Rakyat Pemimpin Sejati

DAYA JUANG rakyat bangsa Indonesia baik yang tinggal di bumi nusantara maupun yang terpaksa tinggal di luar negeri sungguh luar biasa. Survivalitas kemandiriannya tidak perlu diragukan dalam memperjuangkan nasibnya sendiri dan menghidupi sanak keluarga yang ditanggungnya. Duka-derita dan beban-hidup yang sangat berat, disangga dengan berbagai cara-daya-upaya dan usaha. Pendapatan yang tidak menentu dengan penghasilan yang sangat minim jika diukur secara akutansi modern, diakal-akali sedemikian rupa sehingga mampu bertahan hidup. Debit-credit-nya yang nyaris mustahil dibukukan, diputar cash-flow-nya secara ghoib. Kalau saja ada peneliti asing yang coba mengukur dan meneliti indeks kebahagiaan rakyat bangsa ini, pasti mereka akan kebingungan untuk menemukan rumusan dari realitas yang terjadi pada bangsa ini.

Keberhasilan rakyat tetap tahan dalam memperjuangkan penghidupannya bukan karena siapa-siapa, selain karena ketangguhan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup mereka sendiri secara mandiri. Gempuran modernitas dan banjir konsumerisme yang saat ini dialami masyarakat global, tidak lantas menenggelamkan dan menjadikan mereka kalah. Tuntutan zaman untuk menaikkan anggaran belanja hidup, dihadapi dengan bela-diri tenaga-dalam manipulasi godaan-godaan dari promosi iklan-iklan yang memunculkan kebutuhan-kebutuhan atas barang-barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Kubangan dan jebakkan-jebakkan konsumerisme yang menjadi perangkap masyarakat modern saat ini, dijadikan lahan permainan dan bahan senda gurau kehidupan.

Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan hingga paska kemerdekaan sampai dengan zaman ini, silih berganti pemerintahan dengan berbagai model dan ideologi-nya tidak berpengaruh banyak terhadap daya juang rakyat bangsa ini. Pertarungan politik kenegaraan dan berbagai konspirasi kepentingan asing dalam mengeksploitasi sumber daya negeri, itu semua tidak menggoyahkan perjuangan rakyat bangsa ini untuk berusaha tetap berdaulat. Rakyat bangsa ini sibuk mengurusi urusan hidupnya masing-masing, sementara tontonan adegan-adegan perang-militer dan pertarungan-politik dari dalam maupun luar negeri, baik isu-isu lokal,nasional maupun global internasional, itu sekedar jadi obrolan ringan disela mereka istirahat santai. Rakyat bangsa ini seolah memiliki imunitas yang sangat kuat terhadap perang-perang opini yang setiap hari tanpa henti berseliweran di media-media masa.

Lihatlah realitas masyarakat Jakarta dengan kaca mata keadilan. Realita Jakarta, ibukota negara yang representatif terhadap kota-kota yang ada di Indonesia lainnya. Kesenjangan sosial semakin membentang lebar. Kemewahan yang gemerlap nampak jelas dipertontonkan lewat tampilan gedung-gedung megah, mall-mall, pusat-pusat perbelanjaan dengan tempat-tempat parkir yang dipadati kendaraan-kendaraan keluaran terbaru, hotel-hotel dan hunian apartemen luas yang dipagari dengan tembok-tembok tinggi. Sedangkan dibalik tembok-tembok itu, sebagian rakyat bangsa ini hidup bersahaja di kampung-kampung perkotaan dalam rumah-rumah petak penuh sesak. Dari kakek-nenek, menantu hingga cucu-cicit ber-jubel tinggal bersama dalam rumah-rumah semi permanen. Lalu lintas mereka berupa lorong-lorong dan gang-gang sempit yang bahkan untuk kendaraan roda-dua-pun tidak bisa lewat.

Turun-temurun berganti generasi mereka tinggal dilokasi yang sama, menyaksikan berbagai perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Lapangan bola tempat dahulu anak-anak berlarian bermain layang-layang kini menjadi gedung-gedung tinggi menjulang. Perjuangan orang tua membiayai anak-anak mereka hingga lulus perguruan tinggi banyak yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak ilmu yang digeluti selama duduk di bangku kuliah malah tidak sambung dengan profesi yang kini dilakoni. Lapangan bola digantikan dengan permainan play station di layar kaca, sementara diploma dan sarjana terpaksa bekerja apa saja. Modernisasi terus terjadi atas nama efisiensi, lapangan kerja-pun semakin menyempit. Urbanisasi terus terjadi, sebagian masih tetap bertahan sebagian lagi memilih untuk pindah ke pinggiran kota.

Statistik boleh saja bercerita pertumbuhan ekonomi meningkat, namun apabila ketangguhan rakyat dalam bersabar memperjuangkan nasibnya sendiri turut dimanipulasi, bahkan diakui sebagai hasil kerja satu-dua orde pemerintahan, itu sungguh keterlaluan. Rakyat bangsa pejuang tetap tenang meski warung-warung mereka di pinggiran jalan digantikan dengan cafe-cafe dan restoran. Rakyat bangsa pejuang tetap bersabar menerima penggusuran sebagai penataan. Karyawan bangsa pejuang akan terus berjuang meski pekerjaan mereka digantikan dengan robot-robot pabrikan. Terus-teruslah para pemangku kekuasaan bermanufer politik guna merebut atau-pun mempertahankan kekuasaan, namun Rakyat Bangsa Pejuang percaya akan Keadilan Kekuasaan Kasih Sayang Tuhan, meski Tuhan tidak harus adil.