Sabrang

SERI PATANGPULUHAN EDISI 3

EMHA AINUN NADJIB sangat mencintai anak semata wayangnya: Sabrang Mowo Damar Panuluh. Saat itu Sabrang sudah kelas 6 SD Negeri di Kota Metro, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung (kini Kotamadya Metro, Lampung Timur) mengikuti ibunya Neneng Suryaningsih, yang sudah berpisah dengan Emha. Hubungan dan komunikasi Emha dengan keluarga di Metro sangatlah baik.

Hampir setiap bulan Emha ditemani sahabatnya dari Jakarta, seorang wartawan, Uki Bayu Sedjati, belanja buku-buku untuk dipaketkan ke Metro. Untuk ukuran seusia anak SD, jangan Anda bayangkan Emha mengirim buku-buku pelajaran sekolah atau komik-komik Jepang. Emha memilihkan buku-buku ‘berat’ semisal buku karya Buya Hamka: Sufi Modern, Tafsir Al-Azhar dan buku sastra sekelas karangan Mochtar Lubis.

Setumpuk buku-buku itu dalam waktu kurang dari sebulan, sudah habis dilahapnya. Emha sendiri kadang heran dan mengabarkan kepada Uki.

“Ini dibaca atau dibakar sih?”

Pada dasarnya Sabrang sendiri gelisah jika sudah tidak ada buku lagi yang belum dibaca. Ia tidak bisa diam. Maka dicarilah buku-buku novel silat karya Bastian Tito, serial Wiro Sableng, tiap edisi terbaru buru-buru dibelinya.

Sabrang kecil ternyata punya pikiran cerdik. Buku-buku yang menumpuk yang sudah habis dibacanya, ditata rapi dan disewakan kepada teman sebayanya dengan tarif seratus rupiah. Sudah bisa diduga, kenyataannya seringkali teman-temannya tidak mau membayarnya. Ia sendiri tidak tega menagihnya.

Suatu hari saya disuruh Emha untuk mencari guru mengaji. Saya kunjungi Yayasan Tunas Melati, pimpinan Bapak Suroyo MA (alm), mencari seorang ustadz yang cocok dan mau untuk diajak ke luar Jawa, ke Kota Metro. Lalu guru ngaji itu saya antar sampai ke tujuan untuk jangka waktu tiga bulan. Waduh, maaf, nama guru ngaji yang asalnya dari Kebumen itu, saya lupa namanya. (Semoga Allah selalu meberkahi).

Tiap malam Sabrang bersama beberapa kawannya ngaji dipandu seorang guru yang sengaja didatangkan oleh bapaknya sendiri Emha Ainun Nadjib.

Dalam hal mendidik anak, barangkali Emha agak berbeda dengan kebanyakan orang tua. Emha lebih banyak berdialog, meskipun anaknya masih kecil. Ia mengenalkan ketuhanan dengan memaparkan tentang alam. Tentang malam berganti siang, gunung-gunung, awan yang menjadi hujan, jatuhnya dedaunan. Dan seterusnya.

Ini model didikan Emha yang lain. Pernahkah Anda jalan kaki untuk jarak 6 M (enam meter) ditempuh dalam 15 (lima belas) menit? Biasanya lomba jalan atau lari itu siapa yang paling cepat. Seratus meter ditempuh 10 detik. Cepat ‘kan? Tapi ini kebalikannya. Lambat sekali. Dan Emha menyuruh Sabrang untuk melakukan itu. Ini gila. Saudara-saudaranya di Metro terheran-heran, lomba apaan itu. Gilanya, Sabrang ya mau. Dan bisa menempuh jalan yang amat lambat untuk jarak 6 meter dalam waktu 15 menit. Dan berhasil. Emha sangat terharu dan merangkulnya.

Ternyata ini adalah uji kesabaran. Hasilnya adalah kelak. Sabrang bukan termasuk orang yang menggebu-gebu. Kadang tanpa ekspresi. Kesannya dingin. Sedih atau bahagia tidak tampak. Emha sendiri kadang bingung menafsirkan.

“Yo opo anakku iki, berpisah gak mau salaman….”

Ini terjadi di Bandara Soekarno Hatta ketika Sabrang pertama kali mau berangkat kuliah ke Kanada. Dengan ibu tirinya, Novia Kolopaking, yang Sabrang memanggilnya “Mbak Yah” justru berangkulan.
Emha sangat disiplin dalam setiap hal. Jika malam tiba, sebagian penghuni Patangpuluhan terlelap, ia mengunci pintu sendiri dan mematikan lampu-lampu yang tidak perlu. Pagi hari ia akan mencuci mobil sendiri. Ingat, di Patangpuluhan banyak sekali orang-orang yang dengan senang hati akan membantu, tapi ia tidak pernah memberi perintah.

Setiap liburan sekolah Sabrang ke Yogyakarta diantar oleh tantenya: Sari dan Agus Murtopo, yang sedang kuliah di Yogya. Tidak jarang saya harus menemani Sabrang jalan-jalan keliling Yogya. Saat itu Sabrang sudah di bangku SMP. Ia memang sangat jail. Usilan. Malam hari, tiba-tiba sengaja menghilang diantara gerbong-gerbong kereta api di Stasiun Tugu. Dia sengaja ngumpet, melihat saya yang kebingungan mencari kesana kemari. Perasaan saya teraduk-aduk, anak orang hilang, anaknya Emha lagi. Asem betul Sabrang.

Berjam-jam baru muncul. Dengan senyum yang jelek itu memburu saya. Saya tuntun kencang-kencang menuju arah Lesehan Malioboro, disana Emha, Arief Affandi dan yang lain-lain sedang nongkrong, kumpul-kumpul di depan kantor Biro Jawa Pos Yogya.

Di tempat lesehan inilah sering berkumpul tokoh-tokoh (kelak jadi) penting. Ashadi Siregar, Djadug Ferianto, Doddy Ambari, Arief Affandi, Yusuf Arifin “Dalipin”, Whani Darmawan, Butet, Umar Kayam, Yahya Staquf, Najib Azca, Rizal Mallarangeng, Erros Djarot, Indra Tranggono, Simon Hate.