MANUSIAHWAT

Reportase Kenduri Cinta Juli 2016

BULAN RAMADLAN berlalu, berganti memasuki bulan Syawal, masyarakat Jakarta kembali menjalani ritme kehidupan seperti sebelum Ramadlan. Di bulan Ramadlan adalah bulan dimana umat muslim dibatasi bahkan terhadap sesuatu yang halal.

Kenduri Cinta edisi Juli mengangkat tema Manusiahwat, dengan sebuah upaya menarik benang merah dari apa yang sebelumnya kita rasakan di Bulan Ramadlan, yakni ketika kita dilatih untuk mengelola syahwat.

Setelah pembacaan Wirid Wabal dan Doa Tahlukah oleh penggiat Kenduri Cinta, Sigit dan Nashir memoderasi sesi Prolog. Adi Pudjo, Ali Hasbullah, Andre dan Luqman juga bergantian memberi alas sebagai wacana awal untuk bahan diskusi.

Adi Pudjo menjelaskan bahwa tema Manusiahwat diambil dari dua kata; Manusia dan Syahwat. Adi menjelaskan bahwa latar belakang diambilnya tema ini karena kita melihat bagaimana kecenderungan manusia hari ini adalah melampiaskan syahwatnya untuk memuaskan dirinya. Manusia berlomba mengumpulkan harta sebanyak mungkin dimana belum tentu seluruh usianya akan cukup ia gunakan untuk menghabiskan apa yang ditumpuknya. Di dunia internet saat ini yang tampak adalah perilaku manusia-manusia modern yang melampiaskan syahwatnya. Hampir semua orang yang hari ini mengenal internet merasa bahwa dirinya membutuhkan eksistensi untuk muncul di internet dan dikenal oleh banyak orang.

Menyambung dari pemaparan Adi Pudjo, Hendra menyampaikan bahwa tema ini sebenarnya bukanlah tema yang baru di Maiyah. Seperti yang dijelaskan oleh Adi Pudjo sebelumnya, Hendra menjelaskan bahwa syahwat itu tidak hanya terbatas pada seks semata.

Untuk mengisi kehidupan di dunia manusia dianugerahi dengan 3 hal: Akal, Hati dan Syahwat. Ketika Adam diciptakan, Allah mengaktifkan 3 hal tersebut dalam diri Adam.  Pada prosesnya kemudian, memang akhirnya dapat difahami bahwa ada yang namanya syahwat kekuasaan, syahwat politik, syahwat intelektual, syahwat popularitas, syahwat ketamakan terhadap harta dan lain sebagainya.

Ketika penggiat Kenduri Cinta merumuskan tema yang akan diangkat kali ini, Cak Nun memberikan satu gambaran tentang perbedaan antara pedagang dengan kapitalis. Cak Nun menceritakan bahwa beliau sebelumnya selalu mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan dari banyak orang tentang perbedaan antara pedagang dengan kapitalis. Hingga akhirnya dalam sebuah mimpi, Cak Nun didatangi oleh dua rombongan manusia yang semuanya tidak berpakaian. Rombongan yang pertama wujudnya normal, layaknya manusia biasa, alat kelaminnya juga tidak sama besar dan tidak sama panjang. Sedangkan rombongan kedua, seluruh badan mereka adalah kelamin.

Dari satu amsal tersebut, Cak Nun hendak memberikan wacana sebagai landasan tema Kenduri Cinta kali ini bahwa syahwat itu merupakan anugerah dari Allah, dan sebagai manusia kita berhak untuk melampiaskannya. Dan, puasa merupakan satu metode paling ampuh yang ditawarkan oleh Allah agar kita terlatih memahami batas ketika melampiaskan syahwat. Rasulullah SAW sendiri mengajarkan: makanlah apabila lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Satu metode yang sangat sederhana dan sangat mujarab untuk melatih serta mengelola syahwat. Perut kita tidak akan pernah menolak meskipun hanya diberi makanan yang harganya seribu atau dua ribu, tetapi lidah kita, hidung kita, mata kita akan selalu terpancing untuk membeli makanan yang harganya puluhan ribu bahkan ratusan ribu rupiah. Ketika kita mengendarai sepeda motor, kita terlatih untuk mengatur kapan kita harus ngegas dan kapan harus ngerem.

Hendra bercerita tentang salah seorang sahabatnya di Lombok yang berprofresi sebagai makelar. Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah menawarkan barang kepada calon pembeli dihadapan pemilik barang yang akan ia makelari. Pada peristiwa itu tidak ada istilah kongkalikong antara makelar dengan pemilik barang. Si makelar tadi menjelaskan kepada calon pembeli bahwa barang yang akan ia tawarkan seharga sekian ketika ia ambil dari si pemilik barang. Uniknya, calon pembeli juga tidak memiliki inisiatif untuk langsung saja bertransaksi kepada si pemilik barang, toh nyatanya jika ia bertransaksi langsung kepada pemilik barang tersebut ia bisa mendapatkan harga yang lebih murah dari yang ditawarkan oleh makelar tadi. Disini kita melihat bahwa sebenarnya syahwat untuk meraup keuntungan yang besar bisa dikelola dan dikendalikan kemudian menjadi berkah untuk kebaikan bersama. Pemilik barang tidak merasa dirugikan, makelar pun tidak merasa mengambil untung yang terlalu besar, dan pembeli barang mendapatkan barang dengan perasaan puas.

Satu hal yang juga disoroti Hendra terkait syahwat, akhir-akhir ini KPK seringkali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap beberapa orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Hendra menjelaskan bahwa jika yang menjadi dasar dilakukannya operasi tangkap tangan tersebut adalah murni untuk penegakkan hukum, tentu saja itu sangat baik, dan seharusnya KPK dapat melakukan OTT terhadap lebih banyak lagi orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Tetapi, pada kenyataannya seringkali kita melihat bahwa OTT yang dilakukan oleh KPK memiliki dampak lain, dimana seringkali satu kasus yang baru akan disidik oleh KPK ternyata memiliki hubungan erat dengan salah seorang tokoh politik. Sehingga, seringkali OTT yang dilakukan oleh KPK bisa difahami terjadi dalam rangka menjatuhkan nama baik orang lain. Syahwat politik yang menjadi dasar dilakukannya OTT oleh KPK ini menurut Hendra menjadi niatan yang buruk, meskipun tujuannya adalah pemberantasan korupsi.

Ketika seseorang memiliki harta yang berlebih, Allah mengatur sebuah metode keseimbangan melalui sedekah.”
Luqman Baehaqi, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

MENYAMBUNG PENJELASAN Hendra, Luqman menyatir salah satu kalimat dari film “Fight Club”; We buy things we don’t need with money we don’t have to impress people we don’t like. Satu kalimat yang sangat nyambung dengan tema Kenduri Cinta kali ini. Bahwa, saat ini, kita didoktrin untuk menjadi pihak yang konsumtif, yang seringkali membeli suatu barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Luqman lalu mencontohkan satu hal, bahwa ketika kita melihat televisi, yang terjadi bukan kita berposisi sebagai pihak yang sedang mencari informasi, melainkan kita sedang menyediakan diri untuk dicekoki informasi oleh para pemilik modal kapitalis di belakang industri televisi. “Kenapa kita memilih tema Manusiahwat karena saat ini manusia tidak bisa mengekang keinginan untuk memuaskan diri, sehingga apapun yang dilakukannya hanya untuk memuaskan dirinya sendiri”, lanjut Luqman.

Luqman mencontohkan pula iklan pemutih kulit yang sebenarnya tidak relevan jika melihat kondisi riil di Asia Tenggara khususnya yang mayoritas berkulit sawo matang. Setiap iklan pemutih kulit selalu saja menggunakan bintang iklan yang memang sejak lahir sudah dianugerahi kulit putih. Iklan tersebut mendoktrin publik bahwa kulit yang indah adalah kulit yang putih. Padahal, jika kita dilahirkan dan hidup di benua Afrika, belum tentu kita akan setuju dengan pendapat bahwa kulit putih adalah kulit yang paling indah. Informasi yang masuk kedalam alam fikiran kita selalu dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar kita.

Kutipan dari film “Fight Club” itu menggambarkan jelas betapa mayoritas dari kita saat ini benar-benar dijajah oleh kapitalis. Kita membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan, dan kita membelinya dengan uang yang sebenarnya tidak kita miliki dengan tujuan disanjung oleh orang yang sebenarnya tidak kita sukai. Sebenarnya, yang kita butuhkan adalah bagaimana menghemat waktu perjalanan dari rumah menuju kantor, yang seharusnya sudah bisa dipenuhi oleh sebuah sepeda motor. Tetapi, sistem kapitalisme global mencekoki informasi kepada kita bahwa ada sepeda motor yang teknologinya baru, dengan model yang baru, dengan harga yang tentunya lebih mahal. Atas informasi tersebut kemudian kita terjebak untuk membeli produk mereka, meski sebenarnya tidak terlalu membutuhkan produk tersebut. Menurut Luqman, kita saat ini membeli barang tidak berdasarkan kebutuhan, tetapi atas dasar keinginan. Bahkan, lebih parah lagi, kita membeli sebuah barang atas dasar keinginan pemilik modal industri kapitalis saat ini.

Kita melihat saat ini banyak sekali orang membeli gadget dengan menggunakan kartu kredit, promo yang digencarkan adalah dengan bunga 0%. Dengan sekali gesek kartu kredit, kita bisa mendapatkan gadget terbaru dan merasa bahwa kita membeli dengan harga yang murah. Padahal, uang yang kita keluarkan sebenarnya justru bisa menjadi lebih banyak dari harga yang sebenarnya. Tetapi karena kita menjadi objek media promosi, dengan mudahnya kita kemudian menuruti keinginan dan membeli barang tersebut.

