Yasinan

SERI PATANGPULUHAN EDISI 18

SEORANG PEMUDA berteriak lantang, mengagetkan semua yang hadir. Perawakannya kurus, kulitnya agak gelap. Pakaiannya rapi, baju lengan panjang warna putih, dipadu dengan celana berbahan halus warna gelap.

“Api, api….!”

Matanya melotot ke atas, ke langit-langit, seolah melihat sesuatu. Kedua tangannya digerakkan mengikuti irama teriakan bak seorang pembaca puisi.

“Lihat, aku melihat api…!”

Orang-orang berdatangan usai magrib. Tikar dan karpet telah tertata rapi di ruang tamu dan ruang tengah. Anak-anak muda mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, para seniman dan aktifis LSM.Wajah-wajah mereka tak terlalu asing, karena sering datang ke Patangpuluhan.

Entah atas inisiasi siapa, tiap hari Kamis diselenggarakan Yasinan,menderas Al Quran Surat Yasin bersama. Mereka yang terbiasa mengaji, masing-masing memegang buku kecil Surat Yasin atau Kitab Al Quran. Yang kurang lancar mengaji, mendengarkan dengan khusuk. Yang berbeda keyakinan, atau enggan ikut mengaji, duduk tenang di teras depan. Di lingkaran itu, Cak Nun ikut bergabung dan mengaji. Salah satu dari mereka, selalu bergilir, memimpin pembacaan Surat Yasin dan diakhiri dengan pembacaan doa.

Yasinan selesai, tak ada yang beranjak. Dilanjut dengan obrolan tak berujung, ngalor ngidul membahas info-info yang sedang hangat.Terjadilah perdebatan-perdebatan khas anak muda idealis. Dari balik pintu, minuman dan makanan sudah tertata di atas meja. Gelas-gelas berisi teh manis secara estafet berjalan berkeliling. Piring-piring dengan nasi kuning lengkap dengan lauk pauk, bergulir diulurkan dari tangan ke tangan. Memang sejak sore, seksi dapur yang dikerjakan oleh adik-adik Cak Nun, Sariroh dan In, dibantu Mbak Wik, sudah mulai sibuk.

Di tengah pembicaraan yang sedang hangat-hangatnya, Agus Supriyatna, mahasiswa perlente dari Karawang berteriak seperti orang trance. Matanya melotot seolah melihat sesuatu, entah apa.

Api, api, lihatlah….!”

Mulutnya ndremimil. Bagai seorang petapa merapal doa-doa. Atau seorang penyair membaca bait-bait puisi. Cak Nun menggeserkan duduknya, mendekat. Mengelus punggungnya, membisikan sesuatu di telinganya. Ubun-ubunnya ditiup.  Berangsur tenang.

Tema-tema obrolan muncul begitu saja. Pelontar umumnya berawal dari pertanyaan-pertanyaan mahasiswa yang diajukan kepada Cak Nun. Karena pesertanya berbeda latar belakang, maka diantara mereka sering saling ngotot mempertahankan argumen masing-masing. Kalangan mahasiswa dengan bahasa-bahasa planet yang bagi kalangan awam susah dipahami, nukilan-nukilan textbook dengan istilah-itilah asing.

Jika malam makin larut, secara perlahan satu persatu berpamitan. Pasti mereka tidak terbiasa “melek malam.” Yang lain tetap bertahan, bisa jadi dilanjut dengan permainan gaple. Main gaple seolah menebak nasib, meramal takdir. Kita tidak sanggup menghitung “balak” berapa yang akan muncul. Meski jumlah kartu bisa dihitung, probabilitasnya agak susah untuk memastikan. Bahkan Cak Nun sering agak ekstrim mengemukakan bahwa pasti “Tangan Tuhan” ikut berperan. Kartu dikocok sekian kali, kartu dibagi, masing-masing pemain tidak bisa memilih kartu terbaik. Seorang pemain gaple yang ahlipun bisa kalah jika tandem di sisi kiri atau kanannya ngawur ketika membuang kartu.

Menutut tuturan Cak Nun, permainan gaple,atau kartu, hampir mirip sopir taksi atau tukang ojek. Tuhanlah yang mengatur detik demi detik jalannya rejeki. Kita tidak bisa memperkirakan seberapa cepat laju kendaraan ketika tiba di pengkolan jalan seseorang muncul dan menyetop kendaraan. Jika lajunya cepatan sedikit, sesorang calon penumpang belum keluar dari rumahnya. Apabila sang sopir memperlambat kendaraan sedikit saja, maka kendaraan lainlah yang distop calon penumpang. Pertemuan di titik antara sopir taksi dan calon penumpang itulah disebut pertemuan agungPertemuan transaksi yang diatur oleh Tuhan. Pun, dalam permainan gaple.

Seorang kawan Cak Nun, aktifis kebudayaan dari Banten yang kini bertempat tinggal di Solo, Halim HD, adalah lawan ulet Cak Nun dalam permainan gaple. Mereka saling mengalahkan. Saling ejek. Untuk membuktikan bahwa Tuhan juga ikut bermain gaple, Cak Nun berani taruhan dengan uang koin recehan, kala itu, limapuluhan rupiah.

Kali ini Cak Nun menang besar sebagai bagai bandar. “Ih, berjudi ya? Jangan khawatir, siapa yang menang, uang koin recehan dikumpulkan, nantinya digunakan untuk makan bersama. Jelas saja kurang, pasti harus ada yang nombokin kekurangannya. Makan di waktu malam-malam di Yogya sangat mengasyikkan. Banyak tempat yang bisa dikunjungi, semuanya serba murah. Mau pilih menu apa? Oseng-oseng mercon, gudeg Permata, warung Gua Hira di Kadipaten Wetan, nasi kucing Mbah Wongso atau sayur brongkos di Pojok Beteng Wetan?

Dalam catatan yang saya ingat, orang-orang yang sering muncul kala itu, adalah Agung Waskito (almarhum), Seteng Agus Yuniawan, Jebeng Slamet Jamaluddin, Bachtiar Ivan Nuri, Jarot, Wahyudi Nasution, Godor, Yono, Imam Syuhada, Hamim Ahmad, Irfan Mukhlis, Goetheng, Pakde Zainuri (almarhum), Joko Kamto, Novi Budianto, Jemek, Toro, Toto Rahardjo, Ali Syahbana (almarhum) dan beberapa aktifis mahasiswa maupun LSM.