol. Brexit sendiri menurutnya merupakan salah satu dampak dari gejolak ekonomi yang tidak seimbang. Inggris merasa dirinya sudah mampu untuk mengurusi ekonomi negaranya sendiri sehingga memutuskan keluar dari Uni Eropa. Saat ini Inggris bersama Jerman dan Perancis merupakan negara kuat di wilayah Eropa secara ekonomi.

Perancis memiliki daya tarik pariwisata yang tinggi, sehingga sejumlah teror yang terjadi di Perancis pada akhirnya adalah salah satu cara yang digunakan untuk menggoyang stabilitas ekonomi Perancis yang saat ini dalam kondisi sangat baik. Dengan adanya teror di beberapa kota di Perancis, salah satu dampaknya adalah menurunnya turis asing yang hendak berkunjung ke Perancis. Sementara itu, kanselir Jerman sendiri sempat bersitegang dengan parlemennya terkait dana talangan yang hendak diberikan kepada Yunani agar Yunani tidak dinyatakan bangkrut. Irfan menyimpulkan bahwa siapa yang ingin berkuasa di dunia saat ini adalah dia yang memiliki kemampuan untuk ‘mencaplok’ negara lain dengan kekuatan yang dimilikinya. Dan, kekuatan untuk menghantam negara lain itu bukan hanya melalui militer, melainkan semua kekuatan yang dimiliki oleh sebuah negara akan dikerahkan seluruhnya untuk menguasai dunia. Pada sisi lain, di wilayah Asia Pasifik, konflik Laut Cina Selatan menjadi titik pusat konstelasinya yang melibatkan Indonesia dan China.

Setelah pemaparan awal dari Pak Mujiron dan Irfan, Tri Mulyana sedikit mengambil intisari dari apa yang sudah disampaikan. Apa yang dilakukan oleh Pak Mujirun merupakan sebuah pekerjaan yang sangat mulia, dan seandainya bukan orang yang tepat berada di posisi seorang engraver mata uang seperti Pak Mujirun, sangat mungkin terjadi pencetakan uang kertas palsu dengan menggunakan desain engrave yang asli. Apa yang dilakukan oleh Pak Mujirun dengan tetap memegang teguh kejujuran merupakan salah satu contoh wujud nyata lurusnya garis Tauhid dalam diri seorang engraver mata uang dengan titik pusat arasy-nya Allah. Pak Mujirun sendiri pun mengakui, bahwa dalam profesi yang digelutinya sebagai engraver, unsur pengabdian menjadi salah satu unsur yang sangat penting, yang membuatnya menolak tawaran dari negara lain walau dengan penghasilan yang lebih besar.

Setelah mendengar sedikit respon dari beberapa jamaah, Nissa dari Jamparing Asih, menceritakan proses Maiyah Jamparing Asih yang sudah berjalan kembali pada kurun waktu 1 tahun terakhir ini. Menurutnya, Maiyah adalah sebuah forum yang mampu mempersatukan kelompok-kelompok yang sebelumnya tercerai berai. Sebuah forum yang menghancurkan sekat-sekat keangkuhan, dan tempat mencari kesejatian melalui nilai-nilai yang muncul dari kemurnian hati masing-masing setiap individu yang hadir.

Dari Nissa, Irfan merespon pertanyaan dari jama’ah dan disambung grup musik Nada Akustik, salah satu anggota Komunitas Jazz Kemayoran yang digawangi oleh Beben Jazz untuk membawakan 3 buah nomor akustik sebagai jeda sebelum memasuki diskusi sesi selanjutnya.

“Yang nomor satu perlu dibangun adalah kesadaran bahwa kita inilah yang membutuhkan Allah. “
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2016)

KOORDINAT GARIS LURUS

MENGAWALI DISKUSI sesi kedua Ust. Noorshofa menjelaskan bagaimana keseimbangan sangat dibutuhkan oleh manusia. Perlunya keseimbangan dalam diri kita masing-masing berjalan dalam rangka menyadari bahwa memang sudah seharusnya kita berada dalam garis yang tegak lurus dengan koordinat pusat Allah. Dan, ketepatan koordinat yang tegak lurus dengan garis tauhid Allah akan memudahkan kita pada saat sakaratul maut ketika mengucapkan kalimat laa ilaahaillallah. Karena, hal paling berat kelak adalah ketika kita berdiri dihadapan Allah dengan bekal kedzaliman-kedzaliman yang telah kita lakukan selama kita hidup di dunia ini. Maka, dengan pijakan koordinat yang tepat, setidaknya kita memiliki bekal agar terhindar dari perbuatan-perbuatan dzalim yang kelak menyusahkan kita  sendiri.

Setelah pemaparan Ust Noorshofa, Irfan memberi sedikit resume tentang apa yang sudah didisukusikan pada sesi prolog dan diskusi sesi pertama. Kemudian, lewat tengah malam, Cak Nun bergabung dengan jamaah Kenduri Cinta bersama Syeikh Nursamad Kamba. Sebuah kesyukuran yang luar biasa, setelah beberapa bulan terakhir Syeikh Nursamad Kamba harus istirahat dalam rangka menjalani masa pemulihan pasca dirawat di rumah sakit. Malam ini Syeikh Nursamad Kamba hadir di Kenduri Cinta dalam keadaan sehat wal afiat.