Dari semua contoh itu, yang menjadi salah satu efek terparah adalah perilaku mengagung-agungkan uang. Uang yang seharusnya hanya berposisi sebagai alat, saat ini justru menjadi tujuan. Manusia gagal mengelola alam fikirannya untuk membedakan mana alat dan mana tujuan. Keadaan ini pun semakin diperparah dengan sedekah yang diniati agar mendapat keuntungan berlipat-lipat. Akibatnya, setiap peristiwa yang seharusnya bermakna ibadah sosial berubah menjadi peristiwa kapitalis. “Sedekah itu spirit yang seharusnya dibangun adalah merelakan harta milik kita untuk diberikan kepada orang lain”, lanjut Luqman. Padahal, sedekah seharusnya menjadi metode penyeimbang kehidupan, dimana manusia tidak mungkin hidup sendirian. Ketika seseorang memiliki harta yang berlebih, Allah mengatur sebuah metode keseimbangan melalui sedekah.

Menyambung dari apa yang dipaparkan oleh luqman, Nashir menekankan bahwa syahwat di dalam diri manusia bukanlah seusuatu hal yang negatif. Namun, manakala syahwat itu dilampiaskan dengan cara yang salah, disitulah ia menjadi negatif. Ali Hasbullah selanjutnya menambahkan bahwa fenomena yang terjadi di masyarakat kebanyakan ketika datang bulan Ramadlan, prosentase belanja kebutuhan rumah tangga justru meningkat drastis. Hal ini sangat tidak sejalan dengan spirit puasa yang diperintahkan oleh Allah. Puasa yang seharusnya menjadi ajang latihan mental menahan syahwat justru tidak dapat diaplikasikan. Rasulullah SAW sudah mengajarkan bahwa untuk berbuka puasa cukup dengan segelas air putih ditambah 3 biji kurma. Karena, memang sebenarnya yang diperlukan adalah sekedar untuk berbuka puasa ketika masuk waktu maghrib.

Dari fenomena ini, Ali Hasbullah mengajak jamaah untuk kembali berfikir, bahwa ketika bulan Ramadlan kita sebenarnya tidak benar-benar berpuasa. Sebab, yang kita lakukan tidak lain hanyalah menunda makan dan minum saja. Ketika adzan maghrib terdengar, terjadi pelampiasan syahwat lidah dan mata untuk menyantap makanan-makanan yang porsinya sangat tidak relevan dengan nuansa Ramadlan. “Hal ini merupakan peristiwa yang ironis. Disaat seharusnya kita melatih diri untuk menahan nafsu, yang terjadi justru sebaliknya, kita melampiaskan syahwat kita”, lanjut Ali.

Begitu juga dengan anggapan bahwa Idul Fitri meurpakan hari kemenangan yang harus dirayakan. Padahal, bagaimana mungkin kita menaklukan nafsu dengan melampiaskan nafsu kita? Kita tidak bisa menghindari fakta bahwa sesungguhnya pada perayaan Idul Fitri pun kita melampiaskan nafsu kita.

KC_201607_03

Ramadlan itu sebenarnya sekedar madrasah bagi kita. Puasa yang sesungguhnya adalah pada seluruh kehidupan kita.”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

KITA TIDAK bisa menafikkan bahwa kebudayaan di Indonesia misalnya, ketika hari raya Idul Fitri tiba makanan yang paling banyak dihidangkan adalah Opor Ayam dan Ketupat. Ali beranggapan budaya seperti itu bukanlah sesuatu yang salah, karena melestarikan kebudayaan juga merupakan salah satu bentuk menyeimbangkan kehidupan. Akan tetapi, setiap individu harus mengerti dan memahami batasannya masing-masing, sejauh mana kadar yang tepat untuk melampiaskan nafsu merayakan kemenangan ketika Idul Fitri tiba. Ali menambahkan, syahwat seks tujuan utamanya adalah melakukan reproduksi. Hubungan suami istri pada dasarnya adalah untuk melahirkan generasi selanjutnya. Tetapi, jika kita melihat fenomena yang terjadi saat ini seks lebih dominan digunakan untuk kesenangan duniawi semata. Jika dilakukan antara suami istri yang sah secara hukum agama, maka tidak salah. Namun, menjadi salah ketika dilakukan oleh mereka yang tidak di dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama.

Ali Hasbullah menjelaskan, esensi puasa sejatinya adalah melatih tentang batas. Dengan berpuasa kita seharusnya terlatih kapan harus makan, kapan harus minum. Menahan lapar dan haus merupakan cara yang paling dasar untuk melatih diri tidak melampiaskan. Jika kita melihat lebih dalam lagi, ketika adzan maghrib dikumandangkan pada saat bulan Ramadlan pun seharusnya itu merupakan metode lain untuk kita memulai lagi “puasa”. Bahwa, maghrib merupakan batas kita untuk membatalkan puasa, iya. Tetapi setelah maghrib kita akan melaksanakan sholat isya’, kemudian kita lanjutkan untuk tarawih. Perut manusia adalah ruangan yang terbatas, sehingga apabila ia memasukkan makanan ke dalam perutnya dalam jumlah yang banyak, salah satu efeknya adalah rasa malas untuk beranjak dari tempat duduknya. Ia akan merasa kekenyangan. Seandainya ia memahami bahwa berbuka puasa adalah pintu gerbang untuk “puasa” yang selanjutnya, ia hanya akan memakan sekedar untuk membatalkan puasa dan tidak tercetus keinginan untuk melampiaskan nafsu memuaskan lidah dan mulutnya dengan memakan makanan yang banyak.

Syahwat diibaratkan seperti api. Syahwat yang diberi kesempatan untuk melampiaskan maka ia akan terus meminta dan meminta untuk dilampiaskan. Ketika kita menginginkan uang seratus ribu, kemudian kita mendapatkan uang seratus ribu, syahwat kita pun akan terus meminta lagi meskipun kita kemudian mendapatkan uang sepuluh juta, karena syahwat tidak akan pernah merasa terpuaskan.

“Ramadlan itu sebenarnya sekedar madrasah bagi kita. Puasa yang sesungguhnya adalah pada seluruh kehidupan kita”, lanjut Ali. Apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW merupakan puasa yang luar biasa. Beliau merupakan seorang Nabi dan Rasul yang ditawari oleh Allah untuk menggunakan semua fasilitas agar beliau menjadi pemimpin yang disegani oleh semua manusia. Tetapi itu semua tidak beliau pilih. Bahkan, ketika beliau disakiti oleh musuh dalam sebuah peperangan, malaikat menawarkan diri untuk membalas perbuatan orang yang melukai Rasulullah SAW, beliau tidak menerima tawaran tersebut. Rasulullah SAW benar-benar mencontohkan puasa yang sebenar-benarnya puasa.

Andrean kemudian menambahkan, bahwa dunia kapitalis saat ini sangat mendukung terbangunnya sistem pelampiasan syahwat manusia. Andrean mencontohkan bahwa banyak sekali anak-anak muda saat ini membeli handphone bukan dalam rangka kebutuhan, melainkan berdasarkan gengsi pergaulan mereka. Keberangkatannya berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan. Banyak anak muda yang saat ini nongkrong di kafe-kafe ternama, menikmati kopi yang mahal harganya, tetapi ketika kembali ke rumah atau kos mereka sebenarnya hanya menikmati makanan yang biasa-biasa saja. Mereka mau tidak mau harus mengikuti kebiasaan sistem kapitalis. Andrean sendiri yang saat ini menggeluti dunia kontraktor di sektor migas mengalami, bagaimana penampilan seseorang sangat menentukan menang atau tidaknya tender yang akan diambil. Mulai dari handphone, arloji, hingga kendaraan, akan menentukan value seorang kontraktor dimata investor.

Bahkan, dunia pendidikan di Indonesia saat ini pun sudah sangat lekat dengan sistem kapitalis. Seorang siswa lulusan SMA, jika orang tuanya tidak memiliki uang, maka kecil kemungkinannya bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Alhasil, sistem yang dibangun saat ini adalah membangun SMK di Indonesia, dimana pada tahap selanjutnya para investor pemilik modal di industri kapitalis akan memanfaatkan tenaga-tenaga lulusan SMK yang sudah trampil untuk dipekerjakan di pabrik-pabrik dengan bayaran yang murah. Mereka tidak akan mempekerjakan lulusan S1 karena mereka harus membayar gaji yang lebih mahal. Di satu sisi, SMK memang menjadi sebuah jawaban, tetapi di sisi lain masyarakat kita sesungguhnya sedang dijebak oleh sistem kapitalis. Di beberapa daerah, lahan pertanian sudah berubah menjadi area industri. Sawah-sawah yang sebelumnya menjadi lahan pertanian, kini sudah berubah menjadi area pabrik. Imbasnya, pemuda-pemuda saat ini memilih untuk bekerja di pabrik ketimbang menjadi petani.

20160716_012750(1)

“Ramadlan seharusnya memang menjadi suatu arena pelatihan untuk mampu menahan diri agar tidak melewati batas ketika melampiaskan syahwat.”
Hendra Kusuma, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

CINTA ATAU SYAHWAT

SIGIT SELANJUTNYA membuka kesempatan kepada jamaah untuk memberikan respon atas apa yang sudah disampaikan. Restu menyoroti dunia industri televisi yang saat ini sudah sangat kapitalis, apa yang ditampilkan oleh televisi adalah apa yang diinginkan oleh para pemilik modal. Satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Restu adalah, bagaimana sikap kita seharusnya menyikapi sistem kapitalis yang ada saat ini. Apakah kita harus mengikuti arus kapitalis sehingga kita bisa bertahan hidup, atau kita harus berani untuk menolak sistem kapitalis dan tidak terlibat didalamnya, meskipun salah satu efeknya kemudian kita mengalami kesulitan dalam hidup? Lain lagi dengan Denny, yang sudah lama bersambungan dengan Maiyah, ia merefleksikan tulisan Cak Nun “Melihat dunia dari secangkir teh”. Ia melemparkan pertanyaan, antara target dan syahwat sebenarnya berbeda sangat tipis. Sebagai orang tua yang memiliki anak, mau tidak mau ia akan menargetkan anaknya untuk menjadi yang lebih baik. Lantas, apakah target itu sama dengan syahwat? Anas, salah seorang jamaah asal Brebes yang juga menggeluti dunia proyek, merespon apa yang disampaikan oleh Andrean bahwa seharusnya kita lebih berani untuk mengambil pilihan agar tidak terseret arus kapitalis, jika memang kita harus melakukan hal-hal yang tidak baik hanya untuk memenangkan tender proyek, kenapa kita tidak berani untuk memilih tidak melakukan hal itu meskipun dampaknya adalah tidak mendapatkan proyek tersebut? Baginya, Maiyah sudah memberikan bekal yang luar biasa untuk menghadapi sulitnya hidup saat ini.

