Lagi, Orang Gila

SERI PATANGPULUHAN EDISI 7

BEDA LAGI dengan orang gila yang satu ini. Ijinkan saya memberi tanda petik untuk kata “Gila.”

Dengan pakaian lusuh, celana sobek pas di pantatnya, siapa yang tidak mengangap bahwa orang ini tidak gila. Jika omong-omong sih kadang ‘nyambung’ juga.

Entah siapa namanya, datang jauh-jauh dari Kediri ke Patangpuluhan mau memenuhi “undangan” dari Emha. Dalam suatu acara di Jawa Timur, orang gila ini hadir dan tertawa terbahak-bahak merespons humor-humor yang disampaikan Emha. Saking kerasnya semua hadirin menengok ke arahnya. Semua melengos melihat penampilannya.

“Dasar orang gila!” barangkali suara batin orang-orang.

Tanpa dinyana Emha memanggil untuk naik ke panggung. Sebagaimana biasa Emha mengajaknya untuk berbicara. Tentang apa saja. Dan Emha mengundangnya untuk datang ke Jogja.

Anehnya hampir tiap Emha beracara di Jawa Timur atau Jawa Tengah orang ini ada di antara jamaah. Dan Emha selalu menyapa setelah mendengar ketawanya yang keras dan khas itu.

Beberapa kali bahkan sempat datang ke acara Kenduri Cinta di Jakarta saat-saat awal tahun pertama penyelenggaraan. Entah bagaimana kabarnya sekarang.

Biasanya sore-sore sudah nongol di teras rumah.

“Kapan datang?”

“Tadi pagi numpak sepur, soko stasiun jalan, hahaha…”

“Kereta apa?”

“Kereta Barang haha…”

Diam. Jeda sejenak, lalu:

“Haha… kalau diusir ya turun, nunggu kereta berikutnya!”

Selalu tertawa. Tidak beraturan. Di awal pembicaraan, di tengah atau di akhir.

Karena saking seringnya datang ke rumah Patangpuluhan, bertemu atau tidak dengan Emha sudah tidak menjadi masalah. Ada ‘peraturan’ yang selalu disampaikan kepada para tamu, bahwa kewajiban tuan rumah melayani tamu hanya sehari; hari berikutnya anggaplah di rumah sendiri. Makan minum mengambil sendiri.

“Mandi, mandi, sana. Bau tuh badannya!”

Jawabannya hanya tertawa. Saya siapkan baju dan celana bersih yang masih layak. Baju celana Emha yang sudah jarang dipakai, atau milik siapa sajalah yang ada.

“Nah ngganteng kan?” saya menggoda.

“Hahaha…”

Pagi esoknya setelah sarapan pamit pulang. Dengan pakaian yang rapi, tak akan ada orang yang menganggapnya gila.

Eh, di sore hari, tiba-tiba saya dikejutkan suara tawa dari arah teras. Asem, saya mengumpat. Orang gila datang lagi.

“Lho bajumu mana?”

“Hahaha saya jual…!”

Dasar gila.

Baju bersih, celana rapi sudah dijual. Pakaian lusuh, sobek sana sobek sini kembali dikenakan sebagai uniform orang gila.