Jejak Emha Ainun Nadjib di Tanah Mandar

artikel Pernah Dimuat di Majalah Sastra Sabana, Yogyakarta, 2015 

TAHUN 1983, di Kampung Tinambung, terdapat puluhan anak muda yang setiap malam mangkal dan bernyanyi-nyanyi di pinggir jalan, liar dan suka mabuk-mabukkan, anak muda yang tidak mampu mengakses bangku persekolahan dan perkuliahan.

Berkat kerja keras Alisjahbana, anak-anak muda itu dihimpun dalam sebuah komunitas yang diarahkan sebagai wahana pembinaan pengembangan seni budaya. Nama komunitas itu adalah Teater Flamboyant. Tidak jelas benar, kenapa komunitas itu lalu bernama Flamboyant. Prinsipnya tercipta sebuah wadah yang dapat menghimpun anak-anak muda yang tidak ‘bersekolah’ itu, agar hidupnya bisa terarah dan mempunyai prospek dalam hidupnya ke depan. Alisjahbana, orang Mandar, Alumni APMD Yogayakarta, yang lalu pulang ke kampungnya mengabdi sebagai PNS. Hampir setiap malam Alisjahbana mendatangi kelompok anak-anak muda itu. Menemaninya begadang sepanjang malam. Berdiskusi dan bernyanyi, menjadi rutinitas setiap malam Alisjahbana bersama anak-anak muda itu. Berjalan beberapa tahun, selama Alisjahbana bekerja di kampungnya. Karena pada akhirnya ia pindah tugas dan kembali ke Yogyakarta. Secara pelan dan bertahap anak-anak muda liar dan suka mabuk-mabukkan itu, bisa terkendali. Alisjahbana lalu mencipta banyak puisi, untuk kemudian dimusikalisasikan melibatkan anak-anak muda asuhannya. Melalui itu, Alisjahbana bisa memasuki ruang gelisah anak-anaknya, dan membangun mimpi-mimpi di tengah mereka.

Dalam perjalanannya, anak-anak muda yang berhimpun di Teater Flamboyant yang awalnya dicap sebagai penganut ‘kejawen’, karena pada pertunjukkannya yang pertama kali mereka menggunakan dupa di atas panggung sebagai properti, semakin menunjukkan tanda-tanda bergerak ke arah yang positif. Cap orang ‘kejawen’ tak menyurutkan semangat mereka untuk berkarya. Semangat untuk maju malah makin digelorakan melalui mimpi-mimpi ke depan.

Salah satu cara Alisjahbana membangun mimpi anak-anak asuhannya, mengenalkan beberapa orang pintarnya Indonesia ke meraka. Salah satunya adalah Emha Ainun Nadjib. Setiap tulisan Emha Ainun Nadjib yang terbit di Majalah Panjimas dan Tempo, difotokopi sebanyak mungkin kemudian dibagikan kepada anak-anaknya, lalu malamnya tulisan itu didiskusikan sampai suntuk. Diam-diam tumbuh rasa cinta anak-anak muda itu ke Emha Ainun Nadjib. Tidak satupun tulisannya yang dilewatkan, yang ada di sejumlah media. Diam-diam pula ada desakan dari hati setiap individu anak-anak muda itu hendak bertemu langsung dengan Emha Ainun Nadjib, sosok yang mulai dirindukan dalam waktu relatif lama, sekira empat tahun.

Tahun 1987, melalui kerja urunan, akhirnya terkumpul dana yang cukup sekedar untuk menerbangkan Emha Ainun Nadjib dari tanah Jawa ke Mandar. Maksud itupun disampaikan ke Emha melalui Alisjahbana. “Emha bersedia datang”, begitu jawaban Alisjahbana. Dibentuklah panitia kecil untuk mengurusi kedatangan Emha Ainun Nadjib ke Mandar. Disamping itu sebahagian yang lain mulai aktif latihan musik, yang akan dipertunjukkan ke khalayak bersama Emha Ainun Nadjib.

