Rohani Iman dan Jasmani Iman

JABURAN SERI KE-II EDISI KESebelas

SEJAK HARI-HARI awal wilayah Lailatul-Qadar, mestinya kita telah sampai pada puncak penghayatan kita masing-masing atas makna dan pengalaman puasa. Tiga hari terakhir puasa bulan Ramadhan merupakan saat cooling down untuk menapaki suatu kelahiran baru dari kepribadian kita masing-masing.

Semacam mlungsungi  atau  nglungsungi. Puasa adalah suatu proses perjuangan untuk memperoleh “diri” yang baru. “Kemakhlukan” yang baru. “Diri spiritual” atau “diri rohani” kita tetap sama, karena ia bersifat baqa’ atau permanen. Tetapi “diri dunia” atau “diri kemanusiaan” kita menjadi baru. Di dalam tradisi Idul Fitri, kebaruan diri itu dilambangkan oleh pakaian baru.

Waktu kecil aku menjengkelkan ayah dan ibuku, karena setiap datang Hari Raya, selalu aku sengaja memakai pakaian yang terburuk. Semua temanku pasti berangkat shalat ‘Id degan baju baru, sarung baru, peci baru, yang dianggarkan khusus oleh orang tua mereka masing-masing—dan memang itulah salah satu tanda kebudayaan Hari Raya.

Setahun dua tahun orang tuaku memang pusing melihat sikapku yang anarkistis dan radikal. Yang kupamerkan justru pakaian yang paling lama dan paling buruk. Aku sendiri juga tidak sepenuhnya paham kenapa aku lakukan kecenderungan itu. Aku belum mampu berpikir jauh karena masih kecil. Aku pilih itu hanya berdasarkan rasa, intuisi, atau semacam dorongan entah apa dari kedalaman hatiku. Aku hanya tahu bahwa sejak kecil memang aku merasakan menyimpan semacam rahaia di dalam jiwaku.

Sampai hari ini aku belum mengerti persis apa sebenarnya rahasia itu. Melalui penghayatan hidup dari periode ke periode berikutnya dalam perjalanan usiaku, bisa sedikit-sedikit kuurai. Tapi sesungguhnya masih misterius, dan aku selalu dalam situasi menunggu. Entah apa yang kutunggu.

Sudah pasti aku bukan orang suci yang menunggu perintah Allah untuk melakukan misi tertentu dalam sejarah. Mungkin aku sekadar kelopak bunga yang menunggu firman-Nya untuk mekar pada suatu pagi. Menunggu ayat-Nya untuk menyebarkan bebauan pada menit-menit tertentu. Dan, kemudian menuggu perintah-Nya untuk kuncup kembali, mengurung, layu, dan akhirnya tanggal, menyatu dengan debu.

Dalam hal pakaian terburuk itu, orang tuaku akhirnya mengajakku diskusi di saat awal-awal aku nyantri di pondok. Aku sempat mengemukakan: “Aku sengaja berpakaian terburuk ketika Hari Raya agar aku ingat bahwa yang seharusnya kuperbarui adalah ketulusan hatiku, kejernihan pikiranku, keteguhan mentalku, kebenaran akhlakku, serta kemanfaatan sosial setiap perilaku. Dan lagi, siapa berani mengatakan bahwa pakaian ini tidak baru? Memang ini kain lama, tapi pandangan dan penghayatanku atas pakaian ini sekarang sudah menjadi baru….”

Maka, setiap melakukan pekerjaan puasa, yang kuhayati adalah pengolahan diri pada wilayah internal maupun eksternal. Kalau Idul Fitri tiba, aku harus menjadi manusia baru, dengan kondisi batin yang baru, serta fungsi sosial yang juga baru. Baru dalam pengertian yang lebih baik, lebih berkembang, lebih bermanfaat.

Kalau selama Ramadhan engkau berhasil memproses pembaruan diri dan engkau mlungsungi menjadi seorang yang seakan-akan lahir kembali, maka kehadiranmu di tengah masyarakat, di tengah Negara dan politik, di tengah khalayak dan kebudayaan, atau di tengah apa pun saja insya Allah akan juga baru.

Sebagai Muslim, Islammu mendewasa. Pekerjaan puasa adalah memang metode untuk mendewasakan dan mematangkan. Islam itu jasmani dan rohani. Jasmani Islam itu ihsan, rohani Islam itu iman.

Rohani atau iman adalah kondisi internal kepribadianmu. Jasmani atau ihsan adalah peran dan integritasmu di tengah lingkungan kehidupan. Kedewasaan keislaman dan kepribadian kita adalah tatkala keteguhan imanmu memperkukuh dan memperluas manfaat sosial kehadiranmu, serta ketika keterlibatan sosialmu juga sekaligus dan memperjernih imanmu. Keduanya bersifat simbiosis mutualistik. Keduanya saling menumbuhkan, saling menggali manfaat.

Kalau sesudah Ramadhan tak ada perubahan apa-apa dalam kehidupan sosial, puasa kita mungkin hanya bermakna lapar dan dahaga. Tak lebih.