“Puasa” Di Hari Raya

SERI PATANGPULUHAN EDISI 14

RAMADAN MEMASUKI hari-hari akhir. Bilangan ganjil menjadi tanggal favorit, malam yang dipercaya oleh sebagian besar umat Muhammad bahwa Allah menurunkan Lailatul Qadar. Al Quran menggambarkan, bahwa lailatul qadar atau “malam ketetapan” adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Usai taraweh, saya masuk ke ruang tengah. Sepi. Monitor tv berwarna hitam, tak bercahaya. Tak ada yang berminat untuk nonton. Kamar belakang tertutup rapat. Juga kamar tengah. Rapat.

Ketika mau meraih tombol power tv, ada suara yang mengurungkan. Lalu saya duduk di sofa agak bersandar. Dari kamar tengah terdengar bacaan ayat-ayat Al Quran. Kamar tengah. Bukan kamar belakang. Benar, Cak Nun menderas Al Quran. Menderas, salah satu teknik qiroatul quran. Membaca Al Quran tidak dilagukan sebagaimana qari’ berqiroah. Bacannya lebih cepat, namun tetap bercengkok, berirama. Enak. Menenangkan hati. Tak terasa mataku agak panas. Merebak. Sudah berapa lama saya tak membuka Al Quran?

Doa-doa ampunan saling bersahutan terdengar dari speaker musalla dan masjid sekitar kampung Patangpuluhan, hingga membangunkanku. Saya tertidur di sofa.

Doa-doa khas, yang hanya dibaca selama bulan puasa. “Allahumma innaka afuwwun, tuhibbul afwa fa’fu anni.” –Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan, maka maafkanlah kesalahanku. 

“Sahur…!” sambil membawa lauk pauk ke meja, Dik In dan mbak Roh menawarkan.

“Cak Nun sudah bangun?”

Dik In tidak menjawab. Kopi panas diletakkan di meja tempat biasa Cak Nun duduk. Pintu diketuk. Tak ada jawaban. Jarum jam menunjuk angka 03:15. Masih banyak waktu.

Tak lama terdengar suara adzan. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Saya buru-buru menyudahi aktifitas makan, minum dan merokok. Cak Nun keluar dari kamar “persembunyian,” duduk dan menyeruput kopi yang sudah agak dingin. Rokok dinyalakan. Lha kok?

Di kamar belakang saya melongok, masih tenang-tenang saja, ada yang minum dan ada yang sedang makan.

“Sudah adzan,” saya mengingatkan.

“Baru adzan awal…!” ada yang menyahut.

Di Yogya, dalam tradisi Muhammadiyah, di dini hari sebelum tiba waktu subuh, terdengar adzan awal, selalu diawali: “Adzan Awwal…..” Lalu “Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Dari Umar dan Aisyah: Rasulullah bersabda: Bahwasanya Bilal beradzan di malam hari (sebelum masuk waktu subuh). Karenanya makanlah dan minumlah sehingga Ibnu Ummi Maktum megumandangkan Adzan. Ibnu Ummi Maktum adalah orang buta, yang beradzan subuh di kala orang-orang mengatakan kepadanya: Telah pagi, telah pagi.

Pagi hari, jalanan di depan rumah yang biasa ramai lalu lalang orang belanja ke pasar, orang kantoran berangkat kerja, pelajar dan mahasiswa pergi ke sekolah atau kampus, sudah mulai sepi. Yogya tidak sesibuk biasanya. Para perantau pulang ke kampung asalnya untuk berhariraya.

Dari kamar belakang suara-suara riuh, sejak subuh tadi kedua adik Cak Nun sudah packing. Sebentar lagi berangkat ke Stasiun Tugu untuk kemudian menuju Jombang. Saya sendiri masih gojak-gajek, mau balik ke Purwokerto atau ikut berlebaran di Yogya, satu dua hari setelahnya barulah mudik. Cak Nun, jika tak ada undangan acara, seperti misalnya Takbir Akbar Nasional dengan tokoh-tokoh, baik poitik atau pesohor lainnya di Jakarta yang waktunya tepat di Malam Takbiran, lebih sering berlebaran di Yogya, dua tiga hari kemudian berangkat ke Jawa Timur menemui ibundanya dan sanak saudara yang lain di Desa Menturo, Jombang.

Begitulah. Yogya sudah benar-benar sepi. Hanya dihuni oleh penduduk asli atau para perantau yang sudah menetap sebagai warga Yogya, mereka sudah tidak setiap hari raya harus mudik ke kampung asalnya.

Kini, praktis di rumah Patangpuluhan hanya kami berdua, saya dan Cak Nun. Lengang. Orang-orang yang biasa silih berganti bertandang, sudah tak tampak batang hidungnya.

Lebaran pun tiba. Hari kemenangan yang ditunggu-tunggu telah datang. Subuh-subuh saya berangkat ke alun-alun Utara, tepat di depan sebelah utara Kraton Ngayogyakarta, atau sebelah timur Masjid Besar Kauman. Karpet-karpet plastik telah tertata, garis shaf dipasang tali rafia memanjang. Yang tak kebagian karpet, disediakan kertas-kertas koran yang masih menumpuk di pinggir shaf.

Usai salat Idul Fitri, saya segera pulang ke Patangpuluhan. Cak Nun sudah terlihat rapi. Entahlah, tadi ikut salat id di mana. Buru-buru saya ke dapur, menjerang air untuk bikin kopi.

“Jid…”

“Ya, Cak”

“Golek maem!”

Saya keluar rumah, menyusuri jalan Bugisan, lalu ke perempatan Patangpuluhan, terus ke arah Wirobrajan. Tak ada warung yang buka. Kemudian menuju ke timur, jalan KHA Dahlan, sampai ke perempatan Kantor Pos Besar. Warung Padang Siang Malam, seberang kantor pos, juga tutup. Missi gagal. Pulang tak ada hasil.

“Warung tutup kabeh, Cak!”

“Iki riyoyo, moso poso neh?”

Saya tak menjawab. Hari raya lebaran, tetap saja “berpuasa.” Biasanya yang menyediakan masakan, nasi dan lauknya, adalah adik-adik Cak Nun. Kalau sekedar kue-kue kering lebaran, biskuit kaleng, tersedia di meja.

Di depan tv (yang hanya satu channel), TVRI, sedang menyiarkan kemeriahan hari raya dari beberapa kota. Koran-koran tak terbit. Kami berdua hanya diam, tak ada pembicaraan. Berbatang-batang rokok menumpuk di asbak.

Akhirnya, ya akhirnya, Mbak Wik datang. Membawa nasi dan lauk-lauk khas hari raya. Saya mendahului ambil nasi dan lauk. Lalu, seperti biasa, Cak Nun mengambil porsi sangat sedikit.

Alhamdulillah. Selamat Idul Fitri.

 

Keterangan:

Mbak Wik, sekarang sudah meninggal, tetangga keluarga Cak Nun ketika di Kadipaten Wetan. Mbak Wik yang momong Sabrang sejak balita, dan bantu-batu masak Ibunya Sabrang. Kemudian Cak Nun pindah rumah kontrakan di Patangpuluhan, Mbak Wik mencari kerja, bantu-bantu orang di sekitar Patangpuluhan. Dengan keikhlasan, tidak dibayar, karena bukan pembantu, selalu mengulurkan tangan ke keluarga rumah Patangpuluhan. Al Fatihah untuknya.