Ngelmu

Seri Patangpuluhan edisi 13

EROPA. MALAM HARI. Sekian puluh tahun lalu. Emha menyusuri jalanan, sebagaimana yang biasa dilakukan di Yogya. Jalan kaki. Para pengemis dan gelandangan sudah menata karpet usang sebagai tempat tidur di emperan toko atau gedung-gedung.

Sekelompok orang mendekati Emha, mungkin mau merampok. Emha terpojok di sudut gedung. Lalu dikeluarkan dompet, entah apa yang diambil lalu dimasukkan ke dalam mulut. Orang-orang memperhatikan. Emha menjulurkan lidah, lalu di ambil dan sengaja dipamerkan kepada orang-orang. Orang-orang terkesima.

Ternyata silet.

Silet dimasukkan lagi ke dalam mulut dan dikunyahnya. Potongan-potongan silet disemburkan. Orang-orang menyingkir menjauh. Emha mengomel dalam bahasa Jawa. Pastilah kata-katanya bukan seperti ini:

“Sopo sing wani, sini maju…!”

Jika Emha sendiri yang cerita kisah ini sangat menarik dan dramatis. Emha bisa menceritakan kisah-kisahnya ribuan kali dengan detail dan selalu sama. Nuansanya hidup.

Cerita-cerita “ajaib” sering diutarakan Emha dalam berbagai kesempatan.

Dalam perjalanan ke Korea (Selatan) misalnya. Para penumpang pesawat antri di pintu pemeriksaan Imigrasi; koper dan tas melalui mesin pemindai sinar x. Emha agak khawatir terhadap isi dalam tas, pasti ketahuan dan akan diinterogasi petugas.

Entah apa yang dilakukan Emha; yang jelas tasnya lolos dari pemeriksaan sinar x, tapi petugas disibukkan tas penumpang belakang Emha yang tiba-tiba alarm berbunyi. Raut muka penumpang belakang, yang entah siapa, pucat pasi. Tas dibuka, isinya diacak-acak, tapi tidak diketemukan barang yang mencurigakan.

Apa sih isi tas Emha? Selain pakaian ganti, ada barang-barang “pribadi” yang selalu dibawa dalam perjalanan-perjalanan jauh; yaitu tas plastik kecil yang berisi: alat cukur, gunting kuku dan gunting kecil. “Senjata tajam” dalam tas inilah saat masuk mesin alat pemindai sinar x “dipindahkan” ke tas orang lain sehingga lolos sensor. Bagaimana caranya? Kapan-kapan jika ketemu Emha bisa ditanyakan dan silakan meguru.

Emha diketahui pernah mengenyam sekolah menengah SMA Muhi (Muhammadiyah I) Yogyakarta, satu angkatan dengan Busyro Muqoddas. Dua orang sahabat ini sering bercerita bahwa ada kompetisi perebutan jabatan dalam pemilihan Ketua OSIS atau IPM (Ikatan Pemuda Muhammadiyah), dan Busyro-lah sebagai pemenangnya. Emha biasanya menggoda; bahwa kalau memperebutkan cewek idola di sekolah, Busyro selalu kalah.

Siswa-siswa jurusan IPA sedang sibuk praktekum di ruang laboratorium. Berderet tabung-tabung berisi cairan kimia. Di sana-sini dibarengi dengan tawa ceria khas anak-anak SMA. Emha salah satunya. Keisengannya muncul. Diambil salah satu tabung yang bersih. Tabung yang terbuat dari kaca tipis bening dibelainya, lalu dimasukkan ke dalam mulut. Anak-anak yang lain melihat. Dikunyahlah tabung tadi menjadi serpihan-serpihan kecil, sebagian ditelan dan sisanya disemburkan ke lantai. Terjadi kegaduhan. Seluruh sekolah geger.

Sebuah panitia peringatan hari besar Islam di Jember mengundang Emha sebagai pembicara. Emha sendiri belum mengiyakan namun panitia sudah memasang spanduk dan baliho di seluruh kota Jember. Sebenarnya pada hari yang sama Emha diundang Gus Dur (kala itu Ketua Umum PBNU) sebagai salah satu pembicara Harlah NU di Gelora Senayan, Jakarta.

Melalui telpon dan surat balasan kepada panitia Jember sudah dijelaskan bahwa Emha tidak bisa datang memenuhi undangan dan dijanjikan pada kesempatan lain. Tapi tetap saja panitia tidak mau mengerti.