Hendra mencoba merespon pertanyaan Denny dan Restu yang hampir sama. Hendra mendasari responnya dengan apa yang disampaikan oleh Cak Nun bahwa salah satu yang harus menjadi bekal kehidupan kita saat ini adalah menguasai IT. Tidak ada yang salah dengan gadget mahal yang kita miliki, selama itu benar-benar berdasarkan kebutuhan kita. Dan, menjadi salah ketika kepemilikan gadget tersebut berdasarkan hawa nafsu. Ketika seorang kontraktor melobi investor untuk memenangkan tender dengan cara mentraktir pejabat yang berwenang dengan bermain golf, permainan golfnya tidak salah. Sedangkan ia menjadi salah ketika golf dijadikan alat untuk memenangkan tender. Pada akhirnya, Ramadlan seharusnya memang menjadi suatu arena pelatihan untuk mampu menahan diri agar tidak melewati batas ketika melampiaskan syahwat.

Untuk memberi jeda, Junaidi Bobby naik menampilkan beberapa nomor akustik. Kemudian, dilanjutkan oleh Pak Yus yang menampilkan monolog “Pandawa Menggugat”. Monolog yang ditampilkan oleh Pak Yus menuturkan Dermakesuma yang datang ke Istana Hastina untuk menuntut mundur pemerintahan Duryudana. Gugatan Darmakesuma pada awalnya tidak diterima oleh Duryudana, namun setelah mempertimbangkan berbagai hal, Dermakusuma mampu meyakinkan Duryudana untuk mundur. Monolog ini diakhiri dengan adegan Duryudana mengundurkan diri secara damai. Monolog dengan durasi yang cukup panjang ini memang dijelaskan oleh Pak Yus tidak sesuai dengan pakem wayangan yang ada saat ini. Monolog ini juga menjelaskan bagaimana dalam diri manusia terdapat syahwat-syahwat yang lain selain syahwat seks. Saat ini, kebanyakan manusia hanya memahami bahwa syahwat hanya sebatas seks. Usai penampilan Pak Yus, Tri Mulyana dan Fahmi memoderasi diskusi sesi pertama.

Melanjutkan pungkasan diskusi yang sempat membahas IT, Ali Hasbullah mengajak jamaah untuk merefleksikan tentang beberapa tulisan Cak Nun terakhir yang dipublikasikan di caknun.com, yang juga membahas pentingnya IT dalam kehidupan saat ini. Ali menjelaskan bahwa IT saat ini sangat mungkin kita manfaatkan sebagai media menyebarkan nilai-nilai kemuliaan. Jika kita mempelajari bagaimana Rasulullah SAW dahulu berdakwah menyebarluaskan Islam, beliau belum merasakan kemajuan teknologi yang sedemikian pesatnya saat ini. Kita yang hidup saat ini memang tidak mendapatkan nubuwah apalagi risalah, tetapi sebagai khalifah di bumi sudah seharusnya IT kita olah sedemikian rupa untuk menyebarluaskan kebaikan-kebaikan. Tetapi, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, keriuhan di media sosial dan internet saat hanya menonjolkan kebencian demi kebencian. Ada yang melampiaskan syahwat pandangan politiknya, ada yang melampiaskan syahwat seksualnya, ada yang melampiaskan syahwat hedonisnya, ada pula yang melampiaskan syahwat merasa benar sendiri. Semua yang terjadi di internet saat ini adalah pelampiasan-pelampiasan syahwat yang tidak ada habisnya.

Ali Hasbullah mengambil sebuah ibarat bahwa Maiyah saat ini memposisikan dirinya sebagai pihak yang menetralisir racun-racun informasi di internet. Cak Nun sendiri setiap hari merilis tulisan-tulisan baru di laman caknun.com, kemudian setiap simpul juga menggeliat membangun ektivitas literasi baik itu berupa kolom, opini, hingga reportase-reportase Maiyahan yang setiap bulan rutin berlangsung.  Mayoritas jamaah maiyah saat ini berada pada rentang usia 17-35 tahun. Rentang usia yang masih sangat muda ini merupakan masa-masa produktif. Memang tidak semua jamaah maiyah bisa terlibat aktif dalam dunia literasi, tapi setidaknya mereka tetap bisa memberi pengaruh bagi lingkungan di sekitar mereka dengan menyebarkan nilai-nilai Maiyah yang ada.

Pasca Ramadlan ini, menurut Ali Hasbullah, merupakan momentum yang sangat tepat juga bagi kita untuk mengaplikasikan metode puasa dalam memasuki dunia internet. Kita semua tahu bagaimana kondisi di internet saat ini, baik itu di portal media online, media sosial, dan lain sebagainya, semua dipenuhi dengan perdebatan-perdebatan yang melibatkan orang-orang dengan perasaan paling benar. Pada akhirnya perdebatan itupun merusak tali silaturahmi di antara mereka sendiri. Fenomena perpecahan itu sudah tidak melihat latar belakang suku, agama dan ras. Semuanya sama-sama mengutamakan ego masing-masing.

Sebelum memberikan kesempatan kepada Agung yang telah diundang naik guna mengisi forum, Fahmi menambahkan bahwa ketika Ramadlan kita seringkali diingatkan oleh para ulama selama bulan Ramadlan semua setan dipenjara di dalam neraka. Artinya, pada saat bulan Ramadlan, manusia sama sekali tidak mendapat gangguan apapun dari setan, sehingga apabila manusia, umat muslim khususnya, di saat bulan Ramadlan tetap melakukan keburukan, maka bisa jadi sebenarnya pada 11 bulan berikutnya setan tidak menggoda manusia untuk berbuat buruk karena manusia sendiri yang sudah membiasakan dirinya untuk berbuat buruk. Lebih parah lagi, ada anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa Bulan Ramadlan adalah bulan dimana mereka istirahat berbuat maksiat, sehingga salah satu cara mereka “mengkapitaslisasi” Ramadlan adalah dengan cara bersedekah dengan sebagian harta mereka, berbuka puasa dan memberikan bingkisan kepada anak-anak yatim, dengan harapan apa yang mereka lakukan itu menghasilkan “Tax amnesty” dari Allah atas dosa-dosa yang sudah mereka lakukan pada 11 bulan sebelumnya.

 

“70% manusia di Jakarta saat ini sudah seperti mesin, hanya 30% saja sisanya yang masih tetap menjadi manusia normal.”
Agung, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

AGUNG YANG memiliki latar belakang dunia pertambangan mencoba menarik benang merah dari tema Kenduri Cinta kali ini kedalam dunia yang ia geluti. “70% manusia di Jakarta saat ini sudah seperti mesin, hanya 30% saja sisanya yang masih tetap menjadi manusia normal”, Agung mengawali pemaparannya dengan memberi gambaran situasi masyarakat Jakarta saat ini.

Sebelum melanjutkan pemaparannya, Agung membacakan puisi karyanya sendiri yang berjudul Jakarta Error. Kemudian, setelah membacakan puisinya, Agung menjelaskan bahwa saat ini Amerika tidak hanya menghabisi sumber daya alam dari Sabang sampai Merauke saja, tetapi mereka juga menghabiskan sumber daya manusia dari Sabang sampai Merauke. Agung bercerita di kampung halamannya, Duri, Riau. Disana hingga hari ini masih bertahan 13.335 mesin pompa angguk yang setiap hari menyedot minyak dari bumi Indonesia sejak tahun 1924. Inilah yang dikenal sebagai Chevronomic. Siapapun presidennya, tetapi Chevron tidak boleh diganti untuk menjadi perusahaan yang menguasai tambang minyak di Duri. Agung mengingatkan bahwa pertambangan merupakan salah satu sektor yang kaitannya sangat erat dengan kesejahteraan rakyat, jika masih saja terus diberikan kewenangan bagi orang lain untuk mengurusinya, maka mustahil rakyat Indonesia akan merasakan kesejahteraan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Setelah pemaparan Agung, Tri Mulyana mempersilahkan Jamran yang saat ini aktif di AMJU; Aliansi Masyarakat Jakarta Utara. Dalam konstelasi politik di Jakarta, Jamran merupakan tokoh yang meimmpin AMJU dan sedang bersebarangan dengan Pemerintahan Jakarta. Situasi di Jakarta saat ini menurut Jamran sudah sangat  memprihatinkan, tetapi pergerakan mahasiswa sudah jauh berbeda dengan apa yang ia rasakan ketika tahun 1998. Jamran menjelaskan bahwa latar belakang lahirnya AMJU merupakan sebuah langkah menyikapi pemerintahan Jakarta yang berlaku tidak adil terhadap rakyatnya sendiri. Beberapa kasus di Jakarta seperti reklamasi, penggusuran di beberapa tempat hingga kasus Sumber Waras, menurut Jamran merupakan alasan yang sudah lebih dari cukup untuk segera menuntut perbaikan pengelolaan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setidaknya, ada 3 hal yang menurut Jamran merupakan pelanggaran oleh Pemprov DKI Jakarta saat ini; aturan hukum yang berlaku sudah dilanggar, kinerja antara lembaga Legislatif dan Eksekutif tidak bisa bersinergi dan persoalan etika gubernur DKI Jakarta yang menurut Jamran tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang pemimpin. Tiga hal inilah yang menurut Jamran sudah cukup menjadi landasan bahwa Pemerintahan Jakarta saat ini sudah tidak layak untuk diberi amanat lagi pada periode yang akan datang.

