Ke Bandara

SERI PATANGPULUHAN EDISI 17

“Besok pagi-pagi, jam 04.00, tolong dibangunkan!”

“Iya, Cak.”

Saya bangun lebih cepat. Dari masjid sudah terdengar adzan awal. Saya mengenal adzan awal di Yogya. Adzan awal dikumandangkan menjelang waktu fajar; atau antara habisnya waktu isya menuju waktu shubuh. Ini tradisi Muhammadiyah. Nada iramanya khas, cengkok Jawa. Sebelum adzan, diawali dengan kalimat: “Adz-dzan aw-wal…” Lalu: “Allahu Akbar, Allahu Akbaaaar…”

Buru-buru saya ke dapur. Kedua adik perempuan Cak Nun dan Mbak Wiek, masih terlelap tidur. Mbak Wiek, perempuan setengah baya, bukan pembantu, mengabdi dengan tulus sejak kelahiran Sabrang.

Sejak Mamanya Sabrang dan Sabrang balik ke Metro, Lampung; Mbak Wiek bekerja di tempat orang; tetangga tiga-empat rumah dari rumah kontrakan Cak Nun.

Saya ambil panci dan jerang air untuk mandi. Tentu saja sambil menahan kantuk.Secara perlahan saya ketuk pintu kamar Cak Nun.

“Cak, jam empat kurang seperempat!”

Cak Nun membuka pintu, bersarung dan berkaos oblong, lalu duduk sofa, tiduran.

“Air untuk mandi sudah siap, Cak!”

Tak ada jawaban. Wajahnya kusut, menahan kantuk.

Saya ke dapur lagi menyiapkan kopi. Saya racik dengan ukuran yang pas. Ambil gelas belimbing, jangan sekali-kali bikin kopi dengan gelas besar. Sangat tidak nikmat. Ini soal estetika.

Cak Nun sudah rapi. Bercelana jeans dan kemeja lengan pendek polos, warna krem,amry look style. Segelas kopi saya suguhkan.

“Serokokan ya!”

“Oke, Cak…..”

Saya siapkan motor Honda 90 milik Toto Rahardjo, yang entah dapat dari mana, disimpan di Patangpuluhan. Motor kuno, kalau yang tak biasa pegang sering ngadat di jalan. Mogok.

Patangpuluhan menuju Bandara Adi Sucipto lumayan jauh. Saya berboncengan dengan Cak Nun. Seingat saya, belum pernah sekalipun Cak Nun yang di depan mengendarai. Sering saya menawarkan, selalu ditolaknya.

Cak Nun mau menuju ke Jakarta memenuhi undangan. Tiap hari, proposal dan surat undangan berbagai acara tidak pernah berhenti. Bahkan, surat-surat sumbangan amal sedekah; entah pembangunan masjid, sekolah atau panti asuhan; dalam sehari bisa sampai 10-15 eksemplar.

Sudah, sampai di sini!

Saya mengantar sampai pintu gerbang bandara.

“Biar nanti Yono yang jemput, sorean!”

Saya pulang.

Yono, kawan satu kampus beda angkatan, sama-sama nyantrik di Patangpuluhan. Dia sudah menikah dengan anaknya orang kaya di Yogya, tapi tidak malu menjalani sebagai supir taksi. Kini, ia tinggal di Tanggul, Jember, kampung asalnya.

Istilah nyantrik, mungkin tidak pas. Karena mereka datang dan pergi, bisa kapan saja. Mereka tidak diundang, atau mendaftarkan diri. Mereka, bisa juga termasuk saya sendiri. Sebelum ‘angkatan’ saya; ada Agung Waskito, Goetheng, Wahyudi Nasution, Imam Syuhada, dst.

Berbeda dengan Toto Rahardjo. Dia aktivis LSM yang sesekali datang; ngendon seminggu atau dua minggu di Patangpuluhan, lalu menghilang berbulan-bulan. Mbak Wahya, istri Toto Rahardjo, juga aktivis LSM yang dikelola Romo Mangunwijaya.

Rumah Patangpuluhan memang magnit. Mahasiswa, aktivis LSM, seniman dst. silih berganti datang dan pergi. Ada atau tidak adanya Cak Nun di Patangpuluhan, rumah itu selalu ramai.

Berbarengan dengan Yono, sebagai sopir taksi, juga Imam Syuhada dan Syaiful Imron. Imam Syuhada, kelak jadi adik iparnya, menikah dengan Inayah Al Wafiyah, adik Cak Nun. Syaiful Imron, almarhum, adik angkat Cak Nun.