Rawon Kangkung

Seri Patangpuluhan edisi 12

“Tolong, kalkulasikan kebutuhan tiap bulan…!”

“Nggih, Cak.”

“Masukkan juga uang saku arek-arek dan kebutuhan sekolah…”

YANG DIMAKSUD arek-arek, ya saya, Cak Markesot dan lain-lain yang tinggal di Patangpuluhan; dan dua adik perempuan Emha yang masih kuliah.

Tiap bulan saya bikin estimasi “Rencana Anggaran Belanja Rumah Tangga.” Kebutuhan makan-minum, bayar listrik, telepon dan kebutuhan-kebutuhan lain yang berhubungan dengan keberlangsungan kehidupan rumah tangga Patangpuluhan. Nominalnya sekitar lima ratus ribuan, jika dikurs-kan sekarang, barangkali lima jutaan.

Tidak setiap hari Emha memegang uang dalam jumlah banyak, maka harus jelas berapa estimasi kebutuhan rumah tangga tiap bulannya. Tidak bisa, misalnya, mendadak meminta uang untuk bayar listrik karena sudah jatuh tempo; atau untuk beli beras karena mau memasak ternyata persediaan berasnya sudah habis. Dengan estimasi anggaran sebulan sangat memudahkan adik-adik perempuan Emha mengatur belanja kebutuhan makan minum sehari-hari.

Begitulah.

Jarum jam menunjuk angka sebelas siang lebih beberapa menit. Di meja makan telah tersanding se-cething nasi putih, rawon, krupuk udang dan sambal. Masak besar nih, dingaren.

Sajian lengkap di meja belum ada yang menyentuh. Adik-adik perempuan Emha; Mbak Roh dan Dik In (keduanya masih kuliah di IAIN –kini berubah nama menjadi UIN) yang selalu memasakkan dan dibantu oleh Mbak Wiek (Allahum-magh firlaha); usai memasak masuk ke kamar. Emha sendiri entah ada dimana. Apakah sedang di kamar mengetik atau tidur; atau sedang ada acara di luar.

Kali ini saya tak berani sembrono dan ‘kurang ajar’ mendahului mengambil nasi dan lauk-pauk untuk makan siang. Jadi saya langsung menuju ke dapur menjerang air untuk meracik teh tubruk nasgithel (panas, legi dan kenthel).

Di teras rumah saya sruput teh manis panas dan sebatang rokok. Koran-koran dan majalah berserakan belum sempat saya sentuh. Di jalan depan rumah berlalu-lalang orang-orang pulang balik ke Pasar Legi. Padahal hari sudah menjelang siang. Jalanan memang tidak pernah sepi.

Pasar Legi hanya seratusan meter ke arah timur dari rumah Patangpuluhan. Sebuah pasar tradisional yang sangat ramai dan sibuk sejak subuh sampai siang menjelang sore. Pagi hari sangat pas untuk cari sarapan; nasi gudeg, kue lopis, gethuk, cenil atau nasi ketan.

Nasi ketan dengan campuran biji kedelai dan parutan kelapa merupakan salah satu makanan yang disuka Emha. Maka tidak akan lupa jika adik-adik Emha ke pasar pasti akan menyempatkan membeli beberapa pincuk.

Saya melongok ke dalam. Emha sudah duduk di meja makan; bersarung dan berkaos oblong putih berkancing. Kaos oblong warna putih tipis dan berkancing merupakan kaos ‘wajib.’ Kaos model ini, dulu, dipakai oleh Chen Lung dalam film-film silat Mandarin. Kini sudah jarang orang yang memakainya. Di toko-toko, apalagi supermarket tidak menjualnya. Agak susah mencarinya. Tapi bagi Emha sudah keharusan yang berfungsi sebagai kaos dalam. Eh, siapa Chen Lung? Ia adalah sebagai Wong Fei-Hung dalam film Drunken Master. Ah, pasti belum ngeh juga. Chen (Yuen) Lung ya Jackie Chan.

Emha tidak ke mana-mana. Tidak ada acara maksudku.

“Yuk, makan…!”

Emha menyilakan makan sembari menyendok rawon lalu nasi di piring disiram. Potongan dadu daging sapi dalam kuah berwarna hitam kecoklatan. Tapi, aneh, kok bukan hanya potongan-potongan daging, terdapat juga sayuran kangkung.

Ya, ya, akhirnya saya tahu, bahwa rawon kangkung merupakan masakan nostalgik bagi keluarga Emha. Diceritakan; di kala Emha kecil ibu Halimah, ibundanya Emha, sesekali memasak rawon. Agar masakan mencukupi untuk keluarga besar; kakak dan adik-adik Emha yang jumlahnya banyak; maka ibu memasak rawon tapi dicampur dengan sayur kangkung.

Maka jika pada suatu hari Emha bertandang ke rumahmu, jangan sungkan-sungkan, jamulah dengan Rawon Kangkung!