Hal lain yang disoroti oleh Jamran bersama teman-teman AMJU adalah banyaknya penduduk baru di Jakarta saat ini yang memiliki KTP Jakarta tetapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Jamran menyatakan bahwa apa yang disampaikan olehnya ini merupakan salah satu bentuk kepeduliannya sebagai warga Jakarta yang mengharapkan Jakarta menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Oleh Tri Mulyana jamaah kemudian diberikan kesempatan untuk merespon pemaparan Agung dan Jamran. Amin, jamaah yang juga memiliki latar belakang dunia pertambangan merespon pemaparan Agung. Berdasarkan diskusi kecil-kecilan bersama beberapa teman-temannya, sistem pengelolaan migas di Indonesia saat ini yang paling cocok adalah PSC, Product Sharing Contract. Dan, pertanyaan yang dilontarkan Amin adalah, jika sistem yang ada saat ini sudah benar maka yang tidak tepat sebenarnya apa? Amin menyadari bahwa keberadaan Chevron di Indonesia memang seperti anak emas. Tetapi, Amin juga mengajak semua untuk berfikir bahwa ada perusahaan-perusahaan lain yang tidak berlaku seperti Chevron. Pada industri migas sendiri memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam proses pengelolaannya, tetapi yang pertanyaan adalah apakah Negara ini benar-benar membutuhkan investor asing untuk mendanai itu semua? Satu hal yang ditekankan oleh Amin adalah masih banyak anak-anak muda generasai bangsa ini yang hatinya tetap “merah putih” dan mereka berada di dalam industri migas di Indonesia. Dari situ kita masih harus optimis terhadap masa depan yang cerah bagi industri migas Indonesia.

Ahmad, salah seorang perantau di Jakarta yang saat ini juga menjadi salah satu pegawai Non-PNS di Pemprov Jakarta merespon pemaparan Jamran dan Agung yang menurutnya sejak awal tidak menanamkan cinta. Baginya, persoalan disedotnya sumber daya alam Indonesia saat ini merupakan bentuk sodaqoh untuk bangsa lain, sehingga Indonesia pun akan baik-baik saja. Merespon pemaparan Jamran, Ahmad menyayangkan mengapa bukti-bukti yang dipaparkan tadi hanya mengambil sumber dari media massa saja. Amran mengajak agar kita semua di Kenduri Cinta ini untuk bersama-sama menanamkan cinta, bukan menebar kebencian.

“Justru karena kita cinta kepada Indonesia, disinilah kita menyikapi itu semua”, Agung mengawali responnya terhadap dua penanya dari jamaah tadi.

Menurut Agung, keberadaan Chevron di Indonesia bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Agung, Chevron terlibat dalam peristiwa-peristiwa pergolakan politik praktis di Indonesia yang berujung pada pemakzulan pemimpin negara Indonesia. Agung yang sudah 25 tahun berada di dalam lingkungan Chevron mengatakan bahwa PSC bukanlah sistem yang paling baik yang diterapkan saat ini, karena PSC tidak jauh beda dengan ijon. Kontrak pengelolaan migas yang berlaku saat ini sangat tidak relevan, seorang presiden yang hanya memiliki periode memimpin selama 5 tahun menandatangani perjanjian kontrak yang nilainya tidak sedikit dengan durasi selama 30 tahun. Agung membukakan fakta bahwa hingga hari ini ada setidaknya 130.000 anak Indonesia yang berkesempatan untuk sekolah dan belajar di Amerika, ketika pulang kembali ke Indonesia mereka menjadi alat kekuatan proxy Amerika di Indonesia. Hanya 30 orang saja yang hingga hari ini murni tidak bisa dipengaruhi oleh Amerika. Agung menambahkan bahwa produksi minyak Chevron di Duri setiap harinya mencapai 400.000 Barel, hasil produksi tersebut apabila dikelola oleh Indonesia sudah sangat lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan negara dalam rangka mensejahterakan rakyat Indonesia. Sayangnya, semua itu masih dikuasai oleh Amerika hingga hari ini.

Jamran kemudian merespon pernyataan Ahmad yang sebelumnya menganggap bahwa apa yang disampaikan bukan dalam rangka mewujudkan cinta. Jamran menjelaskan bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Jakarta saat ini berdasarkan fakta-fakta yang jelas, bukan hanya dari media massa. Jamran mempersilahkan kepada siapa saja yang meragukan apa yang disampaikan olehnya untuk datang ke AMJU dan melihat sendiri bukti-bukti pelanggaran yang sudah dilakukan oleh pemerintah provinsi Jakarta saat ini. Jamran menyatakan bahwa justru karena dirinya lahir dan besar di Jakarta, dirinya memiliki tanggung jawab untuk menyatakan perlawanan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sudah dilakukan ini, dan baginya perjuangan ini merupakan wujud dari rasa cintanya kepada Jakarta. Bagi Jamran, siapapun pemimpin Jakarta, mau darimanapun asal suku dan ras nya, apapun latar belakang agamanya, seandainya memimpin Jakarta dengan baik, akan ia dukung.

Sebagai jeda bagi tanya jawab yang hangat kelompok musik Balte dari Tanah Abang naik membawakan beberapa nomor dangdut untuk menyegarkan suasana sebelum memasuki diskusi sesi kedua. Cak Nun, yang hadir ditengah-tengah berlangsungnya diskusi sesi pertama, pun ikut menikmati jalannya diskusi sejak awal dari samping panggung. Setelah penampilan dari Balte, Fahmi mempersilahkan semua narasumber bersama Cak Nun untuk bergabung di panggung Kenduri Cinta. Sebelum memberi kesempatan kepada Cak Nun, Ali Hasbullah merangkum beberapa pointer dari apa yang sudah dibahas pada diskusi sesi prolog dan sesi satu.

20160716_014741(1)

“Shiyam itu adalah prosedur atau syariat untuk melakukan puasa tidak makan, tidak minum, tidak memasukan dan tidak melakukan sejumlah apapun yang sebelumnya diperbolehkan mulai dari subuh hingga maghrib. Itulah Shiyam. Maka Ramadlan itu disebut madrasah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2016)

HARI RAYA PELAMPIASAN

SETELAH RANGKUMAN yang disampaikan oleh Ali Hasbullah, Cak Nun menyapa jamaah Kenduri Cinta dengan mengajak semua yang hadir untuk takbiran bersama-sama. Alunan takbir yang begitu indah dilantunkan oleh Cak Nun dan jamaah Kenduri Cinta, menciptakan nuansa kehangatan Maiyah, menyadarkan kembali bahwa yang paling utama dalam hidup kita adalah Allah swt. Setelah itu, Cak Nun perlahan mengajak semua untuk kembali mengelaborasi hal-hal yang mendasar dari Ramadlan; Shoum, Shiyam, Imsak, Idul Fitri, Lailatul Qodar, Takbir dll.

“Biasanya kalau Idul Adha takbirannya itu lebih lama dilakukan oleh orang-orang, tetapi kalau Idul Fitri takbirannya hanya satu hari. Artinya, adalah bahwa ‘Ied yang lebih agung sesungguhnya adalah Idul Adha”, Cak Nun membuka pemaparan di awal diskusi sesi kedua.

Sebenarnya takbiran boleh dilakukan kapan saja, bahkan seharusnya kita itu melantunkan takbir setiap hari untuk mengungkapkan kekaguman kita kepada Allah atas semua anugerah yang sudah Dia berikan kepada kita. “Salah satu teorinya adalah takbiran itu menghimpun tenaga anda. Kalau anda mendengarkan lagu-lagu atau musik belum tentu menghimpun tenaga anda. Jadi jangan lakukan, jangan lihat, jangan dengarkan, jangan alami apapun yang tidak menghimpun tenaga dalam hidupmu. Kalau yang menghabiskan tenagamu, anda rugi”, Cak Nun melanjutkan.

Bahkan, hingga asupan makanan sekalipun, kita seharusnya menghitung apakah yang kita makan dan minum benar-benar akan menghimpun tenaga untuk jasmani kita atau tidak. Jika kita tepat dalam menghitung makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh kita, apabila hitungannya tepat, maka himpunan tenaga jasmani yang ada dalam diri kita akan memproduksi himpunan tenaga rohani dalam diri kita, yang kemudian himpunan tenaga rohani akan dialektis untuk memproduksi tenaga jasmani.

Cak Nun lalu mengelaborasi perbedaan antara shoum dengan shiyam. Di kampung-kampung, pada zaman dulu, ketika bulan Ramadlan tiba, anak-anak kecil diperkenalkan bagaimana cara mengucapkan niat berpuasa oleh para guru ngaji mereka; nawaitu shouma-l-ghodi ‘an adaai fardhli syahri romadlona hadzihi-s-sanati lillahi ta’alaa. Dari kalimat tersebut kita menemukan kata “Shoum”. Sedangkan didalam Al Qur’an, kita tidak menemukan kata “Shoum”. Dalam Surat AL Baqoroh ayat 183 yang seringkali disampaikan oleh para ustadz menjelang bulan Ramadlan, kita hanya menemukan kata “Shiyam”; Yaa ayyuhalladziina aamanuu kutiba alaikumu-s-shiyaam kamaa kutiba ‘alalladziina minqoblikum la’allakum tattaquun.

“Jadi, kalau saya menafsirkan, Shiyam itu adalah prosedur atau syariat untuk melakukan puasa tidak makan, tidak minum, tidak memasukan dan tidak melakukan sejumlah apapun yang sebelumnya diperbolehkan mulai dari subuh hingga maghrib. Itulah Shiyam. Maka Ramadlan itu disebut madrasah”, Cak Nun melanjutkan.

