Ditagih Tulisan

SERI PATANGPULUHAN EDISI 10

MUSIM KEMARAU. Minggu sore sangat cerah. Tapi berdebu. Halaman tanah liat dan pot-pot bunga, juga rumput-rumput liar, meranggas. Sebulan belum tersiram air hujan.

“Hai, Mas!” tetangga depan rumah mengagetkan.

“Ya, kemana?”

“Biasa, jadwal tambahan, ada kuliah malam!”

Belum habis sebatang rokokan, deru motor memaksaku menengok.

“Ngopo, To?” sapaku pura-pura bego.

Anto, seksi sibuk Biro Jawa Pos Yogya, drop out-an SMA, menagih tulisan Emha untuk dimuat Senin besok. (Kelak Anto menjadi wartawan sungguhan di Tabloid DeTIK dan Majalah Berita di Jakarta).

“Kopinya dong, Mas!” tanpa menjawab pertanyaanku Anto menodong kopi.

“Sik yo, tek tengok sebentar,” jawabku juga beda, bukan soal kopi. Maksudnya, menengok Emha di kamar.

Lampu-lampu di ruangan belum dinyalakan, remang. Kamar Emha masih tertutup rapat. Bersijingkrak saya geser pintu dengan amat pelan. Di dalam gelap. Sedikit cahaya dari lubang angin memandu mataku mengarah ke tempat tidur. Kelihatannya Emha masih lelap. Pintu saya tutup kembali. Ternyata, belum menutup benar ada pertanyaan dari dalam.

“Ngopo?”

“Anto, Cak, Jawa Pos!”

“Bengi wae, nanti ke Malioboro.”

“Ya, Cak!”

Kantor biro Jawa Pos terletak di jalan Malioboro ujung jalan sebelah utara. Tepat seberang Hotel Garuda. Tiga atau empat ruko sebelah utaranya mulut jalan Pasar Kembang. Trotoar kiri kanan sepanjang jalan Malioboro, dari utara sampai ke selatan dijadikan tempat jualan kaki lima sejak pagi sampai menjelang toko-toko tutup. Malam hari berganti penjual makanan dan minuman dengan duduk lesehan di tikar-tikar. Nasi gudeg, ayam goreng, burung dara dst. Jangan mencari “nasi kucing” di sepanjang Malioboro. Untuk kantong mahasiswa atau orang-orang berkantong ngepas, bukan di Malioboro tempatnya.

Jam menunjuk angka sembilan malam. Beberapa kawan, entah mahasiswa atau seniman bahkan pengangguran berdatangan di rumah kontrakan Emha di Patangpuluhan.

“Yuk, Rek, ke Malioboro!”

Berdesakkan enam orang naik Mobil sedan Mitsubushi Gallant warna biru telor milik Emha. Lainnya lagi tiga atau empat orang berboncengan naik motor.

Emha adalah driver yang baik. Cara menjalankannya sangat halus. Maka agak rewel jika naik mobil sopirnya agak sembrono, tergesa atau tergagap tidak mengerti jalan.

“Ayo, rek, makan-makan, pesan!” kata Emha sesampainya di kantor Jawa Pos.

Beberapa orang langsung memilih menu. Emha dan saya masuk ke dalam. Dua atau tiga wartawan Jawa Pos bergantian menulis di depan komputer. Fasilitas komputer hanya ada dua. Satu komputer dipakai Anto untuk mengirim berita atau artikel via modem ke kantor pusat di Surabaya. Fasilitas email untuk menerima atau mengirim berita belum lazim dipakai.

“Bentar ya, Cak, lima menit lagi,” salah satu wartawan yang di depan komputer meminta waktu.

“Sip, teruskan wae!”

Seseorang menyuguhkan kopi.

“Suwun, Rek!”

Emha mengeluarkan rokok. Tak lama kemudian ke meja komputer sambil membawa cangkir kopi dan rokok. Hanya hitungan dua batang rokok dan setengah cangkir kopi, naskah kolom untuk dimuat Jawa Pos esoknya, Senin, sudah kelar.

“To, wis rampung iki!”

“Beres, Cak, suwun!”

Emha keluar diiringi orang-orang Jawa Pos cakrukan di lesehan Malioboro. Entah siapa nanti yang akan membayarnya. Kadang Emha sendiri yang traktir semua. Atau bisa juga Kepala Biro Jawa Pos yang membayar jika sedang bermurah hati.