Setelah menyapa jamaah, Cak Nun mengajak jamaah untuk menarik satu langkah mundur. Dalam pertandingan sepakbola, durasi yang dibutuhkan dalam sebuah pertandingan normal adalah 90 menit. Dan, dalam sebuah turnamen, setiap kesebelasan akan melewati masa-masa pertandingan mulai dari fase penyisihan grup hingga memasuki babak sistem gugur, dan pada akhirnya memasuki pertemuan puncak sebuah turnamen yaitu hanya ada dua kesebelasan untuk membuktikan siapa yang paling pantas untuk meraih gelar juara dalam pertandingan final.

Cak Nun mengajak jamaah untuk mencoba menghitung dan menakar posisi Indonesia saat ini dalam pengibaratan sebuah turnamen sepakbola. Apakah pada fase grup, 16 besar, 8 besar, semifinal atau sudah berada di partai final? Atau, jika diibaratkan dalam pertandingan tinju, posisi Indonesia saat ini ada di ronde ke berapa? Apakah Indonesia sudah benar-benar dinyatakan kalah karena seluruh kekuatan yang ada sudah habis, ataukah Indonesia masih memiliki kesempatan untuk bangkit dan kemudian membuktikan diri bahwa Indonesia adalah pihak yang paling layak untuk menyandang status “Juara Dunia”?

Lalu, satu pertanyaan kembali dilemparkan oleh Cak Nun, berapa lama durasi waktu turnamen hidup manusia? Dari pertanyaan itu beberapa jama’ah menjawab bahwa durasi turnamen kehidupan setiap manusia adalah selama 63 tahun, mengacu pada usia Rasulullah Muhammad SAW. Ada pula yang menjawab seumur hidup, dan ada yang menjawab bahwa durasi waktu tersebut adalah selama-lamanya, dengan kata lain: abadi. Setelah sekian jawaban Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa dalam dursasi keabadiannya manusia ini, siklus yang dilewati oleh manusia pun bermacam-macam. Ibarat air, ada kalanya manusia menjadi air, kemudian ada kalanya manusia menjadi es yang membeku. Kemudian, pada saatnya juga manusia akan menjadi uap air. Dan, satuan waktu kebadainnya kehidupan manusia tidak bisa kita batasi dengan satuan waktu yang kita sepakati saat ini. Cak Nun juga menjelaskan, bahwa yang dianggap surga oleh kita saat ini bisa jadi adalah neraka bagi orang lain, di samping juga kelak pada saatnya nanti kita benar-benar akan mengalami bahwa surga yang kita yakini juga merupakan surga bagi orang lain.

Hari ini, kita sebagai manusia memperebutkan banyak hal dengan cara yang tidak adil. Kelak, pada surga yang berlaku sama bagi semua orang, setiap manusia ketika menginginkan sesuatu, maka keinginan itu akan terwujud tanpa harus melewati konflik satu sama lain.

Selanjutnya untuk kembali menarik benang merah dari apa yang dialami oleh Indonesia saat ini, Cak Nun mengibaratkan bahwa pemimpin Indonesia saat ini terlanjur memilih kondisi makmur terlebih dahulu, bukan adil dan makmur. Saat ini kita melihat bahwa kondisi makmur dirasakan oleh sebagain kecil penduduk Indonesia. Sedangkan yang seharusnya diutamakan oleh pemimpin Indonesia adalah adil dan makmur, sehingga tidak tampak keadilan dari kemakmuran yang ada saat ini. Dari pijakan ini, apabila sejak awal titik gravitasi kita adalah keadilan, maka kita tidak akan mengalami keributan-keributan yang saat ini kita alami. Sebab, yang seharusnya menjadi titik fokus utama dalam kehidupan manusia adalah bahwa ia harus memastikan dirinya dalam posisi titik gravitaif dirinya dengan Allah, dan fokus utamanya adalah memastikan apakah dirinya dalam posisi yang benar dalam aturan main Allah. Dengan begitu manusia tidak dipusingkan dengan pencapaian-pencapaian materi, menanjaknya karier dalam sebuah organisasi, meningkatnya omset harta yang didapatkan, popularitas yang semakin tinggi di mata masyarakat, ataupun sederet pencapaian-pencapaian yang sifatnya materialistis. Padahal, sejatinya yang akan ditagih di hadapan Allah bukanlah pencapaian-pencapaian yang bersifat materialistik seperti itu.

“Jadi, sekarang kita pastikan, anda ini hidup sementara atau hidup selama-lamanya?”, Cak Nun kembali bertanya kepada jamaah. Dan, hampir semua jamaah menjawab selama-lamanya. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita bisa mengelak dari aturan hidup selama-lamanya ini, dalam artian apakah kita mampu menolak aturan bahwa sebenarnya manusia itu hidup selama-lamanya?

Cak Nun kemudian mengibaratkan kita sebagai sebuah kereta api yang berjalan di atas rel, apakah ada pilihan bahwa kita bisa berpindah di atas rel yang lain, selain yang milik Allah ini? Dengan kata lain, apakah ada sesuatu didunia ini yang bukan milik Allah, sehingga ada kemungkinan bagi kita untuk tidak mengikuti dan taat pada aturan hidup selama-lamanya tadi?