Ramadlan merupakan sebuah madrasah yang berfungsi sebagai arena pelatihan bagi diri manusia selama satu bulan untuk melakukan Shiyam dari subuh sampai maghrib.

“Kalau shoum, itu segala hal yang sifatnya menahan diri, mengendalikan diri dan membatasi diri”, lanjut Cak Nun yang kemudian meminta jamaah untuk menyebutkan satu saja perilaku atau perbuatan dalam kehidupan kita yang tidak ada unsur menahan diri, mengendalikan diri atau membatasi diri. Tidak ada yang bisa menjawab lontaran pertanyaan Cak Nun kali ini, karena memang semua perilaku manusia terdapat unsur menahan diri, membatasi diri dan mengendalikan diri.

Mulai bangun tidur hingga kita tidur kembali, semua yang kita lakukan terdapat unsur untuk menahan diri. Ketika kita mengendarai sepeda motor, kita harus faham kapan menarik tuas gas dan kapan menginjak pedal rem. Seorang laki-laki dalam Islam diajarkan untuk memilih satu perempuan untuk dijadikan istri. “Selamatnya manusia adalah apabila dia mengerti tentang puasa”, lanjut Cak Nun. Dan, semua yang kita alami di dalam kehidupan ini mengandung unsur puasa.

KC_201607_06

“Percayalah, kalau anda melampiaskan, kalau anda berhari raya setiap hari di warung anda, maka usia warung anda juga tidak akan lama. Tetapi kalau anda membatasi, kalau anda memiliki prinsip puasa, maka anda memiliki kecenderungan terhadap keawetan atau keabadian”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

MENYAMBUNG DARI paparan Jamran dan Agung sebelumnya, Cak Nun menyampaikan bahwa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintahan di Indonesia, mulai dari rapat kabinet, rapat anggota dewan hingga rapat penentuan pemenangan tender, bahkan semua rapat-rapat yang membahas kepentingan rakyat, nomor satu yang harus disadari oleh mereka yang melakukan rapat-rapat tersebut adalah kesadaran tentang Puasa.

Cak Nun mengingatkan bahwa keselamatan hidup kita tergantung pada kemampuan kita dalam menentukan kadar puasa di setiap perilaku kehidupan kita. Dalam dunia perdagangan misalnya, seorang penjual bebek goreng apakah memilih untuk menjual sebanyak mungkin bebek goreng dalam setiap hari atau ia memutuskan untuk membatasi hanya berjualan sekian porsi dan sekian jam setiap harinya?

Jika ia memahami fungsi Puasa, maka ia akan membatasi berapa porsi bebek goreng yang ia jual dan pada jam berapa sampai jam berapa warung yang ia kelola melayani pembelian bebek goreng. Tetapi, yang terjadi saat ini di masyarakat adalah para pelaku di bidang perdagangan akan memaksimalkan barang yang ia jual agar trerjual sebanyak mungkin, bahkan jika perlu warungnya tidak tutup, dan apabila barang yang ia jual sudah habis ia akan mencari lagi barang yang akan ia jual. Yang terjadi adalah melampiaskan, “hari raya”.

“Percayalah, kalau anda melampiaskan, kalau anda berhari raya setiap hari di warung anda, maka usia warung anda juga tidak akan lama. Tetapi kalau anda membatasi, kalau anda memiliki prinsip puasa, maka anda memiliki kecenderungan terhadap keawetan atau keabadian”, Cak Nun melanjutkan sembari menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang merupakan sebuah metode yang sangat mendasar untuk melatih diri kita untuk membatasi diri, bahkan teori yang sederhana ini sudah terbukti mampu membuat tubuh manusia menjadi lebih sehat.

Sebelum melanjutkan pembahasan berbagai hal yang berkaitan dengan Ramadlan, Cak Nun sedikit merespon tentang keresahan Jamran pada konstelasi politik di Jakarta saat ini. Cak Nun mengingatkan, bahwa Kenduri Cinta bukanlah pihak yang memiliki kewajiban untuk dilibatkan dalam urusan politik baik di Jakarta maupun Indonesia. Dalam setiap pemerintahan sudah tersusun lembaga-lemaba mulai dari Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif. Maiyah dan Kenduri Cinta tidak termasuk didalam lembaga tersebut.

Sembari menjelaskan, Cak Nun juga menyampaikan bahwa semua yang hadir di Kenduri Cinta jangan pernah ditagih tentang seberapa besar cinta mereka untuk Indonesia, justru mereka hadir disini merupakan dalam rangka mengungkapkan cinta mereka kepada Indonesia. Mereka hadir dengan ikhlas, duduk menekun hingga subuh untuk bersama-sama mencari kebenaran yang sejati. Setiap manusia punya kehendak, tetapi yang berlaku adalah kehendak Allah.  Apabila saat ini ada sebagian kelompok masyarakat merasakan keresahan terhadap seseorang atau suatu ras, maka jangan hanya disampaikan dalam skala lokal saja. Karena, pada faktanya, yang diresahkan itu sudah menyebar di semua negara, bukan hanya di Indonesia saja.

“Kita disini syahadatnya jelas: Allah, kemudian Rasulullah. Yang lain, nanti dulu”, Cak Nun melanjutkan sembari menerangkan bahwa salah satu kelemahan orang saat ini adalah ketidakmampuan mereka untuk melihat grand design yang ada di belakang sebuah peristiwa. Dalam tulisan DAUR edisi 164; Syarrud Dawab, Cak Nun mengkiaskan bagaimana sebuah kelompok yang berasal dari sebuah negara di bagian Utara Asia saat ini merambah ke berbagai penjuru dunia. Sehingga, keresahan-keresahan yang disampaikan oleh Jamran sebelumnya sebenarnya juga terjadi tidak hanya di Jakarta. Dan, apa yang diresahkan oleh Jamran sebenarnya sudah diperingatkan oleh Cak Nun pada beberapa tahun sebelumnya, bahkan tidak hanya di Kenduri Cinta.

20160716_014741(1)

“Ketika kita mengambil hikmah dari Al Qur’an, meskipun hanya satu ayat, dan kita mentadabburinya kemudian kita pegang teguh dalam kehidupan kita, itulah Lailatul Qodar.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

DI BEBERAPA forum Maiyahan lain Cak Nun sudah  memberikan warning terkait hal ini. Kenduri Cinta memposisikan diri bukan pada posisi yang memiliki kewajiban untuk merubah Jakarta. Maiyah pun tidak memiliki kewajiban apa-apa terhadap Indonesia. Yang dilakukan oleh Maiyah beserta forum-forum yang ada didalamnya: Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan dan forum-forum yang tergabung dalam Organisme Maiyah merupakan wujud dari kecintaan jamaah maiyah kepada Indonesia.

“Saya itu tidak bilang bahwa yang saya omongkan itu benar. Saya itu ingin memberantas ge-er nya setiap manusia di dunia bahwa begitu dia ngomong, meskipun dia yakin yang dia fikir itu benarnya yang paling benar, bahwa setiap yang kita omongkan itu adalah kebenaran relatif. Dan, mungkin nanti sore atau besok pagi kita menemukan kebenaran yang lebih benar. Jadi semua yang saya omongkan itu juga jangan dianggap benar. Siapa tahu melalui omongan saya, anda oleh Allah diberi hidayah untuk menemukan kebenaran. Jadi, jangan percaya kepada saya” Cak Nun kembali mengingatkan kepada jamaah bahwa di Kenduri Cinta yang utama adalah kebenaran sejati milik Allah semata.

Cak Nun sudah sejak jauh-jauh hari mengingatkan agar jamaah tidak mengkultuskan Cak Nun dan jangan merasa bahwa apa yang disampaikan oleh Cak Nun adalah kebenaran yang paling benar. Kenduri Cinta hanya merupakan satu laboratorium yang digunakan dan dimanfaatkan oleh jamaah untuk mencari kebenaran sejati. Siapa saja boleh hadir di Kenduri Cinta. Siapapun berhak untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya di Kenduri Cinta. Semangat yang dibangun adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Karena kebenaran di depan orang yang tidak mengerti kebenaran akan menjadi keburukan.

Setelah jamaah diajak berfikir dialektis dan siklikal untuk memahami sedikit konstelasi global yang sebenarnya berlaku saat ini, Cak Nun kembali mengurai salah satu istlah yang juga sering disebut ketika Ramadlan tiba: imsak. Selama ini, mayoritas masyarakat kita memahami bahwa imsak adalah peringatan yang diumumkan oleh pengurus masjid pada 10 menit sebelum adzan subuh dikumandangkan, yang mengingatkan bahwa waktu sahur sudah selesai.

Secara bahasa, Cak Nun menjelaskan bahwa sebenarnya imsak itu artinya adalah pengendalian. Sehingga, imsak bukanlah pengumuman atau batas akhir waktu sahur, imsak merupakan aktivitas pengendalian diri kita mulai dari adzan subuh hingga adzan maghrib tiba. Itulah Imsak. Sehingga, kalimat yang seharusnya diumumkan oleh pengurus masjid atau mushola pada setiap menjelang adzan subuh adalah kalimat yang menjelaskan bahwa waktu imsak akan segera dimulai.

“Mudiknya seseorang ke dirinya yang sejati tidak bisa dilakukan layaknya mudiknya orang-orang ketika hari raya Idul fitri. Karena nuansanya berbeda, momentum dan peristiwanya sangat privat.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

KEMUDIAN CAK NUN menjelaskan tentang Lailatul Qodar. Saat ini, Lailatul Qodar difahami sebagai sebuah malam dimana Allah menurunkan anugerah dari langit kepada manusia, yakni ketika malam-malam jatuh pada hitungan tanggal ganjil di bulan Ramadlan. Cak Nun menjelaskan bahwa di dalam Al Qur’an yang dijelaskan oleh Allah adalah bahwa Lailatul Qodar merupakan suatu malam dimana AL Qur’an diturunkan; Inna anzalnaahu fii lailatil qodri. Cak Nun menawarkan pemahaman baru dengan perspektif Maiyah, bahwa di Maiyah yang dipahami adalah bahwa ketika kita mengambil hikmah dari Al Qur’an, meskipun hanya satu ayat, dan kita mentadabburinya kemudian kita pegang teguh dalam kehidupan kita, itulah Lailatul Qodar. Karena pada saat itulah Al Qur’an turun dan merasuk dalam diri manusia. Sehingga, Lailatul Qodar sebenarnya adalah momentum kapan Al Qur’an turun dan kemudian ditadabburi oleh manusia.