Tiba pada waktu yang ditentukan, Emha Ainun Nadjib bergerak dari Jawa ke Mandar melalui Makassar. Dari Makassar Emha mengendarai bus menuju Mandar. Saat tiba di depan rumah yang dijadikan sebagai sekretariat panitia sekaligus menjadi tempat hunian Emha saat berada di Mandar, ia disambut dengan penuh kegembiraan. “Emha datang!”, beberapa dari anak-anak Muda Flamboyant berteriak-teriak. Mereka berdiri di sepanjang jalan dalam jejeran panjang. Bagai prajurit yang menantikan datangnya panglima yang dihormatinya. Setelah turun dari bus yang ditumpanginya, berdesak-desakkan orang-orang mendatanginya, memeluknya dan menciumi tangannya. Lucunya, beberapa orang yang tidak mengenali sebelumnya, menganggap bahwa sosok Emha Ainun Nadjib, adalah sosok kiyai, seorang tua yang mengenakan gamis dan surban. Tapi saat turun dari bus, ia mengenakan jaket kulit dan berambut gondrong serta melangkah dengan gagah, pupuslah bayangan awal itu. Ternyata Emha seorang muda, jauh dari sosok seorang kiyai.

Selama di Mandar, Emha Ainun Nadjib melakukan aktifitas. Memimpin langsung workshop, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam. Disamping itu Emha Ainun Nadjib harus rela menerima daulat masyarakat Mandar, khususnya kaum ibu, yang beramai-ramai dating membawa sebotol dua botol air mineral, meminta keberkatan dari doa-doanya. Ada beragam topik masalah yang diajukan mereka ke Cak Nun; penyembuhan, pengasihan, dan soal rejeki.

Kehadiran Emha Ainun Nadjib di Mandar –disadari atau tidak– berperan mendinamisasi proses berpikir kirtis dan proses kreatif masyarakat Mandar dalam semua aspek kehidupan, yah politik, ekonomi, sosial budaya dan tentunya dalam hal agama dan keberagamaan. Pada kunjungan yang kedua ke tanah Mandar, Cak Nun orang-orang Mandar, untuk senantiasa waspada. Sebab relatif tidak terlalu lama mendatang perubahan demi perubahan akan berlangsung pula di Mandar. Jembatan sudah mulai dibangun. jalan-jalan akan makin diperlebar. Tidak lama lagi mobil ukuran raksasa akan melintas, mengantar pulaukan aneka produk pertanian di Mandar. Fakta itulah yang terjadi sekarang.

Pada lingkup pengembangan seni budaya, peran Emha Ainun Nadjib memberi support yang cukup signifikan. Komunitas kesenian bertumbuh dan berkembang. Teater Flamboyant, yang pada awalnya menjadi hunian anak-anak muda tanggung, suka mabuk-mabukkan, anak-anak muda yang tidak terdidik, merupakan komunitas Mandar pertama yang disentuh. Keberpihakannya terhadap proses pengembangan seni budaya Mandar terwujud dalam bentuk upaya fasilitasi pelaku seni budaya Mandar untuk bisa tampil di tanah Jawa. Maestro Rebana Perempuan, Bu Cammana, yang diundang khusus untuk tampil di Yogya.

SAYA ORANG MANDAR YANG LAHIR DI JOMBANG

DALAM BERBAGAI kesempatan, entah di Mandar dan diluar Mandar, seringkali Emha Ainun Nadjib mendeklarasikan dirinya sebagai orang Mandar. “Saya orang Mandar yang lahir di Jombang”. Ungkapan ini cukup membanggakan pihak orang-orang Mandar. Dan dengan pernyataan itu pula para tokoh dan sepuh orang Mandar meresponnya dengan penuh keikhlasan. Taruhlah misalnya Husni Djamaluddin (penyair), Baharuddin Lopa (Dirjen LP & Sekjen Komnas HAM era Orde Baru), Andi Mappatunru Sompawali (tokoh Adat, Mantan Anggota DPR), S. Mengga (Mantan Bupati Polewali Mamasa), dan sejumlah tokoh lainnya. Tentu pernyataan itu tidak sepihak. Sebab Emha Ainun Nadjib kemudian didaulat menjadi orang Mandar oleh tokoh-tokoh masyarakat Mandar yang berhimpun di Yayasan Sipamandar. Dalam momentum halal bi halal di tahun 1999, Emha Ainun Nadjib disemati peniti emas, sebagai penanda bahwa Emha Ainun Nadjib adalah warga Mandar kehormatan atas upayanya mengenalkan Mandar ke Indonesia, melalui tulisan-tulisannya.

