Tagged jaburan

Berpuasa di Dunia, Berhari Raya di Surga

Keberadaan di neraka mungkin justru merupakan pengalaman puasa puncak, gara-gara selama hidup di dunia kita maunya berhari raya melulu, maunya pesta pora terus, bersenang-senang, menghambur-hamburkan rejeki anugerah Tuhan.

Menomorsatukan Kemerataan

Semakin tinggi kadar puasa sosial kita, semakin luas radius puasa horisontal kita—maka darajah dan karamah akan melejitkan kita semakin dekat kepada kasih sayang Allah. Persoalannya apakah kita berpendapat bahwa kasih sayang Allah itu tak terhingga lebih mahal dibanding jumlah deposito dan banyaknya perusahaan kita, ataukah kita beranggapan sebaliknya.

Malam Prerogatifnya Allah

Dan Anda bisa menciptakan malammu sendiri, menciptakan siangmu sendiri, sehingga malam Lailatul Qodar itu tidak bisa dibantah seratus persen bahwa dia juga bisa diberikan Allah kapan saja. Ciptakan saja setoran-setoran yang memikat hatinya Allah. Maka engkau akan mendapatkan anugerah prerogatif itu dari Allah Swt. Anytime. Kapan saja.

Setan Dibelenggu

Setan itu bukan sesuatu di luar diri kita, sebuah bentuk, fisik, jasad. Setan itu kan bisa frekuensi, sel, virus, kuman, bisa koordinat-koordinat dari suatu keadaan, bisa atmosfir, quark, anda memahaminya dengan nano technology, misalnya. Jadi setan itu suatu potensialitas yang terus menerus harus diselidiki, yang membikin manusia sedemikian rupa kehilangan keseimbanganya. Dan ini sangat luas. Ketidakseimbangan dan keseimbangan dalam diri manusia begitu luasnya.

Puasa Arak

Kalau kita cari rumus-rumus dasarnya, aslinya puasa kalau saya menggambarkan kan dilambangkan oleh air khamar atau air arak. Kalau sholat dilambangkan oleh air hujan. Puasa itu khamar, ada peragian rohani. Jiwa menjadi lembut, hati menjadi lembut dan lain sebagainya. Sehingga kita hanya mensisakan diri hanya pada faktor-faktor yang penuh cinta saja kepada Allah dan alam semesta.

Puasa adalah Ilmu Dosis

Rasulullah itu hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Jangan dipikir itu ilmu tentang makan, itu juga ilmu tentang puasa. Jangan dipikir ilmu tentang cahaya itu hanya ilmu tentang cahaya. Ilmu tentang cahaya adalah ilmu tentang kegelapan. Ilmu tentang kegelapan adalah ilmu tentang cahaya. Karena anda tidak mungkin memahami cahaya tanpa memahami kegelapan dan sebaliknya tidak mungkin anda memahami kegelapan tanpa memahami cahaya.

Idul Fitri: Titik Sublim Psikologis

Ada berbagai pendekatan Qur’ani untuk memahami jarak antara puasa dan Idul Fitri. Kita bisa memilih satu dua sudut atau sisi pandang, bisa juga dengan “pendekatan melingkar”. Semacam kemenyeluruhan atau totalitas. Atau yang Qur’an sendiri menyebutkan kaffah.

Kita mungkin bisa berangkat dari salah satu paham bahwa perubahan atau pengubahan yang dilakukan dengan metode laku puasa itu merupakan proses peragian: semacam mengubah ketela menjadi tape. Menaklukan gumpalan menjadi cairan. Mentransformasikan dan mentranssubstansikan badan (jisim) menjadi energi (quwwah) dan akhirnya menjadi cahaya (nur).

Rohani Iman dan Jasmani Iman

Rohani atau iman adalah kondisi internal kepribadianmu. Jasmani atau ihsan adalah peran dan integritasmu di tengah lingkungan kehidupan. Kedewasaan keislaman dan kepribadian kita adalah tatkala keteguhan imanmu memperkukuh dan memperluas manfaat sosial kehadiranmu, serta ketika keterlibatan sosialmu juga sekaligus dan memperjernih imanmu. Keduanya bersifat simbiosis mutualistik. Keduanya saling menumbuhkan, saling menggali manfaat.

Mudik, Tawaf, dan “Ilaihi Raji’un”

Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan rohani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antarkota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.

Orang mudik itu mangayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geologis-historis ini, rohani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menepuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.

Ramadhan Sepanjang Zaman

Shalat dalam satuan-satuan waktu kecil memungkinkan kita menemukan diri kembali sesudah ‘hilang’ dalam mesin, sesudah direduksi menjadi alat-alat, sesudah didustai oleh banyak hal yang tak sejati. Shalat bukan sekedar mengembalikan diri kita, tapi bisa juga melahirkan diri yang baru yang lebih baik

Puasa sepanjang Ramadhan adalah “shalat” yang lebih dalam, lebih ‘menyiksa’, lebih intensif, lebih panjang, lebih radikal dan frontal. Puasa menyerap kita ke dalam kesejatian dan menghasilkan pandangan dari situasi fitri diri. Dengan menyadari pararel makna puasa dengan shalat, kemudian dengan memahami bahwa puasa bisa diperluas maknanya menjadi bukan hanya tidak makan dan tidak minum, melainkan juga menahan diri dalam segala konteks, tidak aman untuk tidak menikmati sesuatu yang nikmat dalam berbagai bidang kehidupan, dari soal pakaian, kekayaan, sampai kedudukan sosial dan kekuasaan sejarah—maka kita mulai bisa membayangkan apa yang dimaksud Ramadhan sepanjang zaman.