“Jadi, posisinya apakah manusia itu hidup abadi atauklah justru manusia itu wajib hidup abadi?”, Cak Nun menekankan kembali pertanyaannya.

“Anda tidak bisa hidup tidak abadi. Anda tidak bisa mengelak, bahkan bunuh diri pun tidak ada tempatnya”, lanjut Cak Nun. Sementara itu, hitungan yang dilakukan oleh manusia saat ini harus menitikberatkan pada kondisi hidup sementara atau hidup selama-lamanya? Ini seperti halnya orang mengatur nafas ketika berlari, ritme tarikan nafas jika seseorang hendak berlari 100 meter akan sangat berbeda dengan ritme tarikan nafas orang yang hendak berlari sejauh 10 meter.

20160813_DSC_6354

 “Tidak ada legitimasi untuk menagih gotong royong, kerjasama, kearifan dan toleransi antara satu dengan yang lain. Semua itu boleh ditagih manakala keadilan sudah dirasakan oleh semua pihak. “
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2016)

DALAM TERAPAN ilmu sosial, gotong royong, kearifan, toleransi dan segala macam yang dituntut oleh manusia saat ini, seharusnya merupakan akibat dari keadilan yang terwujud dalam sebuah sistem organisasi kehidupan manusia dalam semua ruang lingkup yang dialaminya, apakah itu kehidupan berbangsa dan bernegara, kehidupan beragama, atau kehidupan bermasyarakat dalam sebuah komunitas yang skalanya kecil. Sehingga, apabila keadilan tidak terwujud, maka tidak ada legitimasi untuk menagih gotong royong, kerjasama, kearifan dan toleransi antara satu dengan yang lain. Semua itu boleh ditagih manakala keadilan sudah dirasakan oleh semua pihak.

Selanjutnya, untuk menjelaskan terminologi gravitatif yang diangkat dalam tema Kenduri Cinta kali ini, Cak Nun mengambil amsal bahwa sebuah bangunan didirikan harus tunduk pada hukum Allah. Bahwa, seperti apapun kondisi tanah tempat bangunan tersebut didirikan, maka fondasi bangunan itu harus taat pada hukum gravitasi yang sudah ditetapkan oleh Allah. Dan, dengan demikian bangunan yang didirikan atas dasar ketaatan terhadap hukum Allah tersebut pun tidak roboh. Begitu juga dengan manusia, apabila ia memposisikan dirinya untuk gravitatif dengan aturan Allah, maka ia akan berada dalam satu garis koordinat dengan tauhid Allah, apapun kondisi perjalanan hidup yang dialaminya. Meskipun dihadapannya ada setumpuk uang, apabila ia menyadari bahwa uang itu bukanlah haknya, maka ia tidak akan mengambil uang itu. Karena, ia menaati aturan hukum gravitasi Allah dimana ia tidak diperbolehkan mengambil yang bukan haknya.

Dalam dunia kekuasaan Cak Nun menggambarkan jika kita mendirikan sebuah partai politik, maka aturan yang diberlakukan adalah apakah partai politik yang kita dirikan ini ditujukan untuk Indonesia atau sebaliknya, apakah Indonesia ditujukan untuk partai politik yang kita dirikan? Apakah seluruh aset partai politik yang kita dirikan kita kerahkan dan kita manfaatkan untuk Indonesia, ataukah justru seluruh aset Indonesia kita manfaatkan untuk kepentingan partai politik kita? Jika mengacu pada Pancasila, maka tujuan akhir dari yang diusahakan oleh pemerintah yang berkuasa adalah apa yang tertulis pada sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih jauh lagi Cak Nun menjelaskan, bahwa As-shiroto-l-mustaqiim itu tidak difahami sebagai pemahaman materi, bahwa manusia akan mengalami jalan yang lurus, mengalami kehidupan yang baik-baik saja tanpa ada gangguan. Karena, sudah pasti manusia akan mengalami jalan yang berkelok-kelok, naik turun, bertemu jalan yang terjal dan lain sebagainya. Maka “jalan yang lurus” yang dimaksud dalam surat Al Fatihah itu adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang setia pada ketentuan dasar Allah terhadap ciptaan-Nya.

Beberapa waktu yang lalu, redaktur Maiyah, Helmi Mustofa, berkesempatan bersilaturahmi ke kediaman Syeikh Nursamad Kamba. Dalam sebuah diskusi kecil saat itu menurut Syeikh nursamad Kamba, tingkat kepercayaan diri umat Islam mengalami penurunan yang drastis sejak munculnya berbagai forum-forum pengajian. Yakni, ketika seseorang menceramahi orang lain, diam-diam dalam diri si penceramah terbesit sebuah niatan bahwa orang yang diceramahi adalah orang yang memang perlu diceramahi. Ketika seseorang memberitahu orang lain, diam-diam muncul dalam dirinya sebuah asumsi bahwa orang yang diberitahu belum mengetahui informasi yang akan diinformasikan itu.

Di dalam Al Qur’an, yang disebut sebagai ahsani taqwiim adalah manusia. Bahkan, Al Qur’an sendiri pun tidak disebut sebagai ahsani taqwiim. Ketika bayi dilahirkan dari rahim ibunya, saat itu pula ia sudah taat dengan kehendak Allah. Jika ditarik lebih jauh lagi, bahkan sebenarnya nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW pun sudah dibekali dengan Al Qur’an. Hanya saja, ketentuan Allah menghendaki Al Qur’an diturunkan dalam bentuk wahyu kepada Rasulullah SAW, dan pada sekian generasi berikutnya Al Qur’an diwujudkan dalam bentuk mushaf.

Adanya aturan seorang muslim harus bersyahadat, kemudian sholat, berpuasa, menunaikan zakat dan melakukan ritual haji, dalam ilmu tasawuf difahami bahwa itu sebenarnya hanya simbol. Sama halnya ketika seseorang diharuskan berwudhlu sebelum sholat. Maka, yang sebenarnya terjadi bukanlah peristiwa membasahi beberapa anggota tubuh dengan aliran air, melainkan yang mensucikan dirinya itu adalah niat yang tertanam dalam hatinya bahwa ia diharuskan untuk mensucikan dirinya sebelum menghadap Allah swt. Dari situ lantas dikenal istilah syariat, thoriqot, hakikat dan ma’rifat. Dan, bukan berarti muncul argumen bahwa wudhlu itu tidak penting. Ritual wudhlu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW merupakan aturan administratif yang harus dilakukan oleh seorang muslim sebelum ia melakukan sholat.

Cak Nun menjelaskan bahwa seluruh lingkup kehidupan manusia dan semua makhluk Allah harus taat pada syariat Allah. Bayi menangis, berhembusnya angin, mengalirnya air dari tempat yang tinggi menuju tempat yang lebih rendah merupakan dalam rangka wujud ketaatan terhadap syariat Allah. Bahkan, teknologi apapun yang dikreasikan oleh manusia tidak ada yang boleh melanggar syariat Allah.

Athiiullaha wa athiiurrasuul wa ulil amri minkum, ayat ini menjelaskan salah satu detail keseimbangan dalam kehidupan manusia. Melalui ayat tersebut Allah memberi retorika bahwa kalimat áthiiu tidak disematkan pada kata ulil amri. Hal ini dapat difahami bahwa ketaatan terhadap ulil amri itu tidak mutlak, tetapi sepanjang ulil amri berda dalam garis lurus gravitatif syariat Allah maka sepanjang itulah manusia harus taat kepada ulil amri. Akan tetapi, ketaatan terhadap Allah dan Rasulullah adalah ketaatan yang bersifat mutlak, tidak ada celah negosiasi di dalamnya.

Kemudian Cak Nun mempersilahkan Syeikh Nursamad Kamba untuk menjelaskan terminologi “Kholidina fiiha abadan”.

2016084

“Bayi menangis, berhembusnya angin, mengalirnya air dari tempat yang tinggi menuju tempat yang lebih rendah merupakan dalam rangka wujud ketaatan terhadap syariat Allah. Bahkan, teknologi apapun yang dikreasikan oleh manusia tidak ada yang boleh melanggar syariat Allah. 
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2016)

GRAVITASI CAHAYA

“MANUSIA ITU MENJADI makhluk abadi, karena dia adalah makhluk abadi, karena kita ini adalah ide dalam fikiran Allah. Dari mana asal-usul makhluk entitas ini menjadi banyak, yang awalnya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa? Satu bukan karena selain Dia ada yang kedua, melainkan karena Dia adalah satu-satunya. Yang kita sebut Sang Mutlak dalam kemutlakannya, yang tidak bisa didefinisikan, tidak bisa dikonseptualkan, tidak bisa dipersuasikan, tidak bisa digambarkan”, Syeikh Nursamad Kamba mengawali uraiannya.

Allah menciptakan manusia dalam image-Nya, Kholaqo-l-insaan ‘alaa surotihi. Seluruh yang ciptaan Allah pada hakikatnya adalah sebuah potensi yang ada secara potensial, kemudian semua menjadi kongkrit karena adanya cahaya. Ibaratnya, ketika kita berada di dalam ruang yang gelap gulita, kita tidak dapat melihat apapun. Tetapi, kalau ada cahaya, kita pun akan melihat bahwa dalam ruangan tersebut terdapat dinding, kipas angin, kursi dan segala macamnya. Kalau ini bisa dimengerti, maka manusia akan memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang abadi karena manusia merupakan manifestasi dari ciptaan Tuhan.

Manusia menjadi kongkrit dikarenakan ada cahaya, dan cahaya itu adalah ilmu. Menurut Kanjeng Nabi, Al ilmu nuuru, ilmu adalah cahaya. Ilmu adalah salah satu cara Allah untuk mencahayai makhluknya. Segala entitas yang bersifat potensial menjadi aktual dikarenakan cahaya Allah. Manusia adalah makhluk abadi dalam fikiran Tuhan.

Kalau ditanya, sudah di menit ke berapa ini Indonesia? Jika ditanyakan kepada orang yang tidak bersambungan dengan Maiyah, mungkin ia akan kesulitan untuk menjawabnya. Tetapi, orang Maiyah akan dengan mudah menjawab pertanyaan tersebut. Karena, menit dan jam dalam Maiyah itu sangat difahami dengan relatif. Setiap orang menghadiri Maiyah, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya kesadaran bahwa ia akan mengalami kelahiran dirinya yang baru dan mengalami kematian dirinya yang lalu. Begitu seterusnya.