Tahun 1997, Teater Flamboyant Mandar menghelat seminar bertajuk “Kebebasan Berekspresi, Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia”. Pembicara utama dalam seminar ini adalah Baharuddin Lopa yang disandingkan dengan Emha Ainun Nadjib. Ketika itu Emha sedang dicekal di beberapa tempat, tidak diperkenankan bicara di depan orang banyak.

Tiba saatnya, untuk tampil, tiba-tiba aparat kepolisian dipimpin Wakapolres Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar) saat itu bersikeras tidak memperkenankan Emha Ainun Nadjib berbicara. Tentu, panitia kasak-kusuk, termasuk Barlop, pak Husni Djamaluddin dan Andi Mappatunru. Alhasil, terbangun kesepakatan antara panitia dengan tokoh-tokoh masyarakat Mandar, bahwa Emha Ainun Nadjib, tetap hadir di arena seminar tapi tidak tampil bicara. Lalu kemudian, pasca seminar diskusi dengan Emha Ainun Nadjib digelar di tempat lain. Pilihan tempat saat itu adalah di rumah Andi Mappatunru, sepuh Masyarakat Mandar. Usai seminar Baharuddin Lopa, Emha Ainun Nadjib, Husni Djamaluddin, Zubair Rukkawali, Alisjahbana, bersama puluhan anak muda bergerak rumah Andi Mappatunru di Kandeapi, sekitar 600 meter dari lokasi seminar.

Diskusipun digelar. Husni Djamaluddin bertindak selaku moderator memberi kesempatan kepada Emha Ainun Nadjib untuk bicara. Emha lalu menggambarkan situasi politik nasional saat itu, juga menceritakan perihal pencekalan dirinya, yang menurutnya itu takhyul. Dalam kesempatan itu, Cak Nun, didepan Baharuddin Lopa, mengajak hadirin untuk mendoakan agar kelak Baharuddin Lopa bisa memimpin Indonesia, minimal jadi Menteri. Dan kepada Baharuddin Lopa Cak Nun menyematkan gelar “Ayatullah Baharuddin Lopa”.

Beberapa tahun kemudian Baharuddin Lopa, memang menjadi menteri kehakiman, entah karena doa bersama di rumah A. Mappatunru beberapa tahun silam, yang diijabah oleh Tuhan, atau memang sudah ‘nasib’ bagi Barlop untuk menjadi menteri, karena konon menurut Husni Djamaluddin, penguasa orde baru pernah menawarkan jabatan mentri kepada Barlop asal ia mau mengakui keberhasilan penguasa orde baru dan mengungkapkannya ke publik, meski pada akhirnya Barlop tak tergiur bujukan itu.

TIDAK ADA KATA TIDAK BAGI ORANG MANDAR

DALAM BERBAGAI hal orang Mandar seringkali melibatkan Emha Ainun Nadjb. Misalnya, ketika terjadi pergantian kepemimpinan di Kanwil Agama Provinsi Sulawesi Selatan. Salah satu calonnya adalah orang Mandar. Terhadap calon dari Mandar ini banyak mendapatkan penolakan dari elit Sulawesi Selatan saat itu. Segala cara diupayakan oleh tokoh-tokoh Mandar, untuk menggolkan calon tersebut. Nyaris tidak membuahkan hasil. Lalu ada beberapa pihak dari Teater Flamboyant, dan ada satu dua tokoh masyarakat Mandar, menyarankan untuk melibatkan Emha Ainun Nadjib. Saat maksud itu disampaikan kepadanya, tanpa berpikir panjang, Emha Ainun Nadjib mau terlibat dan langsung menulis surat yang ditujukan ke Menteri Agama, yang saat itu dijabat oleh Malik Fajar. Demikian pula, saat terjadi suksesi kepemimpinan di Kabupaten Polewali Mamasa. Tiga tokoh sepuh Mandar, H. Abd. Malik Pattana Endeng, Abdullah Madjid (Mantan Bupati), dan S. Mengga (Mantan Bupati), bersepakat untuk mendorong calon dari sipil menjadi Bupati Polewali Mamasa. Emha Ainun Nadjib-pun rela menemani mereka untuk menghadap ke Agum Gumelar, Panglima Kodam VII Wirabuwana. Kedekatan Agum Gumelar dengan Emha Ainun Nadjib dibaca menjadi alasan pelibatan dirinya dalam urusan ini. Dan darimana orang Mandar tahu bahwa Agum dan Emha dekat? Karena Emha pernah menulis di media yang mengapresiasi Agum Gumelar.