Sampai suatu hari di kesempatan lain Emha bisa datang ke Jember atas prakarsa Gus Mamak (Madini Farouk). Gus Mamak kala itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas namun sudah sangat aktif di masyarakat.

Acara diselenggarakan di sebuah hotel kota Jember. Emha memulai dengan salam dan menyapa para sesepuh yang hadir di acara tsb. Beberapa orang menginterupsi dan menanyakan alasan ketidakhadiran Emha pada acara sebelumnya. Emha dengan sabar menjelaskan bahwa acara berbarengan dengan acara di Jakarta yang sudah disanggupi lebih dulu.

Bahwa sesungguhnya jika ada beberapa undangan yang berbarengan waktunya, maka akan dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan skala prioritas. Tingkat urgen dan dampaknya acara tsb bagi masyarakat yang lebih luas. Dan acara di Jakarta lebih strategis secara politis dibanding acara di Jember. Saat itu Gus Dur, dengan PBNU-nya, termasuk tokoh yang “tidak tunduk” terhadap Pak Harto. Tentu saja alasan ini tidak perlu diungkapkan kepada para pengundang.

Namun beberapa audiens merasa tidak puas atas penjelasan Emha di atas, forum makin memanas. Kemudian Emha menantang; “Jika kalian tidak puas, kumpulkan semua orang ‘pintar’ di Jember, santetlah saya!”

Emha turun dari podium dan keluar ruangan menuju arah lift. Beberapa orang panitia membujuk Emha agar bersabar dan mau melanjutkan acara. “Kalian, diam di tempat!” Bentak Emha.

Dengan alat komunikasi HT, seorang panitia memberitahukan kepada panitia lain yang di luar agar mencegat Emha dari pintu lift lantai dasar. Namun, begitu lift terbuka Emha tidak ada. Beberapa orang berlarian ke arah jalan raya, tampak Emha sedang menuju angkutan umum.

Emha naik salah satu mobil angkutan yang sedang ngetem. Penumpang masih kosong. Dengan tegas Emha memerintahkan kepada sopir:

“Jalan!”

Aneh, sopirpun menjalankan mobilnya dengan hanya satu penumpang. Ini tak biasa.

Beberapa panitia mengejar mobil dengan sepeda motor, teriak-teriak membujuk Emha untuk balik ke acara.

“Terus saja, ke terminal!” perintah Emha ke sopir angkutan.

Di kesempatan lain, Emha bercerita. Bahwa ketika Emha memasuki lift, begitu dicegat di pintu keluar, tidak ada siapa-siapa. Bukan berarti ia bisa menghilang, tapi orang-oranglah yang tidak melihat saat Emha keluar lift.

Juga sopir mobil angkutan yang manut saja ketika diperintahkan Emha untuk jalan. Emha sendiri tidak habis pikir kenapa sopir kok ya mau saja. Padahal jamaknya, penumpang sudah penuh, barulah mobil dijalankan.

Tantangan Emha tentang santet, bukan tanpa resiko. Emha bercerita, sepanjang perjalanan pulang ke Yogya berseliweran “kiriman-kiriman” entah dari mana dan entah siapa.

Emha bisa menghilang? Emha menjawab sama, seperti di atas.

Di Bandara Soekarno-Hatta, Emha bertemu Ki Gendeng Pamungkas. Keduanya sama-sama satu pesawat menuju ke Surabaya. Masih ingat, siapa Ki Gendeng Pamungkas?

Gendeng Pamungkas dikenal sebagai paranormal yang sangat populer di pertengahan tahun 90-an dan awal 2000-an. Ia mengaku telah menyantet ratusan orang berdasarkan order. Namun, terakhir-terakhir diminta anaknya, yang justru dipesantrenkan, jika tak salah, di Gontor; untuk menghentikan aktifitasnya sebagai tukang santet. Lalu Ki Gendeng berangkat haji ke Baitullah. Kabar terakhir, Ki Gendeng beralih keyakinan dan menjadi penginjil.

Kembali ke Bandara.

Emha ber-say hello dengan Ki Gendeng. Ki Gendeng tiba-tiba menghilang, saat Emha mencari tempat duduk di atas pesawat, dengan senyum kemenangan Ki Gendeng menyambutnya.

