Tagged Patangpuluhan

Kliping

Hampir semua media massa cetak; koran nasional dan majalah, bahkan terbitan berbagai daerah, memuat tulisan-tulisan Emha. Surabaya Post tiap hari Minggu, Jawa Pos tiap Senin. Kompas tentatif. Yogya Post tiap hari. Sinar Harapan (Suara Pembaruan), Republika, Tempo, Teras, Gatra, DETiK dst.

Kolom-kolom Tempo dikumpulkan lalu diedit Toto Rahardjo dan Doddy Ambardy menjadi buku “Slilit Sang Kiai.” Kolom “Jon Pakir” di Yogya Post dibukukan Mizan dengan judul yang sama. Kolom “Markesot Bertutur” di Surabaya Post menjadi buku “Markesot Bertutur” dan “Markesot Bertutur Lagi” juga diterbitkan Mizan. Majalah HumOr memuat kolom “Humor Ala Madura” menjadi buku “Foklor Madura.” Dan masih ada daftar panjang buku-buku lain dari tulisan-tulisan Emha yang diliping.

Lagi, Orang Gila

Dalam suatu acara di Jawa Timur, orang gila ini hadir dan tertawa terbahak-bahak merespons humor-humor yang disampaikan Emha. Saking kerasnya semua hadirin menengok ke arahnya. Semua melengos melihat penampilannya. Tanpa dinyana Emha memanggil untuk naik ke panggung. Sebagaimana biasa Emha mengajaknya untuk berbicara. Tentang apa saja. Dan Emha mengundangnya untuk datang ke Jogja.

Anehnya hampir tiap Emha beracara di Jawa Timur atau Jawa Tengah orang ini ada di antara jamaah. Dan Emha selalu menyapa setelah mendengar ketawanya yang keras dan khas itu. Beberapa kali bahkan sempat datang ke acara Kenduri Cinta di Jakarta saat-saat awal tahun pertama penyelenggaraan.

Orang Gila

Emha mengatakan bahwa memperhatikan dan memberi empati terhadap orang yang butuh perhatian saja enggan dan merasa jijik; maka jangan diharap mampu melayani masyarakat secara luas. Tugas pemimpin, ustadz atau kiai adalah melayani rakyatnya atau umatnya.

Tidak Kaya

Periode Patangpuluhan adalah saat-saat dimana Emha sangat produktif. Baik kolom, artikel lepas, wawancara atau cuplikan berita; hampir tiap hari muncul di media massa. Oleh karenanya, banyak buku-buku yang kemudian diterbitkan.

Buku-buku tersebut sebagian besar adalah kumpulan tulisan yang dimuat di media massa. Tidak banyak buku yang sengaja ditulis secara khusus –kecuali puisi atau prosa– misalnya Dari Pojok Sejarah atau Seribu Masjid Satu Jumlahnya.

Oseng-Oseng Vandel

Kebanyakan yang datang ke Patangpuluhan adalah anak-anak muda, lebih khusus lagi, bergender laki-laki. Anak-anak muda? Ya, anak-anak muda atau minimal semangat anak muda. Sebab disamping mahasiswa-mahasiswa, aktifis LSM yang kagum terhadap pemikiran-pemikiran Emha; juga kawan-kawan lama Emha. Untuk yang terakhir ini usianya terpaut tidak jauh dengan Emha atau malah lebih tua. Emha sendiri kala itu sekitar 37-40 tahun.

Sabrang

Dalam hal mendidik anak, barangkali Emha agak berbeda dengan kebanyakan orang tua. Emha lebih banyak berdialog, meskipun anaknya masih kecil. Ia mengenalkan ketuhanan dengan memaparkan tentang alam. Tentang malam berganti siang, gunung-gunung, awan yang menjadi hujan, jatuhnya dedaunan. Dan seterusnya.

Ini model didikan Emha yang lain. Pernahkah Anda jalan kaki untuk jarak 6 M (enam meter) ditempuh dalam 15 (lima belas) menit? Biasanya lomba jalan atau lari itu siapa yang paling cepat. Seratus meter ditempuh 10 detik. Cepat ‘kan? Tapi ini kebalikannya. Lambat sekali. Dan Emha menyuruh Sabrang untuk melakukan itu.

Teater Kehidupan

Ramadan pertengahan 1980-an Jamaah Shalahuddin mengadakan kegiatan Pesantren Seni yang melibatkan Emha Ainun Nadjib dan Agung Waskito untuk memberikan workshop teater.

Sanggar Shalahuddin inilah yang pertama kali mementaskan Syair karya Emha Ainun Nadjib “Lautan Jilbab” di Yogyakarta yang mendapat sambutan luar biasa dari audiens. Sebuah pentas yang bukan hanya dinikmati oleh kalangan teater saja, tapi juga merambah ke penikmat orang-orang awam terhadap seni teater yakni kalangan mahasiswa muslim.

Rumah Patangpuluhan

Untuk kalangan tertentu, Patangpuluhan identik dengan Emha Ainun Nadjib. Di kampung itulah Emha mengontrak sebuah rumah petak yang sangat murah.

Rumah yang sangat sederhana, bahkan kesannya kusam itu, bagai rumah singgah. Baik bagi keluarganya, kawan-kawan seniman, relasi-relasi dari luar daerah atau aktivis mahasiswa dan aktivis LSM. Rumah yang tidak pernah sepi, meskipun Emha sendiri sedang keluar kota.