Kliping

seri patangpuluhan edisi 8

SEPERTI BIASA pagi itu saya bangun pagi. Di depan rumah, jalan Madubronto, orang-orang hilir mudik ke pasar. Pasar Legi hanya seratusan meter arah timur dari rumah kontrakan yang saya tumpangi. Ya, menumpang di rumah kontrakan Patangpuluhan.

Rumah kontrakan tidak terlalu besar namun terasa lega. Ruang depan, ruang tengah, dua kamar tidur dan dapur. Gang sebelah kanan rumah menuju rumah-rumah kost pelajar atau mahasiswa yang berada di belakang. Sebelah kanan tanah kosong yang langsung tembus ke pasar. Tanah kosong dijadikan tempat parkir sepeda dan sepeda motor orang-orang yang ke pasar.

Kamar Emha masih tertutup rapat. Kamar sebelahnya, yang ditempati dua orang wanita adik Emha, sudah sejak pagi terbuka dan tampak rapi. O ya, saya sendiri biasa “ndlosor” di sofa ruang tengah atau di dipan yang berada di ruang depan. Yang namanya istirahat, jika sudah lelah dan ngantuk, kata Emha suatu hari, adalah memejamkan mata dan hanya butuh tempat yang cukup bagi sekujur tubuh. Dan bisa dilakukan bukan hanya berbaring tapi bisa juga dengan duduk. Hutang tidur tiga hari misalnya, membayarnya tidak harus terus menerus tiga hari kan? Secukupnya, bisa delapan jam (sebagaimana bayi) atau lima jam, bahkan ada yang cukup dua jam saja.

Air sudah dijerang. Seduhan teh sudah dipersiapkan. Saya sendiri meracik kopi untuk menemani sebatang dua batang rokok. Cakrukan pagi-pagi di teras rumah adalah seremoni rutin. Koran-koran pagi berbagai terbitan sudah menumpuk di meja teras. Mungkin saja ada kolom-kolom Emha yang perlu ditandai untuk sorenya digunting dan dikliping.

Hampir semua media massa cetak; koran nasional dan majalah, bahkan terbitan berbagai daerah, memuat tulisan-tulisan Emha. Surabaya Post tiap hari Minggu, Jawa Pos tiap Senin. Kompas tentatif. Yogya Post tiap hari. Sinar Harapan (Suara Pembaruan), Republika, Tempo, Teras, Gatra, DETiK dst.

Kolom-kolom Tempo dikumpulkan lalu diedit Toto Rahardjo dan Doddy Ambardy menjadi buku “Slilit Sang Kiai.” Kolom “Jon Pakir” di Yogya Post dibukukan Mizan dengan judul yang sama. Kolom “Markesot Bertutur” di Surabaya Post menjadi buku “Markesot Bertutur” dan “Markesot Bertutur Lagi” juga diterbitkan Mizan. Majalah HumOr memuat kolom “Humor Ala Madura” menjadi buku “Foklor Madura.” Dan masih ada daftar panjang buku-buku lain dari tulisan-tulisan Emha yang dikliping.

Emha melongok ke teras. Berkain sarung dan berkaos putih khas. Bukan kaos oblong biasa, tapi kaos yang biasa dipakai Bruce Lee atau pemain-pemain silat dari Cina. Kaos oblong yang ada tiga atau empat kancingnya. Sambil tangannya menyisir rambut melangkah ke teras.

“Kopi atau teh, Cak?” sambutku.

“Kopi!”

Saya ke belakang memanaskan lagi air yang tadi pagi dijerang. Peminum kopi sejati (atau teh) pantang meminum racikan yang airnya berasal dari termos. Dari pintu dapur terlihat kedua adik Emha sedang mencuci baju dan asah-asah di pinggir mulut sumur. Satu sumur di belakang rumah dipergunakan juga oleh tetangga. Yang membedakan hanya “colokan” listriknya. Sumur dan pompa airnya satu.

“Rokok ada, Cak?”

“Ya tinggal satu, tolong ya. Sekalian kamu..!”

Rokok Emha dengan saya berbeda merk. Jika kehabisan rokok, justru saya yang sering nunut rokok. Emha sendiri agak fanatik terhadap rokok. Maka, pasti akan menolak jika ditawari rokok berfilter, kecuali rokok putih. Ada tiga jenis (merk) rokok ketek yang dinikmati Emha. Pertama; rokok warna coklat isi 10 batang, yang bahkan pemiliknya kenal baik sehingga tiap bulan dijatah gratis beberapa box. Sampai-sampai Emha sempat jadi extras dalam salah satu iklannya. Tentu saja dengan teknik shoot yang tidak kentara bahwa itu Emha, karena hanya kelihatan punggungya dan gambar diburamkan. Yang kedua rokok berwarna kuning, yang bisa dijumpai sampai hari-hari ini. Awalnya rokok ini hanya selingan dari rutinitas rokok coklat. Gara-gara pabrik rokok coklat tidak memproduksi lagi isi 10 batang lalu Emha beralih ke rokok kuning. Rasanya beda, kata Emha. Entahlah, bisa jadi hanya sugesti. Yang terakhir adalah rokok merah. Rokok darurat. Misalnya usai makan di warung kehabisan rokok. Kawan-kawannya atau di warung tidak ada kedua merk rokok tersebut di atas, maka kepada pemilik warung Emha beli ngeteng sebatang rokok merah.