Pasca reformasi, dan kran pembentukan daerah otonomi baru (DOB), orang-orang Mandar pun mulai bergerak, berjuang untuk membentuk sebuah provinsi Sulawesi Barat. Emha Ainun Nadjib, yang diyakini ‘didengar’ oleh orang pusat pun dilibatkan. Ia dinobatkan menjadi tim penasehat bersama sepuh Mandar lainnya. Tatkala Gus Dur yang menjadi presiden, Emha Ainun Nadjib memediasi pertemuan pejuang pembentukan Sulawesi Barat, dengan Gus Dur. Makin yakinlah orang-orang Mandar bahwa perjuangan pembentukan Sulawesi Barat yang sudah digelorakan akan mewujudkan hasil. Akhirya September 2004, Provinsi Sulawesi Barat bisa terwujud.

Pertanyaannya adalah kenapa sepertinya Emha Ainun Nadjib, tidak mengenali kata ‘Tidak’ bagi orang Mandar? Bahkan dalam berbagai kesempatan ia menyatakan bahwa kala berada di Mandar, dirinya adalah ‘mayat’, yang rela dibawa kemana saja. Inilah yang sampai sekarang menjadi pertanyaan besar baik di internal Mandar maupun luar Mandar.

Nurdin Hamma (76), Pimpinan Muhammadiyah Cabang Balanipa, salah seorang sepuh, seorang tokoh Mandar juga sungguh kagum ke Emha Ainun Nadjib. Coba mengurai jawaban atas atas pertanyaan itu. Dalam pandangannya, Emha Ainun Nadjib adalah guru Bangsa yang ril. Hampir seluruh wilayah Indonesia didatanginya, semata untuk mendidik manusia. “Emha Ainun Nadjib adalah orang Mandar yang kebetulan lahir di Jombang, kedatangnnya di Mandar lebih merupakan upaya menapaktilasi perjalanan sejarah panjang Indonesia. Hal itu mungkin dianggapnya penting, untuk mematrikan pada dirinya bahwa Indonesia ada dimana-mana di Nusantara ini, tanahnya luas dan subur namun rakyatnya bak penumpang yang ketinggalan kereta”. Ungkap Nurdin Hamma. Lebih lanjut Nurdin Hamma memaparkan bahwa hakikatnya Emha Ainun Nadjib, adalah seorang super leader. Ciri pemimpin super leader, adalah senantiasa menciptakan pemimpin-pemimpin baru, dan tidak pernah berharap sesuatu dari pemimpin-pemimpin yang ia ciptakan. Ia begitu ikhlas melakukan itu.

Sekarang, mereka yang dulu, sekira 30an tahun lalu, hidupnya liar, mabuk-mabukkan dan sepanjang malam bernyanyi-nyanyi di pinggiran jalan kini sudah memasuki usia yang matang, menuju setengah abad. Profesi mereka beragam, pedagang, Guru, PNS, tukang ojek, dan sebahagian kecil bergabung ke partai menjadi politisi. Mereka sudah beranak pinak, dan sebahagian dari mereka sudah ada yang anaknya sarjana. Mereka tetap saja hormat dan taqzim kepada Emha Ainun Nadjib. Sekarang mereka jarang menyebutnya Emha Ainun Nadjib. Mereka menyebutnya Cak Nun. “Cak Nun, adalah guru, kakak dan sahabat yang setia menjadi ‘keranjang sampah’ dari keluh-kesah kami. Segala sesuatu urusan kami selalu disandarkan kepada apa wejangan Cak Nun. Untuk memberi nama putra atau putrinya yang baru lahir, mintanya pun ke Cak Nun.

“Beliau adalah bagian dari hidup kami”.

“Apa yang dulu diajarkan oleh Cak Nun kepada kami menjadi spirit kami dalam menjalani hidup. Kami bersyukur karena Cak Nun berkenan mengarahkan kami menjadi orang baik, itu cukup bagi kami. Tentu penilaian ini sifatnya subyektif, tapi setidaknya kami bangga hidup dengan apa adanya. Kami bisa hidup dengan tanpa mengganggu orang lain, tanpa merampas hak orang lain”.

“Kami sungguh cinta kepada Cak Nun, dan kecintaan itupun kami wariskan kepada anak-anak kami”.

Tinambung, 4 Mei 2015
Lingkar Maiyah Papperandang Ate
Teater Flamboyant Mandar