Jangan memahami bahwa Al Qur’an sebagai lembaran kertas yang sudah tersusun rapi dalam bentuk cetakan, karena itu adalah mushaf. Al Qur’an yang dimaksudkan adalah ayat-ayat Allah yang diterima oleh setiap manusia, meskipun hanya satu ayat tetapi benar-benar ia jadikan pegangan hidup untuk keselamatan dirinya. Cak Nun menjelaskan bahwa Lailatul Qodar tidak terbatas ruang dan waktu, sehingga Lailatul Qodar sangat mungkin dirasakan nuansanya dan momentumnya oleh semua umat manusia baik siang hari maupun malam hari. Karena, pada hakikatnya siang atau malam, gelap atau terang, hanya bisa dipahami dalam batas kemampuan panca indera yang kita miliki. Seorang yang buta tidak akan memahami bedanya siang dengan malam, antara gelap dengan terang. Hidup manusia tidak hanya sebatas panca indera semata, bahkan lebih tinggi dan lebih dalam dari sekedar panca indera saja.

“Apakah Cinta bisa engkau pandang? Bisa engkau dengarkan? Yang bisa engkau dengarkan adalah ucapan yang seolah-olah mencintaimu. Tetapi, cinta yang sejati tidak bisa engkau dengarkan dengan panca inderamu. Begitu juga dengan Lailatul Qodar. Jadi, Lailatul Qodar adalah kapan saja ayat Al Qur’an itu kamu ambil dan kamu berlakukan dalam hidupmu, itulah Lailatul Qodar”, urai Cak Nun.

Kemudian Cak Nun memungkasi pembahasan istilah-istilah sekitar Ramadlan dengan menjelaskan makna Idul Fitri. Istilah Hari raya Idul Fitri sebenarnya hanya populer di Indonesia saja (dan mungkin Malaysia). Di negara-negara Islam di Timur Tengah tidak dikenal istilah bahwa Idul Fitri adalah hari raya yang harus dirayakan. Istilah ini mengandung makna yang negatif, karena jika memang kita merayakan hari Idul Fitri maka akan dapat dipahami bahwa sesungguhnya kita tidak setuju dengan aturan Ramadlan yang mengikat kita untuk tidak makan dan tidak minum serta menahan nafsu dan syahwat kita di siang hari. Karena, hari raya selalu diidentikkan dengan perilaku bersenang-senang. Sangat tidak mungkin kita merayakan hari raya dengan raut muka dan nuansa ungkapan hati  yang menyedihkan. Selain itu, Cak Nun menjelaskan bahwa Fitri itu juga bisa diartikan sebagai Fitroh; Keaslian, orisinalitas, genuinitas.

Hujan turun di tengah-tengah penjelasan Cak Nun tentang Idul Fitri. Jamaah pun mengatur dirinya masing-masing untuk berteduh. Cak Nun mengajak kembali jamaah untuk melantunkan takbir menyambut turunnya hujan. “Hujan, baik atau buruk itu tergantung anda, bukan tergantung hujannya. Kalau anda husnudzon kepada Allah, ini tanda bahwa Allah ikut bergembira atas kegembiraan kita. Dan Allah memberkahi serta mengabulkan apa yang ada di dalam hati anda. Maka, Insya Allah  hujan ini merupakan tanda dikabulkannya doa-doa anda”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun kemudian melanjutkan pemaparannya. Idul Fitri juga bisa diartikan sebagai sebuah peristiwa dimana manusia menjalani proses kembali ke kesejatian. Dalam nuansa kultural masyarakat di Indonesia, Idul Fitri identik dengan peristiwa mudik dimana orang merantau di kota lain untuk mencari rizki, kemudian ketika Idul Fitri tiba ia mudik ke kampung halamannya. Secara kultural, peristiwa ini merupakan peristiwa dimana seseorang kembali ke tempat asalnya.

Cak Nun menjelaskan, bahwa mudik yang sejati adalah kembalinya seseorang ke dalam dirinya sendiri yang sejati, pada peristiwa ini maka prosesnya adalah perenungan pribadi masing-masing. Mudiknya seseorang ke dirinya yang sejati tidak bisa dilakukan layaknya mudiknya orang-orang ketika hari raya Idul fitri. Karena nuansanya berbeda, momentum dan peristiwanya sangat privat.

Kata Fitri juga bisa difahami sebagai satu kata yang memiliki hubungan dengan Futur yang dalam bahasa Arab artinya adalah sarapan atau makan pagi. Sehingga Idul Fitri juga bisa difahami dengan pemahaman kembali makan, setelah sebelumnya tidak boleh makan karena berpuasa.

Cak Nun mengajak kita untuk berfikir, bahwa ternyata Idul Fitri di Indonesia saat ini lebih sering dimakanai sebagai pemaknaan pelampiasan, hanya kembali makan, padahal yang seharusnya dilakukan oleh manusia ketika Idul Fitri tiba adalah pemaknaan yang pertama yaitu kembali ke dirinya yang sejati.

Problematika kehidupan manusia, pengalaman sekian juta peristiwa yang dialami oleh seseorang di dunia mengakibatkan salah satunya adalah seseorang sangat menjauh dari dirinya yang sejati. Maka, Idul Fitri merupakan satu momentum yang sangat tepat dimana setiap individu melakukan perenungan-perenungan dalam suasana yang khusyuk guna menyadari bawha dirinya harus segera kembali kepada dirinya yang sejati.

20160716_014544(1)

“Saya pernah berpesan 4 hal kepada anda. Pertama, Aqidah dan Akhlaq anda harus beres, kedua anda harus memiliki jiwa militer dalam diri anda, ketiga anda harus paham akuntansi dan keempat anda harus menguasai IT”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

SETELAH MENJEASKAN beberapa istilah-istilah yang berkaitan dengan Ramadlan, Cak Nun pun memasuki tema Kenduri Cinta.

“Syahwat itu baik apa buruk?”, Cak Nun melempar pertanyaan awal kepada jamaah dan serentak dijawab oleh jamaah: “Baik”.

Cak Nun menjelaskan bahwa syahwat jangan dikonotasikan sebagai suatu keburukan. Pada dasarnya, syahwat memang identik dengan hasrat untuk melakukan hubungan seks antara laki-laki dengan perempuan, dimana hakikatnya syahwat merupakan alat regenerasi populasi manusia.

“Kalau kita bicara rohani, maka hari raya itu adalah sepanjang Ramadlan”, Cak Nun memungkasi pemaparannya lalu memberikan kesempatan kepada Junaidi Bobby untuk kembali memainkan beberapa nomor akustik seiring jamaah yang menata kembali posisi duduknya di bawah hujan yang reda.

Setelah penampilan Junaidi Bobby, Cak Nun menjelaskan bahwa populasi manusia hari ini didominasi oleh generasi millenia, yaitu generasi anak muda yang rentang usianya antara menjelang 20 tahun hingga 30 tahun. Generasi-generasi produktif yang masih muda ini merupakan generasi yang penuh inovasi dan kreatifitas. Hampir semua bidang saat ini penuh dengan inovasi-inovasi baru. Kecenderungan generasi millenia saat ini adalah mereka memiliki jiwa nasionalisme yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Dan, Maiyah hari ini juga didominasi oleh anak-anak muda generasi millenia saat ini.

Cak Nun menjelaskan bahwa orang-orang yang hari ini memegang tanggung jawab pengelolaan negara tidak memiliki kesadaran yang sama dengan yang dimiliki oleh generasi millenia ini. Para pejabat saat ini meskipun sama-sama hidup di era IT, tetapi mereka bukan orang yang ahli dalam bidang IT. Mereka hidup di era internet tetapi cara berfikir mereka masih pra-internet. Kemudian, pengusaha-pengusaha saat ini juga mulai didominasi oleh anak-anak muda yang penuh kreativitas dalam berbagai hal, inovasi produk yang mereka tawarkan kepada masyrakat terus berkembang, di sisi lain dunia start up di Indonesia juga mulai menggeliat.

Setidaknya, Cak Nun menggarisbawahi bahwa ada 3 hal yang menjadi alasan untuk optimis bahwa Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi Indonesia yang lebih baik. Tiga hal itu adalah kesadaran akan kesholehan bagi dirinya sendiri, kesadaran nasionalisme yang tinggi dari generasi sebelumnya, dan kesadaran  berwirausaha yang penuh inovasi lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Cak Nun membangkitkan rasa optimis kita, bahwa Indonesia pada jangka waktu 5-10 tahun yang akan datang akan menjadi Indonesia yang lebih baik dari hari ini karena pemimpin-pemimpin yang akan datang memiliki kesadaran-kesadaran yang tidak dimiliki oleh pemimpin hari ini.

“Saya pernah berpesan 4 hal kepada anda. Pertama, Aqidah dan Akhlaq anda harus beres, kedua anda harus memiliki jiwa militer dalam diri anda, ketiga anda harus paham akuntansi dan keempat anda harus menguasai IT”, Cak Nun melanjutkan uraian dengan kembali mengulangi 4 hal yang harus menjadi bekal bagi generasi Indonesia saat ini.

