Tidak Kaya

SERI PATANGPULUHAN EDISI 5

SEMUA TAHU, periode Patangpuluhan adalah saat-saat dimana Emha sangat produktif. Baik kolom, artikel lepas, wawancara atau cuplikan berita; hampir tiap hari muncul di media massa. Oleh karenanya, banyak buku-buku yang kemudian diterbitkan.

Buku-buku tersebut sebagian besar adalah kumpulan tulisan yang dimuat di media massa. Tidak banyak buku yang sengaja ditulis secara khusus –kecuali puisi atau prosa– misalnya Dari Pojok Sejarah atau Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Maka menjadi istimewa ketika Emha berniat menulis buku dengan serius: “Tafsir Liar.” Sebuah tafsir versi Emha tentang alam, gemericiknya air, jatuhnya daun. Ulasan atau tafsir-tafsir liar ini pada kemudian hari sangat sering ditulis atau diungkap dalam ceramah-ceramahnya. Gagasan ini sangat didukung oleh Mizan, sebagai penerbit. Bahkan secara rutin Mizan melalui Hernowo Taslim acap mengingatkan Emha untuk sedikit meluangkan waktu segera menulis. Namun sampai detik ini buku tersebut belum jadi. Barangkali Emha sendiri sudah melupakan gagasan itu.

Dengan tingkat produktifitas yang sangat tinggi bukan berarti Emha menjadi orang yang kaya raya. Banyak sekali yang harus ditanggung Emha. Satu misal, sekolah-sekolah di Menturo, Jombang, kampung kelahiran Emha; dari pembayaran gaji guru tiap bulan serta renovasi ruang-ruang kelas yang sudah lapuk. Emha menyanggupi untuk menanggung semua biaya, padahal itu tidak sedikit. Yang dilakukan Emha adalah mendatangi kantor sebuah koran dari Surabaya dan menandatangani kontrak kerjasama, lalu sekian puluh juta diserahkan ke sekolah, dan sekian bulan kedepan Emha berkewajiban menulis kolom. Kasus-kasus semacam ini tidak sedikit.

Harta kekayaan Emha saat itu, kalau boleh disebut, adalah mesin tik tua, yang sering juga saat-saat kepepet harus ‘disekolahkan’ (digadaikan). Ini harta yang tidak ternilai, sebagai cangkul bagi petani. Sementara kendaraan yang dipakai sebuah mobil sejenis Jeep tua. Emha sendiri saat itu belum bisa mengendarai. Untuk latihan dipandu oleh adik angkatnya. Ini agak unik, karena agak lama terampilnya, Emha berinisiatif latihan sendiri dengan cara memundurkan cepat-cepat mobilnya. Logikanya, ketika mahir menyetir mundur pada saatnya nanti di jalan raya menyetir secara normal pasti lancar. Ada-ada saja.

Emha adalah penikmat kopi dan rokok. Jangan harap bisa menulis jika dua benda itu tidak ada. Baginya hukumnya wajib. Sebab tanpa itu tidak bisa berbuat apa-apa. Ada satu jenis rokok kretek yang sangat dicintai, sampai-sampai produsen rokok itu tiap bulan mengirim secara rutin beberapa box. Bahkan secara sekilas muncul dalam tayangan iklannya. Tentu saja bukan dalam konteks profesionalisme sebagai bintang iklan.

Bertumpuk-tumpuk rokok itu dalam sekejap juga habis. Bukan tipe Emha kalau berpikiran bahwa rokok itu hanya dinikmati sendiri. Untuk mahasiswa-mahasiswa yang sedang demo, tak jarang melalui saya dikirim satu box. Untuk teman-teman yang sedang latihan teater atau untuk tamu-tamu yang silih berganti berdatangan.

Ketika masih SMA Emha pernah diserahi tugas oleh Koran Masa Kini untuk mengasuh rubrik budaya. Maka tidak heran pada suatu waktu berikutnya Emha menyanggupi untuk menata secara redaksional Koran Bernas (manajemen baru) bersama dengan Butet Kertarajasa dan Indro Tranggono. Ini saat dimana Emha menjadi orang kantoran, tiap pagi berangkat kerja dan siang harinya pulang. Karena ada sesuatu hal, Emha mengundurkan diri. Kurang lebih bertahan selama tiga atau enam bulan.

Saya sendiri, sebagai mahasiswa, diam-diam tetap mengikuti ujian-ujian. Secara diam-diam pula akhirnya ikut wisuda. Berita ini bocor dan sampai ke telinga Emha: “Wah, sudah sarjana ya….!!!” Saya risih, saya tidak ada apa-apanya dibanding Emha.