Merayakan Kenduri Cinta Yang Sedang Pubertas Di Usia 18 Tahun

Mengenal Kenduri Cinta.

KENDURI CINTA sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat Maiyah yang berdomisili di Ibu Kota. Apa sih itu Kenduri Cinta itu? Kenduri menurut kamus besar bahasa Indonesia: /ken·du·ri/ n perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat, dan sebagainya; selamatan.

Menurut jadwal di www.caknun.com pada setiap hari jumat minggu kedua di setiap bulannya, selalu diadakan forum diskusi pengkajian di pelataran Taman Ismail Jakarta. Kebanyakan orang bergerumul di satu tiitik Taman Ismail Marzuki untuk bertemu Emha Ainun Nadjib. Tetapi tidak semua orang juga yang hadir hanya berniat untuk melihat Cak Nun, banyak pula orang-orang yang sudah meluangkan waktu dan pikirannya sekadar bertemu dengan  orang-orang baru. Saya merasa disinilah saya harus bisa mengikuti kegiatan yang penuh kehangatan di satu lingkaran besar bersama orang-orang yang bersepakat untuk merawat dan menanam kebaikan.

Saya mengenal Cak Nun sekitar tahun 2015 ketika membuka kanal youtube, disanlah saya bereksplorasi mencari kajian-kajian perihal Islam, Budaya, Seni dan Sastra. Entah mengapa pencariaan saat itu menggiring ke video-video Cak Nun, mungkin Allah sudah menyusun skenario dengan apik bahwa saya harus mengenal Cak Nun lebih dalam menyelami pikiran-pikiran yang ajaibnya lewat kata-kata penuh cinta melalui kanal youtube.

Saya kuat untuk menonton kajian-kajian Cak Nun melalui Youtube hingga berjam-jam lamanya, hanya sekadar diri ini yang masih fakir ilmu untuk charge pengetahuan lebih dalam lagi, apa arti kehidupan yang sesungguhnya. Saya pernah mendengar Cak Nun menyampaikan: “Sesungguhnya di dunia kita itu sedang berpuasa dan lebarannya di akhirat.”

Pada akhirnya tahun 2017 lalu saya menyambangi Cak Nun di TK IT Alhamdulillah, Kasihan, Bantul bersama teman saya di UGM. Ia menemani saya untuk mengikuti Mocopat Syafaat di Bantul, Yogyakarta. Tujuan saya ke Jogja memang untuk mengikuti Maiyahan bersama Cak Nun, beruntungnya saya bisa bertemu beliau sesaat setelah Maiyahan menjelang subuh, saya hanya sekadar ingin memberikan karya saya berupa Buku yang berjudul Second chance. Setelah saya memberikan buku kepada Cak Nun, ternyata ada salah satu seorang jamaah memberi tahu saya bahwa ada simpul Maiyah yang di Jakarta, yang bernama Kenduri Cinta. Disana saya kaget, kenapa saya baru tahu? Telat? Ah, tidak juga. Karena menurut saya tidak ada yang terlambat apabila ingin belajar, terlebih ingin memperdalam ilmu agama.

Di awal tahun 2018 saya mulai merapat di Kenduri Cinta. Subhanallah! Saya bergeming dalam hati. Lautan manusia berkumpul dalam lingkaran besar di pelataran Taman Ismail Marzuki. Sebelum Cak Nun hadir pun sudah banyak manusia-manusia yang menurut saya akan charge pribadinya untuk menuju lebih baik dari sebelumnya. Saya mengambil posisi paling depan, mengapa? Karena saya masih menggunakan tongkat dan sering sekali apabila mengikuti acara yang begitu ramai kaki kiri saya yang masih lemas terinjak-injak dan benar saja beberapa kali saya serinng terinjak, pegel, ngilu, sakit di punggung, nyeri pinggang itu semua tak dirasa, saya ingat betul ketika beberapa kali di pertemuan awal saya mengikuti kenduri cinta Cak Nun berkata: “Sakit atau Penderitaan itu jangan dibenci dan dimusuhi tetapi dinikmati.”

Dari sanalah saya berpegang teguh ketika kaki saya mulai terinjak, punggung saya diserang oleh ngilu yang teramat dahsyat ketika harus duduk berjam-jam yang mengakibatkan saraf-saraf saya berfungsi dengan baik sehingga saya mengalami sakit dipunggung, karena sakit itu zikrullah saya selalu mengalihkan rasa sakit saya itu menjadi  nikmat.

Pada Kenduri Cinta yang mengangkat tema Jababiroh yang lalu, saya diberikan kesempatan untuk membacakan puisi sebelum prolog. Mengapa? Karena saya ingat betul ketika di Bantul ada seorang Bapak-Bapak umurnya sekitar 50 tahun, menurut tim Progress ia selalu membawakan puisi-puisinya saat Maiyahan di Mocopat Syafaat. Saya terinspirasi dari sana, kenapa di Jogja bisa seintens itu untuk membacakan puisi-puisinya. Masa iya di Jakarta yang notabenenya adalah jantung Ibu Kota tidak bisa?

