Silakan Makan

Seri patangpuluhan edisi 16

SEPERTI BIASA, sebagaimana malam-malam sebelumnya, saya bersama Emha menuju Malioboro. Di ujung jalan seberang Hotel Garuda, kantor Biro Jawa Pos yang dituju.

Jam menunjuk angka 21.00. Toko-toko sepanjang jalan mulai tutup, pedagang kaki lima yang memenuhi bahu jalan berkemas mengepak barang dagangan. Tutup juga. Waktunya harus bergiliran dengan pedagang makanan lesehan.

Jalan Malioboro tidak pernah tidur. Sejak subuh sudah dipenuhi pedagang yang menata lapak. Berbagai macam pakaian etnik khas Jogja, barang kerajinan kulit, kalung-kalung dari batu atau kayu; dijajakan dengan harga miring. Agak siang sedikit, toko-toko mulai buka pintu. Jika malam tiba, toko-toko dan pedagang kaki lima tutup, pedagang makananlah yang menguasai jalanan ditemani oleh para pengamen-pengamen sampai subuh menjelang.

Kantor Jawa Pos Biro Yogya dipimpin oleh Arif Afandi dan dibantu dua wartawan muda yang masih kuliah; Adib Lazwar Irkhami dan Erwan Widyarto. Ada satu familinya Arif Afandi yang drop out SMA di kampung ikut bekerja sebagai editor sambil meneruskan SMA-nya, namanya Ibnu Atho. (Mungkin bukan editor, lebih tepatnya mengetik ulang naskah atau berita lalu dikirim via modem ke kantor pusat Surabaya). Kelak, Atho ikut membesarkan Tabloid Detik Jakarta sebagai wartawan.

Saya tidak hanya berdua dengan Emha, kadang ditemani juga oleh kawan-kawan lain. Banyak kawan-kawan Emha ikut ramai-ramai bertandang ke Malioboro. Kadang Toto Rahardjo, Whani Darmawan, Butet, Jadug, Eddot. Di lain waktu mungkin Seteng, Jebeng, Ivan, Agung, Goetheng, Ali Syahbana. Atau tamu-tamu dari Jakarta, Eros Djarot, Uki Bayu Sedjati, Ismed Hasan Putro. Bisa juga wartawan Jakarta yang memburu Emha untuk wawancara atau ingin mengambil gambarnya untuk beberapa pose.

Kala itu Emha dengan Jawa Pos sangatlah ‘akrab.’ Beberapa redaktur seniornya di Surabaya adalah-kawan-kawannya. Tiap hari Senin selalu muncul kolom tulisannya. Gaya tulisan untuk Jawa Pos sangat ‘ngepop.’ Gaya bahasanya tidak seserius untuk tulisan majalah Tempo atau Kompas, misalnya. Dibaca sambil tiduran juga enak karena tidak perlu mengerutkan dahi.

Malam itu berkumpul kawan-kawan Arif Afandi. Nama-nama yang sangat familiar. Rizal Mallarangeng, Dodi Ambardi, Yusuf Arifin, Yahya Staquf.

Kadang jika pekerjaan kejar deadline sudah selesai, beramai-ramai jalan-jalan keluar muter-muter keliling Jogja. Sasaran tentu saja mencari makanan-makanan khas kaki lima. Jadah bakar atau pisang bakar di Paku Alaman. Nasi Gudeg di (eks Gedung Bioskop) Permata. Oseng-oseng Mercon Pojok Beteng.

Suatu kali berkeliling seluruh sudut Jogja. Apa yang dicari saya tidak tahu. Saya agak lupa siapa saja yang ikut rombongan konvoi. Emha memakai mobil Corolla DX, sementara Arif kalau tidak salah mengendarai Datsun. Jalan Malioboro dan Ahmad Yani sudah dilalui. Belok ke kanan menyusuri jalan Ahmad Dahlan tembus menuju jalan Wirobrajan dan jalan HOS Tjokroaminoto. Sampai di perempatan Jetis bablas lagi entah melalui jalan apa saja. Dalam suasana agak kantuk terbaca jalan Sudirman, Gondokusuman, Solo, Lempuyangan. Malioboro lagi. Tiba-tiba berhenti di jalan KH Ahmad Dahlan. Lha jalan ini kan tadi sudah dilewati..

Emha dengan santai dan sabar mengikuti mobil yang di depan. Tentu saja supirnya Emha sendiri, karena tidak ada satupun penumpang yang bisa mengendarai mobil. Mobil di depan berhenti tepat di sebelah masjid. Tidak jauh dari toko Serbaguna dan toko Aroma. Ahai, buah durian. Ternyata yang diburu sejak tadi adalah pedagang durian. Masing-masing berhamburan keluar dan langsung memilih durian terbaik. Diciumi aromanya. Durian enaknya dimakan bukan diciumi.

Satu dua buah habis, pada buah ketiga beberapa orang tersadar. Kemana Emha? Ia menyingkir. Dengan rokok kreteknya nongkrong sendirian.

“Ayo Cak..!!” beberapa diantaranya menawarkan.

“Yo, teruske. Aku ngrokok sik.”

Saya mulai tidak enak. Saya ingat sesuatu. Ingat Emha. Ingat keluarga Jombang. Dan ingat buah durian.

Lalu saya mendekat.

“Piye iki Cak, kayaknya tidak ada yang tahu.”

“Wis, ora popo.”

Emha dan keluarga di Jombang tidak ada yang menyukai buah durian. Ini bukan soal pantangan atau apapun. Ini hanya soal selera. Sedari tadi Emha muter-muter mengantar kawan-kawannya mencari buah yang dia sendiri tidak menyukainya. Tak ada raut muka yang menunjukkan rasa kesal atau kecewa.

Soal selera makanan ini berbeda dengan anaknya, Sabrang. Juga isterinya, Novia Kolopaking. Mereka berdua sangat menyukai buah durian. Sabrang dibesarkan di Lampung, salah satu daerah penghasil buah durian.

Jika tiba musim durian, ibunya Sabrang sering mengirim buah ini ke Yogya satu karung. Berpestalah anak tiri dan ibu tiri satu karung durian. Bapaknya hanya melihat dari jauh sambil merokok dan ngopi.