Bukan Pembaca Yang Baik

SERI PATANGPULUHAN EDISI 9

“Semalam di UGM ya, Cak?”

“Hmm…”

Hampir bukan jawaban. Hmm.

Di rumah, Emha terkesan tak banyak bicara. Omong seperlunya. Waktunya dimanfaatkan untuk istirahat atau bekerja. Emha adalah type manusia pekerja. Pekerja keras malah. Tidak bisa diam. Hari-harinya lebih banyak di luar rumah untuk memenuhi berbagai permintaan undangan dari masyarakat. Rumah adalah tempat kembali. Untuk istirahat dan kerja.

Bekerja bagi Emha adalah menulis; baik puisi, esai, kolom, makalah atau naskah drama. Bekerja bagi Emha adalah melayani masyarakat berbagai strata. Bekerja bagi Emha adalah mencuci mobil sendiri atau menyapu halaman dari serakan daun-daun kering.

Suatu hari Emha pernah bilang kepada seseorang; bertanyalah, jangan diam. Sebab jika engkau diam di hadapan Emha, Emha juga akan diam. Banyaklah bertanya, tentang apa saja. Maka Emha akan berpanjang lebar keluar ilmu-ilmunya, bahkan susah untuk mengeremnya. Bagi saya, Emha adalah sumur tanpa dasar. Timbalah air sebanyak yang engkau mampu, ribuan air akan tertimba dan tak akan habis. Kata Emha, ilmu tinggal memetiknya. Gambarannya, ilmu seolah ada disekelilingnya. Petik, petik, dan petik.

Apakah Emha pembaca buku yang baik?

Jawabnya: Buruk!

Emha tidak pernah baca buku. Ya, tentu saja pernah. Maksudnya adalah, bahwa Emha tidak akan membaca buku terlebih dahulu jika akan menghadiri suatu undangan sebagai pembicara, misalnya. Bahkan kadang acara bedah buku-pun hanya dibaca sekilas. Buku bagi Emha adalah ilmu masa lalu. Emha memetik ilmu-ilmu baru yang diberikan gratis oleh Tuhannya. Dalam pengakuannya; dalam hidupnya hanya satu “novel” yang dibaca puluhan kali. Yakni cerita bersambung di Harian Kedaulatan Rakyat (lalu dibukukan): “Nagasasra Sabuk Inten” Karya HS Mintardja.

Esoknya, setelah sore kemarin pergi menghadiri acara, saya bertanya lagi.

“Sore kemarin acara di IAIN ya Cak?”

“Hmm…”

“Tentang apa, Cak?”

“Kowe iki bareng aku suwi, ngopo tanya-tanya!”

Matek!

“Apa yang saya bicarakan mungkin tidak baru bagi kamu. Karena hampir tiap hari ada tamu dan berbicara panjang lebar tentang apa saja. Dan kamu tinggal memetiknya!”

Ya ya Cak. Tapi dalam batin.

Sejak usia SMP di Gontor, Emha mempelajari berbagai aliran Filsafat, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Ilmu-ilmu dasar inilah sebagai bekal Emha, yang kelak, bisa berbicara atau menulis berbagai disiplin ilmu.

Tentu saja tempaan candra dimuka-nya bukan hanya dari situ. Usai diusir dari Gontor lalu melanjutkan di SMA Muhammadiyah I Yogya. Dalam usia relatif sangat muda, seorang pelajar SMA, sudah menjadi wartawan koran daerah “Masakini.” Dan seterusnya, dan seterusnya, yang sudah banyak orang mengetahuinya. Misalnya, menggelandang di Malioboro bersama “mursyid sufinya” Umbu Landu Paranggi.

Beberapa orang datang ke Patangpuluhan, hampir berbarengan bersepeda motor. Jeans belel, kaos hitam dan gondrong.

“Cak Nun ada?”

“Ada, sebentar!”

Saya ketuk lirih pintu kamar, lalu pelan-pelan saya buka. Agak pulas. Saya tutup lagi.

“Ntar ya, masih istirahat!”

“Kopi dong!”

“Enak aja, beli!”

“Bokek!”

“Bu, kopi empat, teh panas satu…!” saya teriak ke ibu warung depan.

Di seberang rumah ada warung, tepatnya dapur, yang menjual nasi gudeg. Tamu-tamu sering disuguhin makan atau minum hanya dengan mencatat. Tiap minggu dihitung dan dibayar. Sering-sering ada tamu yang “nakal,” pesan ini itu seenaknya hanya mencatat. Tamu yang saya maksud adalah yang sering bolak-balik ke Patangpuluhan. Bukan tamu jauh.

Tiba-tiba muncul Emha, sudah mandi dan rapi.

“Pesen teh!”

“Teh panas satu…!” Saya teriak!

Orang-orang berebut salaman.

“Piye?” tanya Emha.

“Naskah, Cak…!” jawab salah satu orang.

“Nanti malam ya, ada beberapa dialog dan pengadegan yang perlu direvisi.”

“Siap, Cak!”

Emha termasuk salah satu penulis naskah teater yang produktif. Beberapa kelompok teater di Yogya juga merupakan rintisan (secara tidak langsung) Emha. Beberapa kelompok lain merupakan sempalan-sempalan kelompok yang sudah ada lebih dulu.

“Pamit dulu, Cak, gak enak kawan-kawan menunggu latihan..!”

“Ya, malam-malam nanti aku ke sana.”