Idul Fitri: Titik Sublim Psikologis

JABURAN SERI KE-II EDISI KEduabelas

DI SAMPING PRINSIP kuantitatif bahwa puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, seks, dan segala maksiat, tema kualitatifnya selalu adalah “menahan nafsu”: suatu persoalan psikologis.

Kalau puasa dipahami sebagai substansi, maka asal sampai maghrib Anda sukses tak makan minum, selesailah puasa. Namun, kalau ia kita pahami sebagai metode, maka harus ditemukan indikator untuk menandai secara kualitatif-psikologis apakah puasa seseorang telah berlangsung atau belum. Dalam hal ini puasa fisik bukanlah tujuan primer, melainkan alat atau metode (tarikat) untuk mencapai suatu tingkat kualitas kejiawaan tertentu.

Tingkat kualitas kejiwaan itu digambarkan oleh term Idul Fitri: kembali ke kondisi dan situasi fitrah (orisinal, sejati). Dengan kata lain, puasa adalah suatu proses, suatu perjalanan, atau suatu perubahan dari suatu kondisi ke kondisi berikutnya. Hanya pelaku puasa yang berhasil “mengubah diri”-lah yang relevan (berhak secara hukum dan alamiah secara realitas) untuk memperoleh Idul Fitri.

Permasalahannya, perubahan itu dari titik mana ke titik mana.

Ada berbagai pendekatan Qur’ani untuk memahami jarak antara puasa dan Idul Fitri. Kita bisa memilih satu dua sudut atau sisi pandang, bisa juga dengan “pendekatan melingkar”. Semacam kemenyeluruhan atau totalitas. Atau yang Qur’an sendiri menyebutkan kaffah.

Kita mungkin bisa berangkat dari salah satu paham bahwa perubahan atau pengubahan yang dilakukan dengan metode laku puasa itu merupakan proses peragian: semacam mengubah ketela menjadi tape. Menaklukan gumpalan menjadi cairan. Mentransformasikan dan mentranssubstansikan badan (jisim) menjadi energi (quwwah) dan akhirnya menjadi cahaya (nur).

Transformasi atau transsubstansi itu tidak harus dipahami dalam arti eksistensial, tetapi setidaknya dalam perspektif kesadaran: “manusia jisim” akan mengonsentrasikan diri pada pencapaian ke-wadag-an (harta benda, status sosial, dst). “Manusia quwwah” mengaksentuasikan diri pada penguasaan dunia dalam jangka ruang dan waktu yang selebar-lebarnya. “Manusia nur” lebih berpihak pada peng-inti-an dan pen-sejati-an langkah-langkah hidup. Skala prioritas pada ketiga jenis manusia ini berbeda-beda. Ada yang cenderung ke “pemilikan”, ada yang ke “nama besar” dan ada yang memilih peleburan “ke Tuhan”.

Salah satu metafor yang mungkin bisa mendekati gambaran proses ini adalah tentang makanan yang sesudah melewati mulut, tenggorokan, dan usus, menjadi “kehilangan diri”-nya, menjelma inti. Perhatikan, padi pada level natur. Beras, atau nasi, atau lemper, adalah level kultur: manusia merekayasa padi menjadi suatu jenis makanan. Namun, sesudah diperas oleh usus, ia kehilangan ‘padi’nya dan ‘beras’ atau ‘lemper’-nya. Sekali lagi, ia menjelma sari pati.

Namun, peragian yang dimaksud dalam menjelaskan laku puasa melampaui tingkat sari pati: ia ‘berjalan’, ‘mentransformasikan diri’ menjadi atau ke rohani.

Untuk itu, sebelum segala sesuatunya, ‘rohani’ ini harus menjadi perhatian khusus kita, karena pada mulanya dan pada akhirnya manusia itu rohani–lepas bahwa di antara kita bisa berpendapat bahwa sesudah jantung berhenti dan badan dikubur, ‘manusia’ telah selesai. Terserah juga bagaimana kita memahami lapis-lapis rohani yang terpaparkan sedikit di bawah ini. Pun terserah hendak mengacu pada referensi ilmu apa dan dari aliran mana:

Aku ruh tunggal
Aku tiga puluh enam
Mewadahi sembilan puluh sembilan
Aku hati rohani
Aku hati nurani
Aku hati robbani
Aku hati sanubari
Aku akal
Aku hati batini
Aku jiwa
Aku sukma
Aku nyawa
Aku nafsu
Aku Sir, rahasia
Aku Jufi, rongga
Aku Shudur, dada
Aku Qalbi
Aku Fuad
Aku Syaghafa
Aku Insa
Aku sembunyi
Aku lelembut qalbi
Aku lelembut ruh
Aku lelembut sir
Aku lelembut khafi 
Aku lelembut nathiqa 
Aku lelembut kullujasad
Aku nurullah
Aku dzatullah 
Aku sifatullah 
Aku ismullah 
Aku lelembut robbaniyah ruhaniyyah
Aku lembar kertas kalimatullah
Aku meja syahadatullah
Aku cermin tajalli
Kerja Allah
Pemantul wajhullah
Kaca ruhullah
Danau dzatullah
Aku Muthmainnah
Aku ammarah
Aku lawwamah
Badan hanya alat
Badanku medan perang
Badanku menanggung
Duka hayya ‘alal falah
Musuh menikam dari dalam jantung
Kutindih di bawah gunung Jabbar Qahhar
Penindas tinggal di usus
Penindas merobek usus
Kucampakkan ke kakus
Berhala menggumpal di aliran darah
Menjadi planet-planet mati
Kutetesi dengan wa-ullah
Sepanjang siang dan malam hari
(dari “Lautan Jilbab”)

Sengaja saya kutip sajak ini agar kita peroleh sejumlah landasan pemahaman awal bahwa ‘diri’ manusia itu amat sederhana, tapi sekaligus amat tidak sederhana.

Kalau kita berbicara tentang jarak antara realitas sejati manusia dan realitas palsu atau realitas semuanya, pada saatnya kita butuh memperoleh ‘kepastian’ tatkala menyebut diri sebagai ‘aku’ dan menyebut orang lain sebagai ‘engkau’ atau ‘ia’. Siapakah sesungguhnya ‘aku’, ‘engkau’, dan ‘ia’. Wajahnyakah? Tangan dan kakinyakah? Status sosialnyakah? Pangkat dan jabatannyakah? Yang mana yang sungguh-sungguh dan kekal, serta yang mana yang ‘seakan-akan’ dan temporer?

Apalagi kita terlanjur memakai istilah jati diri.