Mukadimah: MANUSIA DAN NEGARA GRAVITATIF

Mukadimah Kenduri Cinta Agustus 2016

“WA-S-SAMAA A ROFA’AHAA wa wadho’a-l-miizaan, alla tatghouw fii-l-miizaan, wa aqiimu-l-wazna bi-l-qisthi walaa tukhsiruu-l-miizaan”, Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kami mengurangi neraca itu.

Ketika kita mengendarai sepeda, selain tujuan bersepeda, yang menjadi fokus utama adalah keseimbangan. Bukan hanya keseimbangan-badan dalam menyelaraskan posisi-diri untuk saling kompatibel dengan sepeda yang dikendarai, melainkan lebih dari itu. Ketika mengayuh sepeda, maka kita juga akan menjaga keseimbangan dalam mengendalikan kecepatan sepeda, kapan harus dikayuh pedalnya, kapan harus ditarik tuas remnya, dan kapan harus belok. Ketika kita melewati jalan pegunungan yang menanjak-menurun berkelok-kelok, yang mesti kita lakukan adalah menjaga keseimbangan supaya apa yang kita kendarai dapat tetap tegak guna mencapai tujuan.

Begitu juga ketika seseorang mengendarai sepeda motor, mobil, bus, truk, bahkan dalam metaforanya ketika menjalani peran sebagai karyawan, pengusaha, politisi, pedagang, aparat keamanan hingga pejabat negara setingkat presiden, budayawan bahkan ulama. Bahwa yang menjadi fokus utama dalam dirinya adalah tentang manajemen keseimbangan. Menjaga segala sesuatu yang tertarik oleh daya gravitasi pada peran-dirinya supaya tetap tegak dengan menjaga keseimbangan antara kemiringan material-rohani, pribadi-sosialnya dan juga pencapaian-masa-lalu, realita-saat-ini dan cita-cita untuk masa depan.

Gravitasi menarik segala materi ke pusatnya, sehingga materi yang berada pada jangkauan daya-tarik-nya tidak melayang-layang. Namun karena daya gravitasi itu juga, benda-benda yang kemiringannya melewati ambang-batas akan segera roboh. Komitmen-komitmen individu di masa lalu dalam melaksanakan setiap peran-peran sosial yang saling terhubung menjadi pondasi dan tiang bangunan sosial. Ketidak seimbangan antara kemampuan-individu dan peran-sosial seseorang berakibat bangunan sosial menjadi miring. Jika hal itu terjadi berlarut-larut dan melewati ambang-batas-nya dapat berakibat runtuhnya bangunan sosial. Rumusan keseimbangan ini juga berlaku di berbagai bangunan sosial yang ada, dari bangunan rumah tangga, keluarga, perusahaan, organisasi masyarakat, partai-politik juga bangunan negara.

Pondasi Negara yang dibangun diatas komitmen-komitmen para pendahulu dalam usaha mewujudkan bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, sudah semestinya menjadi tujuan setiap orde pemerintahan di negeri ini. Estafet para pemangku kekuasaan semestinya saling berkesinambungan supaya roda pemerintahan negara on the right track dalam rangka menjaga warisan sumber daya manusia dan sumber daya alam bagi generasi penerus bangsa. Jika pembangunan tidak didasari dengan podasi yang kuat, maka akan terjadi kemiringan bangunan kenegaraan. Kenyataan bahwa pengerukan sumberdaya alam tidak didasari dengan tegaknya amanah menjaga warisan bagi generasi penerus jelas menjadi fakta tidak terjadinya keseimbangan dalam menjalankan roda kenegaraan. Pelampiasan-pelampiasan syahwat oleh manusia-manusia yang berperan dalam negara semakin menambah kemiringan bangunan negara.

Padahal, ibadah puasa yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia yang beriman merupakan sebuah arena dimana manusia melatih keseimbangan dalam dirinya. Yang terlihat secara kasat mata, yang dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah tidak makan dan tidak minum dalam durasi waktu yang sudah ditentukan; mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Rasulullah SAW memberi satu rumusan yang sederhana tentang keseimbangan; makanlah sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang. Formula ini semestinya juga dapat diimplementasikan dalam urusan anggaran-pendapatan dan belanja individu, keluarga maupun negara.

Yang ditawarkan oleh Maiyah bukanlah materi ilmu, data tentang ilmu atau tafsiran atas sebuah ilmu, yang ditawarkan oleh Maiyah adalah keseimbangan dari itu semua. Apa yang kita lihat dari Maiyah hari ini merupakan hasil perwujudan keseimbangan yang disinergikan oleh orang-orang Maiyah. Kesadaran akan pencarian apa yang benar bukan siapa yang benar adalah satu metode dimana tidak ada satu celah yang bisa dimanfaatkan orang-orang Maiyah untuk menyombongkan diri atas kebenaran yang ia yakini. Karena kunci utama dalam kehidupan manusia adalah pemahaman tentang keseimbangan.

Hari ini, kita melihat ketidakseimbangan dalam berbagai hal di sekitar kita, dalam skala makro dan mikro, dalam kesadaran global maupun kesadaran setiap individu manusia. Anak-anak muda hari ini, demi mengejar gengsi dalam sebuah komunitas, rela menghabiskan uangnya untuk sekedar nongkrong di sebuah café ternama , meskipun setelahnya ia harus tirakat untuk makan dengan menu seadanya di sebuah warteg. Sebagian lagi memaksakan diri untuk memiliki gadget terbaru, meskipun ketika membelinya dengan cara kredit. Sosok-sosok yang muncul di televisi dijadikan panutan dalam gaya hidup mereka. Hingga puncaknya, muncul di televisi merupakan sebuah cita-cita yang kini menjadi opsi lain bagi mereka selain menjadi dokter, tentara, astronot, insinyur dan presiden.

Dalam Islam, setidaknya 17 kali dalam sehari manusia mengucapkan kalimat; “Ihdina-sh-shiroto-l-mustaqiim”, sebuah permintaan dari siapapun saja yang mengucapkannya agar dihidayahi jalan yang lurus. Tetapi, manusia tidak memahami bahwa ‘jalan yang lurus’ yang dimaksudkan dalam ayat yang ia ucapkan itu adalah konsep Tauhid dalam hatinya. Tetapi yang terjadi hari ini, manusia justru meninggalkan garis koordinat lurus dengan Tauhid terhadap Allah. Yang dilakukan oleh manusia hari ini adalah membangun kehebatannya sendiri, membangun keunggulannya sendiri sehingga yang ditampakkan adalah kegagahan dan kemewahan yang dianggap sebagai puncak prestasi pencapaian dirinya, dan pada akhirnya mereka tidak memiliki waktu untuk mengenali siapa dirinya yang sebenarnya. Ungkapan man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu hanya menjadi hiasan dalam congkaknya ke-sok tahu-an dirinya terhadap Tuhan.

Maka, ditengah ruwetnya dunia hari ini, yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia adalah menemukan kembali keseimbangan dalam dirinya, sehingga ia kembali berada di satu titik pada garis koordinat yang lurus dengan ketauhidan Allah.