Ramadhan Sepanjang Zaman

JABURAN SERI KE-II EDISI kesembilan

RAMADHAN SEPANJANG ZAMAN. Apa maksud Ramadhan sepanjang zaman? Sesekali kita memasuki wilayah filosofi yang terdalam, yang intrinsik. Misalnya, engkau menghayati waktu, dan engkau kintir di dalamnya. Di manakah, dalam waktu, sesungguhnya engkau berada atau memijakkan kaki?

Waktu adalah pergantian satu detik ke detik berikutnya. Bisakah engkau berdiri dengan tenang dan jenak di satu detik? Tidakkah engkau segera dikejar, didesak, dilibas, diseret oleh detik berikutnya? Jadi, engkau sesungguhnya berlari sangat kencang dari detik demi detik.

Bagaimana kalau kukatakan bahwa sesungguhnya engkau berlatih lebih kencang lagi dari seperseribu detik ke seperseribu detik berikutnya? Bagaimana pula engkau menyadari dan merasakan bahwa satu bisa dibagi bukan hanya perseribu, persejuta, persemiliar, dan perselaksa, melainkan juga menjadi seperti tak terhingga?

Jadi, kapankah engkau hidup?

Filosofi waktu itu sekedar mengingatkan kita pada satu satuan. Hari, bulan, tahun, itu masing-masing satuan. Juga dekade, zaman, kurun. Atau jam, menit, detik.

Setiap pekerjaan dilaksanakan dalam satuan-satuan waktu. Anggaran belanja pakai satuan, misalnya setahun. Organisasi mempekerjakan pengurusnya dalam satuan waktu. Tugas kabinet, pendidikan sekolah, bahkan hitungan kenyang lapar kita sehari-hari juga kita kelola dalam satuan-satuan waktu.

Ibadah kita juga dilaksanakan berdasarkan satuan waktu. Shalat lima waktu, shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, demikian juga puasa. Satuan waktu ibadah terkait dengan kapasitas, kuantitas, dan kualitas nilai yang dijalankan di dalamnya. Shalat, umpamanya, merupakan satuan kecil dalam proses pengolahan rohani sebagaimana Puasa dan Idul Fitri yang berlangsung dalam satuan yang lebih panjang. Shalat adalah “puasa” beberapa saat dari kesibukan rutin. Shalat adalah beberapa saat menarik diri dari kesibukan dunia dan berapa jam tenggelam dan bergelimang dunia, diselingi shalat yang kita pakai untuk merohanikan dan memfitrikan diri kembali.

Shalat dalam satuan-satuan waktu kecil memungkinkan kita menemukan diri kembali sesudah ‘hilang’ dalam mesin, sesudah direduksi menjadi alat-alat, sesudah didustai oleh banyak hal yang tak sejati. Shalat bukan sekedar mengembalikan diri kita, tapi bisa juga melahirkan diri yang baru yang lebih baik

Puasa sepanjang Ramadhan adalah “shalat” yang lebih dalam, lebih ‘menyiksa’, lebih intensif, lebih panjang, lebih radikal dan frontal. Puasa menyerap kita ke dalam kesejatian dan menghasilkan pandangan dari situasi fitri diri. Dengan menyadari pararel makna puasa dengan shalat, kemudian dengan memahami bahwa puasa bisa diperluas maknanya menjadi bukan hanya tidak makan dan tidak minum, melainkan juga menahan diri dalam segala konteks, tidak aman untuk tidak menikmati sesuatu yang nikmat dalam berbagai bidang kehidupan, dari soal pakaian, kekayaan, sampai kedudukan sosial dan kekuasaan sejarah—maka kita mulai bisa membayangkan apa yang dimaksud Ramadhan sepanjang zaman.

Artinya, makna puasa, sebagaimana makna shalat, bisa kita perlebar. Kalau sekali makan engkau cukup makan dua iris tempe, kenapa engkau harus makan lima iris? Engkau mampu membeli lima iris, tapi engkau “berpuasa” dengan cukup dua iris.

Tinggal sekarang engkau proyeksikan ke barbagai masalah: irisan tempe itu bisa juga peluang sosial, kekayaan, dan modal atau segala macam jenis pemilikan duniawi. Dengan demikian, engkau mendapatkan kemuliaan dan peningkatan kualitas takwa dengan cara mem-puasai berbagai hal. Dengan demikian, engkau juga bisa menerapkan Ramadhan kapan saja dalam hidupmu. Ramadhan kecil maupun besar, dan engkau memperoleh Idul Fitri kecil maupun besar. Engkau kelaparan, orang memberimu sepiring nasi, tapi engkau berikan nasi itu kepada orang yang lebih lapar. Itu juga puasa namanya. Sepiring nasi itu bisa uang sejuta rupiah, bisa kursi jabatan, bisa apa saja.

Kalau engkau beridul fitri, artinya engkau lulus tidak eman dunia. Maka, semoga Allah menganugerahimu karamah.