Manusia mengalami aktualisasi diri dengan melahirkan dirinya kembali, setelah mematikan dirinya. Karena itu, selalu ada transformasi diri. Menurut Syeh Nursomad, agama itu tugasnya adalah mentranformasikan manusia dari kematian menuju kelahiran, dan dari kelahiran menuju kematian, begitu seterusnya berdasarkan siklus kehidupan. Sehingga, apa yang kita defnisikan tentang kematian adalah berpindahnya kehidupan menuju kehidupan dunia ke akhirat, sesungguhnya pun setiap hari kita bisa juga mengalami kematian. Ketika kita mengalami yang baik menjadi buruk, itu merupakan satu peristiwa kematian. Ketika kita mengalami perubahan karakter yang buruk menjadi baik, itu merupakan suatu kelahiran. Dan, fungsi esensial suatu agama adalah mentranfromasikan manusia menuju kepada kebaikan.

Inasholata tanha ‘ani-l-fakhsyaai wal munkar. Sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Orang-orang yang rajin sholat tetapi tetap melakukan perbuatan keji dan munkar maka sholatnya tidak efektif. Begitu juga apabila orang berpuasa, tujuannya pun supaya bertaqwa. Maka, mankala ia berpuasa tetapi kemudian puasanya tidak menjadikan dirinya bertaqwa, maka puasanya tidak efektif, gagal. Maka dari itu, ketika bulan puasa harus tetap banyak warung makan yang buka di siang hari. Sebab, apabila semua warung makan ditutup, salah satu akibatnya adalah membuat kita menjadi manja dan tidak lulus dalam ujian (puasa) itu. Seharusnya, kalau mau puasa, kita dihadapkan makanan tetapi kita tidak melahap makanan itu. Dari situlah kita akan teruji daya tahannya.

Sedangkan kondisi yang kita lihat adalah, pada minggu pertama bulan puasa orang sibuk mengurusi penutupan warung makan, lalu di minggu kedua disibukkan dengan razia warung makan yang buka di siang hari, dan minggu ketiga berbicara soal kemenangan. Hal ini menunjukkan bahwa agama nampak tidak efektif bagi manusia. Dan, yang terjadi kemudian seolah-olah agama membebani negara.

Ada satu upaya bahwa syariat Islam harus ditegakkan karena mereka berkeyakinan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang ideal. Inilah dimaksudkan sebagai hal yang membebani negara. Karena cita-cita penerapan syariat Islam ini adalah beban historis yang sangat menekan di seluruh negara yang terdapat orang islamnya. Karena, yang kita sebut syariat adalah kompilasi hukum Islam, bukan sebagai syariatullah dan sunnatullah yang disebutkan oleh Cak Nun sebelumnya tadi.

Dan, kompilasi hukum Islam jika ditelusuri sejarahnya, itu adalah hukum-hukum positif yang dilahirkan oleh masa lalu mulai dari abad ke 3 hijriah sampai abad ke 7-8 hijriah. Itu adalah suatu kumpulan kompilasi hukum yang sesungguhnya menjadi pedoman bagi Qodi saat itu guna mengatur ketertiban umum. Jadi, itu sebenarnya hanyalah semi hukum positif, karena ia tidak merepresentasikan secara keseluruhan hukum-hukum ilahi yang ada di dalam Al Quran. Karena, fiqh itu lahir dari qiyas, dari analogi dan seterusnya.

Jadi, berlangsung proses pemikiran yang terjadi untuk melahirkan fiqh yang kita kenal saat ini. Bank syariat, hijab syar’i dan lain sebagainya merupakan hasil dari pemikran-pemikiran manusia berdasarkan qiyas. Sehingga, jika syariat Islam berdasarkan pemahaman ini yang diterapkan, maka akan membebani negara.  Sedangkan kita hidup dalam suasana yang sudah tidak memerlukan itu.

Sesungguhnya, orang membutuhkan inspirasi dari AL Qur’an, bukan dari kompilasi hukum positif yang difahami sebagai fiqh saat ini. Karena itu, di Maiyah kita diajak oleh Cak Nun untuk kembali kepada AL Qur’an yang sesungguhnya.

Jika difahami bahwa fitrah adalah keislaman, maka harus disepakati terlebih dahulu bahwa Islam adalah fitrah secara akal sehat berdasarkan hadits kullu mauludin yuuladu ‘alalfitroh. Pendidikan kita sesungguhnya adalah bagaimana caranya mengkondisikan agar akal sehat ini tumbuh subur di kalangan umat manusia. Dan, oleh karena itu, manusia tidak perlu dijejali oleh dogma dan doktrin.

Dogma dan doktrin saat ini justru menjadi beban. Sebab manusia akhirnya tidak bisa mengaplikasikan agama ketika akal sehat tidak tumbuh. Dan, dengan tumbuhnya akal sehat, maka kita akan menemukan dimana gravitasi kita.

20160813_DSC_6378

“Manusia menjadi kongkrit dikarenakan ada cahaya, dan cahaya itu adalah ilmu. “
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Agustus, 2016)

MANUSIA MEMPOSISIKAN dirinya sebagai khalifah, sebagai asistennya Allah yang merefleksikan asma’ul husna di dalam dirinya. Sehingga, ketika ia memberi, maka ia memberi tanpa pamrih. Orang-orang saat ini dalam keadaan miring karena dia tidak memberi dengan merefleksikan sifat Allah di dalam asmaul husna.

Perintah aqimu sholat sebenarnya jangan difahami bahwa Allah membutuhkan sholat kita. Perintah itu harus difahami dalam pemahaman tata bahasa arab, bahwa fi’l amr adalah sebuah perintah yang ditujukan kepada orang yang diwajibkan untuk melakukan perintah tersebut. Sehingga, sholat yang diperintahkan oleh Allah jangan difahami bahwa Allah membutuhkan sholat kita, melainkan sholat itu adalah merupakan kewajiban bagi manusia atas dasar perintah Allah.

Seluruh ayat dalam Al Qur’an sesungguhnya mengajak kita untuk berdialog dengan Al Qur’an itu sendiri. Oleh sebab itu orang-orang dalam beragama harus hening, jangan gaduh, termasuk gaduh untuk menentukan siapa-siapa yang akan masuk surga nanti. Orang-orang memperdebatkan tentang wujud surga, padahal Rasulullah SAW sudah menjelaskan bahwa Allah menyiapkan surga bagi orang-orang yang beriman adalah sesuatu yang tidak pernah terdengar sebelumnya, tidak pernah terlihat sebelumnya, tidak pernah terbesit sebelumnya. Jadi, jangan ada yang sok tahu tentang surga, karena tidak ada orang yang tahu tentang surga. Agama itu seharusnya mengajak untuk hening, agar orang bisa merenung, dan ketika ia merenung ia berdialog dengan dirinya sendiri, dan ketika itu yang terdengar dan yang tertangkap dalam dirinya adalah firman-firman Tuhan.

Kalau Tuhan memerintahkan manusia untuk mengerjakan sholat seharusnya difahami dalam rangka menyadari bahwa dirinya adalah Hamba Allah. Kesadaran diri bahwa dirinya adalah Hamba Allah akan melahirkan kesadaran tentang pengabdian kepada Allah. Dan, perintah untuk mendirikan sholat merupakan manifestasi pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya, bukan merupakan manifestasi perintah dari Allah. Karena, jika keberangkatannya atas dasar perintah, maka yang terjadi adalah keterpaksaan dalam melaksanakan perintah. Tidak dalam kondisi sukarela. Sedangkan agama itu seharusnya mengajarkan perilaku yang tulus kepada Tuhan.

Sesungguhnya seluruh Ibadah itu mengajak untuk mentransformasikan diri manusia menuju fitrahnya. Dari uraian-uraiannya itu Syeh Nursomad berharap umat Islam bisa mengurangi beban Negara Indonesia dengan tidak memaksakan penerapan syariat Islam.

Selanjutnya, Syeh Nursomad Kamba pun meneruskan uraian singkatnya tentang sejarah yang disebut sebagai syariat dan kompilasi hukum Islam yang kita kenal saat ini.

Selepas Rasulullah SAW wafat, kemudian terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi, jangan difahami bahwa pada saat itu tidak ada yang mendukung Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah. Sehingga, sejak saat itu sebenarnya sudah ada oposisi.  Oposisi ini kemudian diperankan oleh Syi’ah dan seterusnya.

Jika kita melihat detail sejarah Islam, tumbuhnya hadits-hadits berdasarkan riwayatnya, palsu atau sohihnya dan seterusnya, sebenarnya akibat dari polarisasi adanya pihak yang mendukung penguasa dan yang tidak mendukung penguasa saat itu. Proses polarisasi ini terjadi sejak abad ke 3 hijriah. Kajian-kajian terhadap Al Qur’an dan Hadits pada saat itu dilakukan atas dasar kepentingan politik penguasa yang berkuasa saat itu. Dan, hal ini dilakukan untuk mengalihkan perhatian masyarakat agar tidak membicarakan khalifah yang berkuasa saat itu. Oleh sebab itu, jarang sekali kita melihat ada hadits-hadits atau kumpulan hukum-hukum yang menjurus kepada kritik terhadap penguasa yang berkuasa saat itu. Hal ini dikarenakan ulama-ulama yang menyusun kompilasi hukum saat itu adalah ulama yang dibiayai oleh penguasa.

Kemudian, bagi kaum muslimin yang muta’akkhirin saat ini, tradisi tersebut menjadi sesuatu yang sakral. Akhirnya produk fiqh ini menghalangi manusia untuk langsung berinteraksi dengan Al Qur’an.  Padahal, kreatifitas dan bangkitnya fitrah akal sehat dan nurani itu akan terwujud apabila seseorang berinteraksi langsung dengan Al Qur’an. Karena itu Allah menyebutkan dzalika-l-kitaabu laa roiba fiihi, hudan lil muttaqiin. Al Qur’an itu adalah hudan; petunjuk, bukan kitab hukum, AL Qur’an tidak bisa kita samakan dengan KUHP.

Di sini, di forum Maiyah, Cak Nun telah mengupayakan dengan segala energi dan jerih payahnya untuk mendorong kita membangunkan fitrah akal sehat dalam diri kita. Cak Nun tidak membawa ajaran di Maiyah, melainkan yang dilakukan oleh Cak Nun adalah membangunkan fitrah akal sehat dalam diri sehingga kita mampu menemukan titik gravitasi kita. Syeikh Nursamad Kamba kemudian membagi fitrah ke dalam tiga jenis: fitrah dalam arti kesucian, fitrah dalam arti akal sehat dan fitrah dalam arti keislaman.

Laa ta’rifu-l-haqqo birrijaali, bal I’rifi-l-haqqo ta’rif ahlahu. Jangan mengenali kebenaran melalui tokohnya, tetapi kenalilah kebenaran itu sendiri lalu bisa menilai siapa tokoh yang sebenarnya.

Terakhir, karena kita mewarisi Al Qur’an, kita tidak membaca siroh Nabi. Atau, hanya membaca sebagian saja. Seolah-olah Al Qur’an itu ada untuk menuntun Nabi menjadi pemimpin yang memimpin Quraisy. Padahal, yang benar adalah, meskipun tidak diturunkan Al Qur’an kepada Nabi, ia tetap akan menjadi pemimpin Quraisy karena beliau keturunan darah biru. Meskipun tanpa AL Qur’an seungguhnya Muhammad bin Abdullah tetap akan menjadi pemimpin.

Tetapi, Allah memadukan Al Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman dalam tata kelola kepemimpinannya saat itu. “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah bakat dan anugerah Tuhan. Bukan karena ada Al Qur’an kemudian orang menjadi pemimpin. Dan, yang terjadi hari ini, karena harus menjadi pemimpin, maka kemudian ia harus hafal Al Qur’an, harus faham Hadits segala macam, dan berceramah dimana-mana. Untuk itu saya berpendapat, bahwa Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin adalah karena memang beliau memiliki bakat dan anugerah untuk menjadi pemimpin. Beliau menjadi pemimpin bukan karena beliau pintar, bukan karena beliau hafal Al Qur’an dan seterusnya. Melainkan, beliau menjadi pemimpin karena beliau memang memiliki bakat untuk menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan menurut saya adalah merupakan pilihan Tuhan. Dan, karena itu seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki kriteria sudah terbangun nuraninya. Nurani merupakan cermin Ilahi dalam diri seseorang. Ketika seseorang bercermin yang terlihat adalah dirinya yang sebenarnya”.

Selanjutnya, untuk melengkapi pemaparannya, Syeikh Nursamad Kamba menjelaskan bahwa salah satu tugas esensial agama adalah membimbing manusia untuk menumbuhkan nurani dalam dirinya. Meskipun manusia dan jin tidak mengabdi kepada Allah, hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan Allah. Begitu juga sebaliknya, apabila manusia dan jin seluruhnya taat dan mengabdi kepada Allah, tidak lantas kekuasaan Allah akan bertambah. Karena hakikatnya kekuasaan Allah tidak bergantung pada taat atau kufurnya jin dan manusia. Akan tetapi, seluruh ajaran-ajaran Allah yang dimanifestasikan dalam bentuk agama untuk kebaikan bagi makhluk-makhluk Allah.

MARTABAT SANDANG-PANGAN-PAPAN

CAK NUN MENGUCAPKAN terima kasih kepada Syeikh Nursamad Kamba yang telah menjelaskan dengan sangat detail dan kronologis. Dan, untuk kembali menarik konektifitas terhadap penjelasan sebelumnya, Cak Nun menekankan bahwa Indonesia yang buruk saat ini dianggap baik atau Indonesia yang baik tetapi dianggap buruk sesungguhnya merupakan efek resonansi yang tidak penting-penting amat bagi kita. “Masalahnya adalah Indonesia sendiri gravitatif atau tidak di segala dimensi perilakunya? Kalau dia terlalu miring, dia pasti hancur. Nah, anda ini kan mempertahankan Indonesia untuk bisa kembali simetris pada garis gravitasi yang seharusnya”, lanjut Cak Nun.

Tetapi, rumus yang kita dapatkan malam ini adalah: pokoknya kalau nggak gravitatif itu anda tinggal menunggu kehancurannya. Dan, untuk hancur atau selamatnya Indonesia, jangan difikir yang bekerja hanya rakyat dan pemerintahnya saja, harus disadari bahwa Allah juga bekerja untuk menentukan apakah Indonesia ini akan selamat atau hancur di kemudian hari. Juga, jangan difikir bahwa manusia saat ini tidak mendapatkan wahyu dari Allah. Bahkan di dalam Al Qur’an sekalipun disebutkan bahwa Allah memberikan wahyu kepada seekor lebah. Persoalannya, adalah sejauh mana kekuatan hardware yang tertanam dalam diri manusia untuk menerima wahyu dari Allah.

Anda jangan mengukur Maiyah dengan perhitungan teori-teori perubahan yang selama ini menghasilkan kehancuran. Sebab, perubahan tidak harus dengan metode mobilisasi massa, harus dengan revolusi, harus dengan reformasi dan seterusnya. Cak Nun sendiri bahkan sudah pernah mencapai tingkat itu pada tahun 1998. Maka, jangan pernah berfikir untuk meletakkan Maiyah di dalam metodologi perubahan yang diyakini saat ini. Cak Nun mengibaratkan dengan metafor; jangan membeli obat di apotik yang kemarin memberikan anda racun.