Pesawat mendarat di Juanda, Ki Gendeng berlalu lebih dahulu dan menunggu di pintu keluar. Tengok sana, tengok sini, Ki Gendeng menunggu keluarnya Emha. Emha tak muncul-muncul, lalu pergi ke arah taksi.

Agak kaget Ki Gendeng, di warung pinggir jalan Emha sedang nongkrong, ngopi dan merokok. Emha menyambutnya dengan senyum.

Kok bisa, Cak?

Jawabannya sama, sebagaimana di atas. Emha tidak ke mana-mana, juga tidak bisa menghilang. Emha berjalan melalui pintu yang sama yang dilalui Ki Gendeng, hanya saja mata Ki Gendeng tak melihat Emha. Sederhana kan?

Manusia tidak selamanya sadar diri. Dalam meniti hidup, katakanlah sejak bangun pagi, subuh, kita tersadarkan dari tidur semalaman; apakah sampai menjelang tidur malam berikutnya, detik demi detik, jam ke jam berikutnya, menyadari semuanya? Pergi mandi, makan pagi, siap-siap memulai aktifitas dst. Adakah waktu-waktu yang kita tak sadar. Blank. Kosong.

Jawabnya, pasti ada. Kosong. Blank. Tapi bukan melamun ya. Tak lama, cuma sedetik.

Dalam perjalanan dari Jogja ke arah timur; pas di daerah Klaten, kesadaran Emha “kosong.” Blank.

Aduh! Emha mengaduh. Di saat kosong tadi ada ‘sesuatu’ yang ‘masuk.’ Ada kiriman santet yang masuk dalam diri Emha.

Emha disantet? Ah, mosok? Sekaliber Emha santet bisa masuk?

Jangankan Muhammad Ainun Nadjib, bahkan Muhammad Rasulullah pun pernah disantet oleh seorang Yahudi. Nabi Muhammad, secara fisik adalah manusia biasa (basyar). Merasa lapar, merasa haus, mengalami sakit dst.

Dikisahkan; seorang kawan Emha, di tahun 2000-an mau mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur. Emha sangat kenal dengan kapasitas dan kemampuan sang kawan, ia belum mumpuni. Maka, karena Emha sayang dan cinta terhadap kawannya, di beberapa tempat acara di Jawa Timur, Emha mengungkapkan, sang kawan belum layak menjadi Gubernur.

Tentu saja beberapa kelompok pendukungnya marah terhadap Emha. Maka melalui seorang kiai kampung dari desa wilayah Kendal, Emha dikirim berbagai macam benda dan bersarang di perutnya.

Apa isinya?

Maka diambillah sample, maaf, kotoran, lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Dan meledak. Berisi zat-zat kimia, yang disimpulkan setara dengan bom C4. Dokter agak heran, Emha begitu kuat tidak mengalami apa-apa. Artinya, material semacam itu bisa mematikan.

Kala itu, saya lama tidak bertemu Emha, mungkin dua bulanan. Pas acara di Sahid Hotel Jakarta, saya terkejut. Badan Emha sangat kurus, bobot 40-an kg. Bercelana katun biru, kedodoran. Tidak bersabuk; tapi diikat dengan tali kolor.

Emha sendiri beraktifitas seperti biasa; menghadiri berbagai acara undangan, baik sendiri maupun bersama Kiai Kanjeng. Makan minum normal. Hanya, kadang jika “makhluk” di dalam perut sedang beraktifitas agak merasa terganggu.

“Makhluk” itu sangat rakus, semua makanan yang dimakan Emha ikut dimakannya, sehingga jatah untuk badan Emha tak tersisa. Sehingga Emha kurus.

Emha tidak berusaha mengusirnya. Sehingga “makhluk” itu tak betah sendiri dan menghilang. Justru kawan-kawan Kiai Kanjeng yang marah. Sebagai bentuk solidaritas kepada Emha, beberapa orang memakan paku dan jarum.

Suatu hari sang kawan, yang mau mencalonkan sebagai Wakil Gubernur itu, menelpon; dan yang menerima istrinya, Mbak Novia.

“Cak Nun mana?”

“Yak opo, mbok kalau mau kirim jangan hanya onderdilnya, sekalian saja mobilnya!” jawab Mbak Novia.

Pembicaraan tidak berlanjut. Kemudian hening.