Beruntungnya saya diijinkan, padahal itu mepet sekali pas sekali pada tanggal 18 Mei pagi saya menghubungi Mas Toni, salah satu pegiat Kenduri Cinta. Saya diijinkan membawakan satu buah puisi yang berjudul Berteriak dalam hening

Berteriak dalam hening

Apa jadinya bila suatu saat pandanganmu tiba-tiba gelap

Alunan nada-nada disekitarmu seketika hening

Bahkan, kau tak lagi bisa mengeluarkan isi hatimu dengan pita suara

Yakinkah kau menjalaninnya tanpa rutukan dan tangis disetiap detiknya?

Berteriaklah dengan ketulian jikakau mampu.

Melihatlah dengan mata batinmu

Menlangkahlah dengan keterbatasanmu.

Aku tahu kau mampu untuk melakukan itu.

Karena keterbatasanku tidak membuatku berhenti untuk melaju dan terus menuju.

 

Setelah membacakan puisi, seketika penonton hening dan sebagian bertepuk tangan. Semoga dengan puisi itu bisa merasuk kedalam relung jiwa para jamaah Kenduri Cinta, bahwa tidak ada yang lebih megah dibandingkan rasa syukur. Terbesit dalam benak saya apabila ingin belajar harus total, saya mencoba berdialektika dengan beberapa pengurus Kenduri Cinta untuk melibatkan diri dalam forum Reboan.

Apa sih forum Reboan itu? Menurut saya Reboan itu majelis tertinggi di Kenduri Cinta, dimana sebelum melaksanakan Maiyahan rutin bersama Cak Nun, rapat terpenting dalam Kenduri Cinta adalah Reboan. Mulailah saya mengikuti forum Reboan dan memberikan sumbangsih ide-ide untu Kenduri Cinta kedepannya. Tepat pada detik ini saya menulis saya ingin sekali membuat tulisan untuk redaksi Kenduri Cinta hanya sekadar berbagi informasi bahwa menuju baik itu baik..

Kenduri Cinta Sedang Pubertas

Bulan Juni kali ini merupakan edisi Kenduri Cinta yang mengagumkan? Kenapa mengagumkan? Dikarenakan perjalanan menuju ke 18 tahun bukanlah perjalanan yang singkat, ukuran ulang tahun ke 18 tahun dalam berdoa ketika merayakan ulang tahun bukanlah sekadar untuk tiup lilin serta potong kue di hari itu tetapi bagi forum yang dinamakan Kenduri Cinta bisa disebut dengan merayakan kematian? Mengapa demikian? Ulang tahun bukanlah untuk merayakan hari jadi. Tetapi merayakan kematian dengan cara menghabiskan waktu untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha pemberi kekayaan cinta yang luar biasa. Terlebih forum swadaya ini, tanpa  sponsor, tanpa resistensi politik apalagi afiliasi politik ke pihak manapun, dan berlangsung di di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Spesial karena pada tahun ini Kenduri Cinta menapaki perjalannya yang ke 18 Tahun. Perjalanan yang tentu saja bukanlah perjalanan yang singkat. Setiap tahunnya penggiat datang dan pergi, banyak yang terlihat sanak saudara yang baru hadir di setiap hari jumat minggu kedua di setiap bulannya. Entah, mengapa Kenduri Cinta menjadi magnet begitu besar bagi semua kalangan, terlebih anak-anak muda yang sedang menuju ketaatan kepada-Nya (Hijrah?). Semoga dengan menghadiri kegiatan setiap bulannya di Kenduri Cinta, senantiasa dijaga ke istiqomahannya, amin Allahuma Amin.

Dengan adanya silih berganti jamaah yang aktif di setiap forum itu semua membuat para penggerak menjadi menambah semangat dalam setiap kegiatan sehingga membuat kenduri cinta bertahan hingga 18 tahun ini.

Seperti yang sudah berjalan di Kenduri Cinta sejak lama, bahwa kesadaran melayani sudah tertanam dalam benak setiap penggiat. Ketika semua penggiat bersepakat untuk melibatkan sesuatu hal yang istimewa dalam perayaan 18 Tahun Kenduri Cinta ini, maka semuanya secara tertib dan teratur, memposisikan diri untuk mengambil perannya masing-masing. Semua memiliki visi yang sama; mensukseskan 18 Tahun Kenduri Cinta.

Semoga doa-doa yang makbul bertambahnya umur Kenduri Cinta bisa menanamkan benih-benih Cinta. Rindu diatas rindu adalah kasih, kasih diatas kasih ialah cinta bagaimana tidak rindu kalau tidak cinta. Semoga dalam hari-hari menunggu merayakan hari jadi Kenduri Cinta, kita sebagai mahluk yang bernyawa senantiasa bisa selalu menanamkan rindu kepada Allah untuk berkumpul membentuk lingkaran besar dalam forum Kenduri Cinta untuk menanam dan merawat kebaikan agar tetap bisa bersinergi kepada-Nya.

Irfan Ramdhani