Untuk menjelaskan tentang penguasaan IT, Cak Nun bercerita bahwa beliau bahkan sejak era DOS dan C+ diawal masuknya era Komputer di Indonesia, beliau sudah seringkali melakukan eksperimen-eksperimen untuk mencoba hal-hal baru di bidang teknologi. Cak Nun sangat menyadari bahwa IT merupakan elemen yang sangat penting untuk menghadapi situasi global hari ini. Dalam beberapa tulisan terbaru di rubrik DAUR, Cak Nun sendiri mengingatkan jamah maiyah agar tidak tabu terhadap IT agar tidak menjadi budak IT.

Kecenderungan masyarakat hari ini adalah mereka tidak menyadari bahwa dirinya menjadi objek eksploitasi IT. Padahal, seharusnya IT mereka kelola dengan manajemen yang baik, sehingga mereka tidak menjadi korban dari asupan informasi yang salah kaprah hari ini.

“Saya belajar hingga hari ini, hal yang paling update sekalipun, saya pelajari hari ini. Saya tidak pernah berhenti belajar. Saya adalah seorang pembelajar”, Cak Nun mengingatkan bahwa kesadaran diri untuk selalu memperaharui pengetahuan juga merupakan hal yang harus tetap dijaga terus menerus.

Cak Nun mengajak kita untuk kembali memahami arti dari kesholehan yang hari ini hanya difahami dalam wilayah simbol-simbol semata. Hari ini, orang yang kesholehan hanya diidentikkan dengan cara berpakaian orang, rajin tidaknya ia ke masjid, atau seberapa  seringnya ia bersedekah. Pemahaman tersebut bukan pemahaman yang salah, tetapi kesholehan seseorang juga harus diteliti secara empirik, melalui pengalaman dan bukti-bukti sosial yang lain. Seperti halnya istilah yang berkembang hari ini, bahwa seakan-akan ada sekat yang membedakan bahwa Allah dan makhluk ciptaannya tidak dialektis satu sama lain. Manusia hari ini banyak yang tidak menyadari bahwa Allah selalu bersama kita dalam segala kondisi. Manusia hari ini tidak menyadari bahwa ketika ia melihat daun, pohon, langit dan semuanya pada hakikatnya ia juga melihat Allah. Aplikasi dari kecintaan manusia kepada Allah adalah mencintai makhluk-makhluk ciptaan Allah. Sementara itu, juga tidak mungkin manusia bertemu Allah tanpa melibatkan Rasulullah SAW dan umat manusia, tidak mungkin kita melihat manusia tanpa melihat Allah, karena itu merupakan peristiwa yang dialektis satu sama lain.

20160716_005048(1)

“Perjuangan itu nilainya pada perjuangannya, bukan pada hasilnya. Begitu engkau berjuang, engkau masuk dalam keabadian. Begitu engkau sucikan yang kamu maui, engkau masuk kedalam keabadian. Hasil tidak ditagih oleh Allah, yang ditagih oleh Allah adalah konsistensimu dalam berjuang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

CAK NUN KEMUDIAN melemparkan pertanyaan tentang kekhusyukan itu adalah kita hanya mengingat Allah dan melupakan semua yang selain Allah atau kita membawa kegelisahan-kegelisahan dalam kehidupan dunia kita kepada Allah? Satu pertanyaan ini tidak dimintai jawabannya oleh Cak Nun, melainkan untuk direnungkan masing-masing oleh setiap individu.

Cak Nun meneruskan,bahwa fokus utama manusia bukan mencari atau mengharap ridhlo Allah, yang menjadi fokus utama setiap manusia adalah dirinya harus terus menerus ridhlo kepada Allah, sehingga ridhlo dari Allah akan otomatis ia dapatkan. Ketidakpuasan dalam diri manusia menjadikan manusia selalu tidak ikhlas dikarenakan manusia tidak mampu ridhlo atas keputusan Allah yang diberikan kepada dirinya.  Manusia selalu merasa bahwa apa yang diberikan oleh Allah merupakan bentuk ketidakadilan, padahal sesungguhnya keadilan Allah itu bukanlah sebuah rumusan yang baku dan berlaku sama bagi semua makhluknya. Dan, sesungguhnya semua yang berlaku dalam diri setiap manusia bahkan juga pada semua makhluk Allah merupakan keajaiban-keajaiban yang harus disyukuri. Bagaimana Allah membatasi beberapa bagian anggota tubuh kita untuk berhenti pertumbuhannya dan beberapa bagian lain terus diberi kesempatan untuk tumbuh, itu merupakan keajaiban yang harus disyukuri oleh kita.

Cak Nun menjelaskan bahwa yang beliau lakukan selama ini Maiyahan dimana-mana bukan hanya sebatas membesarkan hati manusia Indonesia. Karena, menurut Cak Nun, hati orang Indonesia sudah sewajarnya adalah hati yang besar. Cak Nun menceritakan persambungannya dengan TKI-TKI di beberapa negara yang sangat terampil dalam banyak hal, sehingga TKI-TKI dicintai oleh masyarakat di negara tersebut. Cak Nun berkesimpulan bahwa kecanggihan dan ketrampilan orang Indonesia tidak selalu berdasarkan latar belakang pendidikannya. Cak Nun mengingatkan bahwa perjuangan kita bukan hanya hari ini, bukan hanya satu-dua tahun ke depan. Dan, apa yang dilakukan oleh Cak Nun bersama banyak jamaah Maiyah di Indonesia merupakan wujud dari kecintaan kepada Indonesia.

Jangan tanyakan cinta kita kepada Indonesia. Kita tidak dibayar oleh siapa-siapa dan tidak disponsori oleh siapa-siapa. Jadi, jangan ada yang mengatakan kalau orang-orang Kenduri Cinta tidak cinta kepada Indonesia. Bahwa, hari ini kita merasa banyak orang baik yang tidak memiliki kesempatan atau kewenangan untuk ikut terlibat dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan rakyat, Cak Nun mengingatkan jangan lupa bahwa Allah juga memiliki kekuasaan. Dan kekuasaan Allah adalah kekuasaan yang paling besar jika dibandingkan dengan kekuasaan manusia.

Jika kita memang meyakini bahwa apa yang terjadi hari ini tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sebenarnya, maka yakinlah bahwa penderitaan, tirakat, ikhtiar dan perjuangan kita hari ini merupakan investasi masa depan yang kelak Allah akan membuahkan hasilnya, mungkin kita tidak ikut menikmatinya tetapi generasi-generasi setelah kita yang akan merasakannya.

Setelah penampilan Balte dengan beberapa nomor dangdut melayu sebagai jeda, Cak Nun bercerita sedikit mengenai hasil diskusi kecil dengan Sabrang. Menurut Sabrang, yang ditawarkan oleh Maiyah bukanlah data, materi ilmu, tafsirnya atau cara berfikirnya yang nomor satu melainkan keseimbangan dari semua itu. Kegembiraan dan kebahagiaan yang hadir pada setiap Maiyahan merupakan wujud dari keseimbangan yang disinergikan oleh semua yang hadir di Maiyah. Kunci utama hidup seseorang adalah jangan sampai kehilangan keseimbangan dalam hidup. Cak Nun mengingatkan jangan hanya melihat seseorang dari bagian depan saja atau dari bagian belakang saja, melainkan melihat dari berbagai sisi dengan dasar keseimbangan. Karena Allah menciptakan semua ciptaannya ini berada dalam satu titik keseimbangan. Lalu, dengan merespon satu nomor lagu yang dibawakan oleh Balte berjudul; “Ibu”, Cak Nun mencuplik satu ungkapan yang sangat populer: surga dibawah telapak kaki ibu.

Dari lagu itu Cak Nun mengajak berdialog kepada jamaah bahwa sebenarnya ungkapan tersebut ditujukan untuk anak atau untuk ibu? Jamaah pertama menjawab bahwa tujuan ungkapan itu ditujukan untuk anak supaya anak lebih berbakti kepada Ibu dan tidak durhaka kepada Ibu. Jamaah yang lain merespon bahwa ungkapan itu ditujukan untuk Ibu karena setiap Ibu harus menciptakan surga bagi anaknya. Menyambung juga dari paparan-paparan sebelumnya bahwa di Maiyah yang ditawarkan adalah keseimbangan, Cak Nun menjelaskan  bahwa setiap pemahaman kita cari titik keseimbangannya. Dari ungkapan tadi, jika kita berposisi sebagai anak, maka landasan utamanya adalah itu untuk kepentingan Ibu. Jika pada posisi Ibu, maka kita harus mengambil posisi bahwa ungkapan itu adalah untuk kepentingan anaknya.

KC_201607_05

“Jangan pamer cinta disini (di Kenduri Cinta), karena cinta sudah menjadi diri mereka.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

CAK NUN MENCERITAKAN bagaimana ibunda beliau memahami ungkapan tersebut bahwa surga dibawah telapak kaki ibu, terapannya adalah jangan sampai ibu memiliki pikiran dan sangkaan buruk kepada anaknya, jangan sampai keluar bahkan terbesit kutukan dari ibu kepada anaknya, karena sedikit saja ibunya marah kepada anaknya maka akan terjadi keburukan pada anaknya. Dan, sebagai seorang anak, kita harus berdialektika dengan berlaku sebaliknya kepada ibu kita seperti apa yang dilakukan oleh ibu kepada kita. Penerapan dialektika ini juga berlaku pada perilaku dan sikap seorang bapak kepada anaknya dan anak kepada bapaknya. Disinilah kita belajar memahami titik keseimbangan. Bahkan dalam skala yang lebih luas, antara rakyat dengan negara dan antara negara dengan rakyatnya. Apabila kita semua memiliki titik keseimbangan yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka akan terwujud baldatun thhoyyibatun wa robbun ghoffur.