Yang harus kita cari bersama-sama adalah menemukan siapa pelaku-pelaku perubahan yang sejati dalam kehidupan manusia. Seperti yang dijelaskan oleh Syeikh Nursamad Kamba sebelumnya, yang seharusnya dilakukan adalah terlebih dahulu menemukan fitrah kita sebagai manusia yang sejati.

Dalam menambahkan apa yang disampaikan oleh Syeikh Nursamad, Cak Nun juga menjelaskan bahwa saat ini masyarakat beragama seperti tukang parkir yang tidak memahami tata cara memarkirkan mobil di sebuah area parkir. Yang dilakukan hanys berteriak kiri, kanan, stop, stsu meniup peluit. Orang beragama saat ini tidak memahami esensi dalam beragama. Mengucapkan takbir bukan dalam rangka mengungkapkan kekaguman terhadap ciptaan Allah. Bersedekah pun dalam rangka mendapatkan balasan yang lebih banyak dari apa yang ia sedekahkan. Menyantuni anak yatim pun bukan dalam rangka mengkondisikan agar anak yatim merasa bahwa mereka memiliki orang tua, tetapi justru mengkondisikan agar mereka tetap menjadi anak yatim.

Cak Nun mengibaratkan, ketika seseorang mengaduh karena kakinya kesandung batu, maka ia mengaduh karena ada sebabnya, kakiknya kesandung batu. Maka sangat aneh apabila ada orang mengucapkan Allahu Akbar tanpa ada sebab yang logis. Hal sama seperti yang sudah dibahas sebelumnya pada Kenduri Cinta bulan lalu, bahwa seharusnya kata “imsak” merupakan istilah yang digunakan untuk memperingatkan bahwa kita sedang berpuasa, bukan digunakan untuk peringatan bahwa 10 menit lagi waktu Subuh akan tiba. Hal-hal yang remeh seperti ini terjadi karena memang dibiarkan sejak lama, dan akhirnya menjadi pusat gravitasi yang salah. Begitu juga tradisi masyarakat saat ini dalam mengucapkan kalimat Allahu Akbar, Subhanallah dan lain sebagainya, ternyata tidak pada tempatnya.

“Anda jangan mengukur Maiyah dengan perhitungan teori-teori perubahan yang selama ini menghasilkan kehancuran. “
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2016)

“KENAPA NENEK moyang kita menyebutkan urutan filosofi; Sandang, Pangan dan Papan secara berurutan, bukan Pangan, Sandang dan Papan atau Papan, Sandang dan Pangan?”, Cak Nun lalu menjelaskan bahwa urutan filosofi Sanang-Pangan-Papan merupakan urutan yang sudah sangat tepat.

Dalam filosofi kehidupan ini, titik gravitasinya ada pada Sandang. Sandang itu adalah pakaian. Secara sederhana digambarkan oleh Cak Nun bahwa manusia tidak memiliki masalah yang terlalu besar sebenarnya apabila ia tidak memiliki Papan (rumah atau tempat tinggal), asalkan ia masih bisa memenuhi kebutuhan Pangan. Dan, manusia juga sebenarnya tidak bermasalah meskipun ia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya asalkan ia masih memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan Sandangnya. Karena, Sandang adalah perlambang martabat manusia. Jika seseorang sudah tidak memiliki pakaian, maka ia sudah kehilangan martabatnya sendiri.

Sedangkan persoalan yang dihadapi oleh negara saat ini adalah titik gravitasi yang mengambil titik Pangan, bukan Sandang. Yang difikirkan oleh para pemangku jabatan dalam pemerintahan adalah bagaimana caranya investasi dari luar negeri terus masuk, sehingga pembangunan infrastruktur di dalam negeri walaupun berlangsung dengan mengesampingkan martabat dan harga diri bangsa. Pokoknya, yang penting kenyang, persoalan bangsa tidak memiliki martabat di mata internasional dengan semakin bertambahnya hutang itu urusan ke sekian. Jadi, yang terjadi adalah martabat bangsa tidak terlalu penting, melainkan yang diutamakan adalah kita makmur atau tidak.

Kembali membahas tentang keabadian kehidupan manusia, Cak Nun menjelaskan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa sebab dan akibat. Apabila manusia hidup tanpa sebab dan akibat, maka ia akan memasuki kehampaan dalam keabadian. Seperti sebelumnya ketika kita mengucapkan Allahu Akbar, begitu juga ketika kita mengucapkan Laa ilaaha illallah itu kita harus menemukan sebabnya.

Yang nomor satu perlu dibangun menurut Cak Nun adalah kesadaran bahwa kita inilah yang membutuhkan Allah. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syeikh Nursmad Kamba sebelumnya, bahwa meskipun seluruh manusia di dunia itu kafir, tidak lantas kemudian Allah akan sakit hati dan kecewa. Begitu juga apabila seluruh manusia di dunia ini bersujud kepada Allah, tidak lantas Allah bergembira karena itu.

Kenduri Cinta edisi Agustus juga dimeriahkan oleh kolaborasi Jam Session Beben Jazz dan Sudjiwo Tedjo. Kemudian, lewat pukul 3 dini hari, Cak Nun memuncaki Kenduri Cinta dengan mengajak jamaah melantunkan ayat kursi bersama-sama dan dipuncaki dengan do’a.