Makan, Rek!

SERI PATANGPULUHAN EDISI 11

“Ayo rek, makan!”

Emha menyilakan kepada semua orang yang ada di ruang tengah; entah siapa saja. Para tamu, sangat terhormat jika disebut demikian; seniman-seniman, mahasiswa-mahasiswa berkantong pas-pasan dst. Pokoknya, orang-orang yang selalu betah berkunjung ke Patangpuluhan.

Emha mengawali menciduk secentong nasi, sayur brongkos, tempe goreng dan peyek kacang. Tidak banyak. Serba sedikit.

“Ayo, rek!”

Saya berusaha mengambil nasi dan lauk-pauk tidak lebih banyak dari porsi Emha, padahal bagi saya separo dari yang biasa saya santap. Emha menegur, seolah-olah paham monolog dalam hati dan pikiran saya.

“Aku sedikit makannya, ayo tambah lagi!”

Memang benar porsi makan Emha sedikit. Barangkali karena sudah terbisa “puasa.” Atau “terpaksa puasa” karena tidak banyak yang bisa dimakan.

Emha pernah bercerita kala menggelandang di Eropa (1984-1985) yang pertama-tama dibeli adalah sekantung beras dan beberapa botol kecap. Dengan persediaan beras dan kecap, persoalan perut sudah teratasi.

Dalam perjalanan Emha ke beberapa kota dan daerah memenuhi berbagai acara; Emha sempat mencirikan tentang ajakan beribadah dan makan. Di Bandung, Bogor atau Jawa Barat, misalnya; panitia-panitia, terutama mahasiswa yang “ghirrah” Islamnya sedang memuncak, menyambut kedatangan Emha (dari luar kota, dan pastinya lelah) dengan:

“Sudah salat, Cak? Itu tempat wudunya, musalla di pojok sana!”

Berbeda dengan di pelosok-pelosok Jawa Timur:

“Silakan, silakan. Ngopi dulu ya, makannya nanti, sedang disiapkan…”

Aha, jangan marah dulu. Pastinya tidak semua begitu.

Berbeda lagi kawan-kawan yang sudah “sukses” di kota. Ngobrol ngalor ngidul di cafe, menguak banyak hal dari Emha; giliran ada sodoran bill, ada lho yang berpura-pura sibuk telpon sana telpon sini entah kepada siapa.

Sekali lagi, tidak semua. Jadi jangan marah. Makanya, traktirlah sekali-kali Emha, kan sudah sukses.

Sore itu saya ikut satu mobil dengan Emha dan Toto Rahardjo melihat kawan-kawan teater sedang latihan di Gedung Senisono (sebelah Gedung Istana Agung, kini menjadi bagian dari Gedung Istana Agung); Emha selain penulis naskah juga sebagai supervisor.

Di tengah-tengah suasana latihan Emha mengajak Toto makan.

“To, cari makan yuk!”

“Wis, Cak, sampeyan wae kono!”

Sampai latihan usai Emha tidak beranjak ke warung makan. Sekian hari kemudian baru Emha bercerita bahwa saat itu seharian belum makan dan sama sekali tidak mempunyai uang, maka mengajak Toto agar Toto-lah yang membayarnya. Toto, meskipun pekerjaannya “tidak jelas” selalu saja menyimpan uang di dompetnya. Entah dari mana. Ternyata Toto sudah makan dan Emha, sebagaimana ‘adat’-nya, tidak akan berterus terang bahwa seharian belum makan dan minta ditraktir.

Nabi menganjurkan “berhenti makan sebelum kenyang” tepatnya untuk orang-orang yang makannya suka berlimpah. Emha sendiri lebih banyak “berhenti makan” dan akrab dengan rasa lapar. Bahkan ibunya Emha (alm. Halimah, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya) “membiarkan” Emha tidak berpuasa di bulan ramadan karena tiap hari adalah “puasa.” Puasa yang dimaksud ibunya bukan sekedar makan minum, namun puasa-puasa yang lain.

Di jaman orde baru misalnya, pernah ada utusan dari Jakarta yang memberitahukan bahwa Emha akan diangkat menjadi salah satu menteri muda; namun secara halus Emha menolaknya. Hal itu terulang lagi saat menjelang reformasi. Bersama Nurcholish Madjid, Utomo Danandjaya, Malik Fadjar dan beberapa yang lain dari 9 (sembilan) tokoh yang diundang Presiden Soeharto untuk memberi nasehat dan mendampingi pengunduran diri sebagai presiden; Emha berjanji tidak akan menjabat apapun dalam kementerian atau lembaga negara dalam pemerintahan reformasi. Jika kemudian ada satu atau dua orang (yang ikut bersumpah tidak akan ikut menjabat) kemudian akhirnya menerima jabatan sebagai menteri; Emha sangat menyesali.

Lain kesempatan, bakda magrib ada orang utusan Mensesneg menemui Emha.

“Pak Emha, ada titipan dari Pak Moer…!”

Amplop diterima Emha. Pak Moer yang dimaksud adalah Moerdiono, mensesneg di era Orde Baru.

“Pak Emha, kami mohon pamit!”

Setelah basa-basi mengantar tamu segera amplop dibuka, isinya lembaran uang dolar Amerika Serikat. Serta merta Emha memanggil kembali tamu utusan yang belum terlalu jauh.

“Maaf, Pak, amplop tolong kembalikan lagi kepada Pak Moer, sampaikan terima kasih!”

“Tapi, Pak…”

“Ya, bilang ke Pak Moer bahwa saya belum siap…!” 

“Belum siap” yang dimaksud adalah ajakan Pak Moer kepada Emha untuk berangkat haji. Lembaran dolar dalam amplop dimaksudkan untuk pendaftaran ONH. Berapa lembar? Emha mengaku tidak sempat menghitungnya.

Dalam obrolan lepas, Emha pernah bercerita ulang peristiwa tsb. Setelah Emha menyerahkan amplop, apakah benar-benar sampai ke tangan Pak Moer lagi atau tidak. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi; jika sampai ke tangan Pak Moer jangan-jangan sang utusan kena damprat karena missinya tidak berhasil. Daripada Pak Moer marah, ini kemungkinan kedua, amplop disimpan saja untuk diri sendiri. Berapa dolar? Pastilah seharga ONH Plus dan plus akomodasi, plus ini, plus itu. Wallahu a’lam.

Itu “puasa” yang dimaksud Ibu Halimah.

Eh, ngelantur, maaf. Makan dulu yuk!