Dalam lingkup pemerintahan, tugas utama seorang presiden bukanlah sebagai orang yang mengambil kebijakan tentang pajak, migas, keuangan, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Seorang presiden adalah orang yang menjaga keseimbangan dari semua kegiatan-kegiatan para staf dan pembantunya di pemerintahan, ini wilayah horizontal. Sedangkan pada wilayah vertikal, ia menjaga keseimbangan antara hubungan dirinya kepada Tuhannya dan rakyatnya, yang di dalam kebudayaan jawa dikenal istilah manunggaling kawulo lan gusti. Yaitu menyatunya antara rakyat dan Tuhan didalam hati seorang pemimpin. Apabila ia menyakiti rakyatnya maka Tuhan akan marah dan apabila ia mengingkari Tuhannya maka rakyatnya akan menderita.

Memuncaki pembahasan tentang syahwat, Cak Nun kembali mengajak dialog dengan jamaah tentang perbedaan antara kapitalis dengan pedagang. Kapitalis adalah peristiwa mencari laba sebanyak mungkin dan menjual semua hal yang bisa dijual dan menghasilkan keuntungan berlipat. Sedangkan pedagang mampu menentukan dengan presisi yang tepat produk mana yang memang layak untuk dijual dan membatasi dirinya dalam mencari keuntungan. Cak Nun menggambarkan bahwa setiap manusia pada hakikatnya memiliki syahwat, sehingga naluri berdagang sudah ada dalam dalam dirinya, bahkan pada hakikatnya manusia pun berniaga dengan Tuhan. Manusia membeli surga Tuhan dengan ibadah yang ia lakukan sehari-hari. Dan seterusnya.

Sehingga, jika disimbolkan, seorang pedagang adalah orang yang hanya memiliki satu kelamin di tubuhnya karena ia memahami bahwa syahwat adalah fitrah manusia yang dianugerahkan oleh Allah, dan manusia sebagai khalifah diberi hak untuk mengelola syahwatnya agar mampu dikendalikan. Sedangkan pelaku kapitalis adalah seorang manusia yang seluruh tubuhnya adalah kelamin, karena ia pada dasarnya tidak mampu mengendalikan syahwat yang ada dalam dirinya. Semua hal yang memungkinkan untuk dijual, akan ia jual atas dasar untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Cak Nun kemudian memberikan kesempatan kepada jamaah untuk bertanya, seorang jamaah bernama Imam Bukhori menanyakan apakah nafsu yang dimaksudkan dalam AL Qur’an sama dengan nafsu yang dipahami oleh kita saat ini atau tidak? Karena, di dalam AL Qur’an disebutkan banyak sekali macamnya; Nafsu Lawwamah, Nafsu Muthmainnah, dan sebagainya. Lalu, bagaimana cara menyeimbangkannya?

Sebuah pertanyaan muncul dari Sugito. Ia menanyakan apakah pristiwa reinkarnasi dalam Islam itu ada? Dan, apabila ada, apakah perilaku yang kita lakukan saat ini akan terekam di kehidupan kita setelah kita mengalami reinkarnasi itu?

Merespon pertanyaan Bukhori, Cak Nun menjelaskan bahwa pemahaman nafsu dalam bahasa arab tidak sama dengan nafsu dalam bahasa indonesia. Nafsu dalam bahasa arab memiliki arti diri atau jiwa manusia, sedangkan dalam bahasa indonesia dipahami sebagai syahwat. Cak Nun menjelaskan, jangan sampai dipahami bahwa kata nafsu yang termaktub dalam Al Qur’an adalah sesuatu yang buruk, karena sejatinya manusia diciptakan dalam keadaan yang paling baik. Yang membuat manusia tidak baik adalah kegagalan dalam menentukan titik keseimbangan dalam kehidupan.

Syahwat sendiri dijelaskan oleh Cak Nun bahwa denotasinya adalah birahi seks manusia, yang kemudian dikonotasikan menjadi syahwat ekonomi, politik dan sebagainya. Kemudian, salah satu konotasi syahwat dalam kehidupan saat ini adalah peristiwa kapitalisasi dalam segala hal, sehingga semua yang bisa dijual akan dijual demi mendapatkan laba sebanyak-banyaknya, tidak terkecuali dalam wilayah agama sekalipun. Saat ini, bahkan orang bersedekah salah satu tujuannya adalah agar mendapatkan laba yang lebih banyak. Padahal, dalam Al Qur’an sudah tertulis walaa tamnun tastaktsir. Jangan memberikan sesuatu dengan mengharapkan balasan yang lebih banyak dari apa yang diberikan.

20160716_014544(1)

“Jangan memberikan sesuatu dengan mengharapkan balasan yang lebih banyak dari apa yang diberikan. 
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2016)

CAK NUN MENJELASKAN bahwa ketika kita berbuat baik, apapun itu niatkan saja berbuat baik, tidak perlu ada embel-embel “agar supaya”. Ketika kita bersedekah, lakukan saja bahwa niatnya untuk berbuat baik, jangan sampai ada embel-embel agar Allah membalasnya dengan rizki yang lebih banyak. Seperti halnya seorang suami yang meniduri istrinya ketika berhubungan seks, niatnya bukan dalam rangka agar istrinya hamil, karena hak prerogatif hamilnya istri atau tidak adalah hak Allah. Seperti halnya seorang petani yang tugas utamanya adalah menanam tanaman di ladangnya, ia tidak memiliki hak untuk menentukan apakah tanaman itu akan tumbuh kemudian panen atau tidak. Itu merupakan hak prerogatif Allah.  Cak Nun lalu menjelaskan pula tentang kesalahan masyarakat saat ini dalam mengungkapkan Sakinah, Mawaddah wa Rohmah dalam setiap kali ada yang melangsungkan pernikahan.

“Apakah Allah belum memberi Rahmat kepadamu?”, lanjut Cak Nun bertanya yang kemudian menjelaskan bahwa Rahmat dan Mawaddah merupakan sebuah kepastian yang sudah dianugerahkan oleh Allah kepada semua makhluknya.

Alam semesta, air, udara, angin, pohon, dedaunan dan lain sebagainya merupakan wujud dari Rahmat Allah kepada semua makhluknya di alam semesta. Sedangkan Mawaddah merupakan manifestasi perwujudan cinta antara seorang laki-laki dan perempuan yang disatukan dalam ikatan pernikahan. Sehingga, Mawaddah dan Rahmat sesungguhnya sudah ada dalam diri setiap manusia, dan itu sudah pasti, bukan semoga.

Yang disemogakan adalah Sakinah, seperti yang termaktub dalam Al Qru’an; litaskunu fii dan litaskunu ilaa. Kata sakinah berasal dari kata Sakana. Sakinah adalah sebuah nuansa yang harus terus menerus diusahakan. Ada kalanya Sakinah dalam sebuah keluarga itu akan turun prosentasenya, kemudian pada saat yang lain Sakinah dalam satu keluarga itu akan naik kembali kualitasnya. Semua itu bergantung pada pengelolaan Rahmat dan Mawaddah yang ada dalam individu masing-masing antara suami dan istri juga anggota keluarga yang lain dalam sebuah keluarga. Maka, kalimat yang tepat untuk diungkapkan adalah semoga dengan Mawaddah dan Rahmat dalam dirimu, keluargamu menjadi keluarga yang Sakinah.

Cak Nun kemudian menjelaskan kepada jamaah bahwa dalam dimensi yang lebih luas, pemahaman kafir dan muslim itu juga harus diperjelas presisi penyampaiannya. Seseorang bisa saja mengatakan bahwa dirinya adalah seorang kafir terhadap setan. Artinya, bisa difahami bahwa orang tersebut bukan orang yang tunduk kepada setan. Pada dimensi yang lain seseorang akan menyatakan dirinya adalah seorang muslim terhadap orang tuanya, hal ini harus difahami bahwa dirinya muslim dalam rangka taat kepada orang tuanya. Sehingga ia bisa saja menjadi seorang yang kafir terhadap tetangganya, artinya ia belum tentu mematuhi tetangganya. Sebab, muslim dan kafir dapat juga difahami sebagai istilah yang difahami sebagai taat dan ingkar.

Merespon pertanyaan tentang reingkarnasi, Cak Nun menjawab bahwa kenikmatan kehidupan manusia tentang minimnya pengetahuan informasi akan hal-hal yang ghaib adalah karena kita tidak mengetahuinya. Pada hakikatnya tidak ada kehidupan yang lain, karena seluruh tatanan kehidupan yang ada saat ini adalah berada dalam satu kesatuan yang tunggal bersama Allah. Tidak ada satu pun di alam semesta ini yang tidak tunggal. Bahkan kehidupan kita saat ini juga merupakan kehidupan akhirat, meskipun saat ini kita masih berada di dunia. Cak Nun menegaskan bahwa seharusnya setiap manusia harus menjadi dirinya sendiri, karena setiap manusia diberi sedikit hak oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengolah apa yang ada dalam dirinya. Jika kita saat ini menghadapi konstelasi global yang sedemikian ruwetnya, kita harus memiliki preisisi dan kuda-kuda yang kuat agar kita tetap menjadi diri sendiri. Meskipun setiap hari kita bersinggungan dengan internet, sekolah, kampus, media massa dan lain sebagainya, tetapi itu semua tidak akan menyebabkan diri kita terkontaminasi sehingga kita tetap menjadi diri kita yang sejati.

Maka, apakah ada reinkarnasi atau tidak, itu semua hanya Allah yang tahu jawabannya. Lebih baik kita tidak mengetahui seluruh informasi sehingga kelak kita akan mendapatkan pengetahuan yang baru dan kita takjub kepada kebesaran Allah daripada kita mengetahui semua informasi yang ada di alam semesta ini. Salah satu titik keseimbangan dalam kehidupan kita adalah adanya ketidaktahuan dalam diri kita.

Tidak terasa hampir 8 jam kita duduk menekun menjernihkan pikiran dan menyegarkan pengetahuan di Taman Ismail Marzuki, tidak tampak wajah-wajah kelelahan, tidak tampak ekspresi bahwa kebersamaan dan kemesraan ini harus segera diakhiri.

Menjelang pukul 4 dinihari, Cak Nun mengajak seluruh jamaah Kenduri Cinta untuk berdiri bersama dan berdoa bersama.