From Kolom Jamaah Maiyah

Panggung Mungil Kenduri Cinta

Panggung mungil Kenduri Cinta berukuran 525 cm x 360 cm, terbagi atas 12 blok level kecil dengan ukuran 175 cm x 90 cm, tiap bloknya dengan tinggi kurang lebih 15 cm. Bahannya terbuat dari kayu cukup keras dan lumayan berat, ada beberapa bagian yang sudah rusak, hingga harus hati-hati dan dibutuhkan minimal 2 orang ketika menyusun, kadang dilakukan oleh pihak pengelola, kadang juga dilakukan para penggiat yang bertugas dari sore hari ketika Kenduri Cinta dilaksanakan.

Baliho Sang Garda Terdepan

Pada awalnya baliho Kenduri Cinta hanya berupa pamflet selebaran kertas dengan informasi sangat lengkap, disebar ke berbagai sudut kota Jakarta, ditempel di dinding dan tiang apa saja. Beberapa tahun berikutnya diganti lembaran kain berwarna hitam dipasang pada dinding baliho, bertuliskan “KENDURI CINTA”, serta keterangan judul, dimana, kapan, dan pukul berapa berlangsungnya acara. Inilah baliho Kenduri Cinta model pertama dengan pembuatan secara cetak sablon. Kemudian dimasa selanjutnya sekitar awal tahun 2010 mulai dikreatifisasi menggunakan bentuk gambar sederhana.

Mengenal Kenduri Cinta Lebih Dalam

Kenduri Cinta merupakan jembatan bagi masyarakat yang rata-rata masih sederhana dalam ibadah dan pemahamannya terhadap ibadah mahdlhah. Di Kenduri Cinta, banyak diajarkan tentang ibadah muamalah. Salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah bisa juga dengan berbuat baik sebanyak-banyaknya kepada sesama manusia, Hablu Minannas. Diantaranya seperti senantiasa menjalin silaturahmi dengan keluarga, teman, rekan kerja, dan bahkan dengan orang asing yang baru kita kenal.

Perjalanan Cinta dan Kesetiaan

Maiyahan. Ya, itulah istilah yang kemudian semakin akrab saya dengar tentang Kenduri Cinta ini. Kemudian saya mengetahui, bahwa ada forum sejenis di tempat lain, bahkan lebih tua usianya dari Kenduri Cinta. Sebelum Kenduri Cinta lahir, ada PadhangmBulan yang merupakan embrio dari Maiyahan di Indonesia. PadhangmBulan sendiri dilaksanakan di Menturo, Jombang sejak awal era 90-an. Di Yogyakarta, hadir Mocopat Syafaat di pertengahan ’99. Kemudian selang beberapa waktu kemudian, Gambang Syafaat lahir di Semarang. Kenduri Cinta sendiri, lahir pada pertengahan 2000. Dan sekarang, ada lebih dari 50 forum Maiyahan serupa di berbagai daerah. Kami menyebutnya Simpul Maiyah.

Kardus-Kardus Kencleng

Tidak mungkin kami meneruskan keliling apabila sholawat berlangsung atau Mbah Nun sedang berbicara, 2 hal itu yang mampu menghentikan langkah kami, sementara kami sudah terjebak di tengah-tengah jamaah. Pilihannya hanya satu, nyempil duduk bersama jamaah, hingga kemudian grup musik kembali memainkan lagu, dan kami pun kembali melanjutkan berjalan berkeliling menarik kencleng. Dan apesnya lagi, terkadang kami dikira tukang kebersihan, sampah dimasukkan dengan tenang kedalam kardus yang kami putarkan. Hahaha… Nyenengke tenan. Dan yang paling nikmat ketika menginjak puntung rokok. Kok bisa? Karena ketika bertugas kami tidak menggunakan alas kaki, nyeker. Karena bila menggunakan sandal maupun sepatu, itu tidak sopan menurut kami.

Reboan, Dapurnya Kenduri Cinta

Bagaimana Kenduri Cinta mampu memproses manusia-manusia yang begitu istiqomah untuk mengelola forum ini? Adalah forum Reboan, media sosial yang nyata untuk bercengkrama satu sama lain, bertatap muka, saling sambung silaturahmi satu dengan yang lainnya. Dari forum inilah terbangun ikatan kekerabatan yang semakin kuat, ikatan persaudaraan tanpa hubungan darah, yang benar-benar menjadi paseduluran tanpa tepi.

Media Sosial Itu Bernama Reboan

Sebuah forum yang tanpa perlu ada tetek-bengek regulasi yang ribet. Sebuah forum yang sangat terbuka dan bisa dihadiri oleh siapa saja. Sebuah forum yang tidak selalu membahas perihal teknis Kenduri Cinta dan isu-isu faktual saja, tetapi forum yang bergerak sangat bebas dan cair, yang memungkinkan bagi setiap orang yang datang untuk bercerita apa pun. Iya apa pun saja. Dan saking cairnya, tidak jarang ada yang datang cuma untuk ngerokok, minum kopi, makan jajan, dan tidur. Dan itu sangat diterima di forum Reboan.

Lokomotif Harus Aktif

Dipertengahan tahun 2016 lalu, seorang teman yang kala itu saya panggil Kang Ustad membelikan sebuah mini router agar saya bisa mengakses kembali dunia maya yang beberapa saat ditinggalkan. Saya pun mencoba mengakses internet dan waktu itu awalnya memilih media youtube untuk mencoba mencari lagu-lagu yang saya senangi, namun mata tertarik kepada judul dari salah satu video yang ada berjudul “Sinau Bareng Cak Nun”.

Merayakan Kenduri Cinta Yang Sedang Pubertas Di Usia 18 Tahun

Saya mengenal Cak Nun sekitar tahun 2015 ketika membuka kanal youtube, disanlah saya bereksplorasi mencari kajian-kajian perihal Islam, Budaya, Seni dan Sastra. Entah mengapa pencariaan saat itu menggiring ke video-video Cak Nun, mungkin Allah sudah menyusun skenario dengan apik bahwa saya harus mengenal Cak Nun lebih dalam menyelami pikiran-pikiran yang ajaibnya lewat kata-kata penuh cinta melalui kanal youtube.

Emha, Cak Nun atau Mbah Nun?

Belakangan, ketika tulisan-tulisan tuturan saya diposting ulang oleh banyak orang di media sosial, dengan atau tanpa menyebut sumber tulisan saya, ada beberapa yang memprotes “kekurangajaran” saya yang hanya meng-Emha-kan Cak Nun. Saya memaklumi dan menyadari soal unggah-ungguh yang diungkap oleh beberapa pembaca tulisan saya. Hari-hari berlalu, tahun-tahun pun berganti. Semakin banyak anak-anak usia muda yang mencintai dan mentakdzimi Cak Nun.