Mudik, Tawaf, dan “Ilaihi Raji’un”

JABURAN SERI KE-II EDISI KESEpuluh

SEJAK SEKITAR sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan kebudayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapitalisme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodhol ususnya oleh kerisnya sendiri. Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani umat manusia kenapa tak bisa memproduksi fasilitas-fasilitas hidup dan metode sejarah yang bisa membahagiakan manusia.

Di ujung semua gejala itu akan berlaku sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transedental.

Akan tetapi, permasalahannya, dari mana arus balik itu akan bermula? Apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?

Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalnnya, bayi macam apa yang akan lahir?

Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor kebangkitan Islam? Suasana revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari ini, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell!, apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah perdaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.

Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serba keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam di muka bumi modern.

Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara—terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea—akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pasca-pademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genteng, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.

Kemudian kaum Muslimin Indonesia, umat Islam negeri maritime, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan, akan bertugas sesudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayuhayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.

Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan rohani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antarkota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.

Orang mudik itu mangayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geologis-historis ini, rohani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan keridaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menepuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.

Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti, kita bisa mulai menakar, mempertimbangkan, dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya—menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri.