Mukadimah: SAYA SAIMAN

 

MUKADIMAH MAIYAH DUSUN AMBENGAN juni 2016

DALAM LINGKARAN Maiyah Dusun Ambengan, ada jamaah yang biasanya luput dari perhatian, tiba-tiba mengejutkan ketika mendedar tema mukadimah Ambengan yang dijadwalkan pada Sabtu, 11 Juni 2016 malam nanti. Nama dan sosok jamaah itu hadir menohok, didalam lapisan pendakian khazanah ilmu kemaiyahan.

Beliau adalah pria paruh baya, mendadak menjadi seorang tokoh bagi Maiyah Dusun Ambengan. Bisa jadi karena tidak pernah dipandang oleh siapapun sebagai tokoh. Apalagi kepada dirinya sendiri, pria berumur namun masih lajang ini, tidak pernah merasa memiliki keistimewaan apapun. Meski semua orang di desa, mengakui kemampuannya yang multitalenta.

Lelaki itu adalah Saiman. Orang di sekitar tempat tinggalnya lebih sering memanggil Saeman. Ayahnya, Mbah Darma. Namun lebih sering disapa Mbah Darmo.

Demi kepatutan dan kesopanan, Saiman kita panggil dengan sebutan Kang Saiman atau Kang Saeman. Beliau sekadar senyum, mesem-mesem saja ketika disapa, Kang, Wak, Lek atau Pakde. Beliau benar-benar sudah tak peduli sanjungan atas sapaan di depan namanya.

Kang Saiman yang telah mengajari banyak orang untuk senantiasa bersyukur meski bentuk fisiknya tak sempurna, mengingatkan kita semua terkait dengan bulan ramadan, bulan puasa yang menurut Simbah Emha Ainun Nadjib, menempuh jalan sunyi. “Tersedia makan tapi tidak dimakan…Puasa itu jalan sunyi/Menjadi tanpa eksistensi/Pergi menuju kembali/Hadir tapi tak dikenali..”

Kang Saiman, benar-benar menemukan kedaulatan diri sebagaimana orang desa yang selalu berpuasa. Nama Saiman, sering digunakan untuk menunjukkan eksistensi yang membedakan antara muslim dan non-muslim pada bulan ramadan. Sebagaimana hadist nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah ra. “Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari Nomor 1904 dan HR Muslim Nomor 1151).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan. “Termasuk yang dianjurkan adalah jika seseorang dicela oleh orang lain atau diajak berkelahi ketika dia sedang berpuasa, maka katakanlah; Inni shaimun, inni shaimun. Artinya, aku sedang puasa, aku sedang puasa, sebanyak dua kali atau lebih.”

Mengkaji ajaran dan nilai puasa itu, seakan ucapan “Saya Saiman” benar-benar hadir. Menyentak kesadaran tentang pengendalian atas kecenderungan pelampiasan-pelampiasan.

Kang Saiman, inni Shaimun, mengejawantah lewat keseharian hidupnya. Beliau, sebagaimana cerminan himpitan hidup dan berbagai keterbatasan masyarakat desa. Memperbandingkan makna Shiyam dengan hidup Kang Saiman, mungkin terlalu berlebihan. Akan tetapi di sana ada sebuah pemantik, laku Kang Saiman yang semestinya menjadi tauladan untuk tidak merasa paling benar, paling sempurna, dan berbagai rasa yang membuat kita jadi berpaling atas berbagai nikmat sebagai orang beriman.

Kewajiban berpuasa di bulan ramadan yang diistilahkan Al Quran dengan kata Ash Shiyam atau Ash Shaum. Lidah kita sering melafazkan shiyamun dengan saimun, banyak yang kemudian memberi nama anaknya dengan nama Saiman. Mbah Darmo, mengajari anaknya agar kelak biasa menjadi orang yang tegar dengan ejekan, hinaan, termasuk di dalamnya, tabah atas berbagai ujian kehidupan yang sering lebih memaksa kita untuk berpuasa.

Kita, layak belajar atas kehidupan di sekitar kita. Terutama tentang bagaimana Kang Saiman menjalani hidup dengan berbagai kekurangan, yang bisa kita sebut, Kang Saiman nyaris selalu puasa dalam berbagai aktivitas kehidupan. Sejak kanak-kanak, beliau sudah biasa dihina dan direndahkan. Kang Saiman bergeming, seolah dengan tenang berkata. “Inni Shaimun.” Tidak marah atau pun membalas setiap hinaan.

Hubungan puasa dan melihat diri Kang Saiman, kita secara sadar, dicolok matanya untuk benar-benar melihat pembuktian laku puasa.

Hanya pada sosok Kang Saiman bin Darmo, kita melihat ketabahan sebagai manusia. Usianya yang hampir setengah abad, masih belum menikah. Beliau adalah tokoh yang benar-benar hadir untuk selalu memberi, namun mengabaikan inginnya. Kalau tetangga kerepotan sedang ada acara, Kang Saiman selalu gupuh menyibukkan diri untuk membantu. Beliau selalu hadir untuk urun tenaga. Tangannya lincah memainkan cetok semen. Sibuk membantu menggergaji, memahat, memukulkan palu, atau apa pun yang ditugaskan ketika ada tetangga yang mendirikan rumah.

Ketika di lapangan desa ada pertandingan sepakbola, pertandingan bola voli. di sanalah Kang Saiman menemukan panggung dan menunjukkan kepiawaiannya sebagai penyiar.

Kang Saiman adalah reporter pertandingan sepak bola yang tiada duanya di kampung itu. Ketika suara Kang Saiman melaporkan si fulan menggiring bola, menceritakan operan, passing, sampai tendangan yang menjebol gawang, suaranya yang dipancarkan lewat pengeras atau toa, menjadi penanda sekaligus pembawa kemeriahan pertandingan.

Tanpa suara Kang Saiman, turnamen sepakbola sekeras apa pun, terasa hambar. Beliau bahkan dengan detil membawa penonton untuk lebih memahami nama-nama pemain yang sedang menguasai bola.

Bahkan tak jarang ia ikut lari sana sini di tengah lapangan, menjadi wasit.

Kemampuan dan tenaga Kang Saiman, sangat berlebih. Beliau menjadi banyak sandaran warga desa. Jika ada listrik tetangga yang kabelnya putus, radio tape rusak, tak perlu repot-repot. Kepada lelaki tak tamat SMA itulah, banyak tetangga sering meminta tolong.

Meminta izin namanya untuk mendedah kajian tema Maiyah Dusun Ambengan, Kang Saiman justru banyak berkisah seputar persoalan yang mengejutkan, penuh joke-joke serta potret orang yang senantiasa berpuasa. Terutama ketika sampai pada pertanyaan sensitif, mengapa belum menikah sementara usianya sudah lima puluh tahun. “Ya bagaimana, aku bisanya ngamal tapi gak bisa ngemul. Weslah, jatahku nang akherat saja, biar dapat bidadari. Timbang rabi saiki gak iso gawe seneng bojo. Yo poso wae nang donyo.”

Sesekali, kita perlu mendengarkan hakekat makna puasa pada perjalanan seseorang yang tak pernah dihitung keberadaannya. Bahkan cenderung diremehkan dan dikucilkan akibat kondisi fisik yang kurang sempurna.

Maiyah Dusun Ambengan adalah teman semua kalangan, lingkaran untuk bersama-sama menemukan makrifat. Ajang muhasabah agar kita benar-benar menemukan esensi kesejatian. Tidak kemaki dan mbagusi, namun selalu berusaha untuk menemani semua orang.

Mari melingkar di Rumah Hati, Dusun 4 Desa Margototo Kecamatan Metro Kibang Lampung pada Sabtu, 11 Juni 2016. Pukul 20.00 WIB. Belajar dan berbagi tentang pengalaman puasa.