By Muhammad Ainun Nadjib

Puasa dan Ihsan

Jadi, ihsan itu munculnya dari kemuliaan hati. Dan ini pararel dengan hakikat puasa. Kalau Anda merasa cukup dengan puasa ramadlan, maka baik. Tetapi tingkat kebaikan Anda belum sampai ke kadar ihsan, belum sampai kepada kemuliaan dan belum sampai kepada level yang tinggi dari makna puasa yang sesungguhnya.

Nikmatnya Kelaparan

KITA menjalankan puasa ini ada dimensi yang spiritual sekali, ada dimensi yang isyik. Isyik itu keasyikan yang sangat intrinsik sifatnya di dalam jiwa manusia. Tapi ada yang ekstrinsik, ada keasyikan di luar, ada keindahan bulan ramadlan. Ada lagu-lagu yang menghias, ada album ramadlan, ada jajan-jajan di pinggir jalan.

Kangen Ramadlan, Kangen Allah

Jadi sesungguhnya benar bahwa kita sedih meninggalkan ramadlan, dan supaya kita tidak sedih mari kita ciptakan ramadlan setelah idul fitri. Kita sedih meninggalkan ka’bah, oleh karena itu mari kita bangun ka’bah di dalam kalbu kita.

Nasionalisme Muhammad

Jika segala nilai hidup, segala konsep dan isme, digali dan dikelola oleh manusia (kualitas kepribadiannya), maka komitmen kebangsaan Muhammad bukan saja tidak dibatasi oleh ras dan geografi, bukan saja meluas ke pembelaan atas kaum tertindas sebagai sebuah ‘bangsa’ tersendiri, namun bahkan juga bersih dari kehendak kekuasaan dan nafsu ekonomi yang berlebihan. Muhammad tidak mendirikan Negara Arab atau Negara Islam yang memaksa setiap warganya untuk beragama Islam, melainkan menyebarkan berita keselamatan, memperjuangkan keselamatan kemanusiaan, dengan tetap memelihara hak setiap manusia dalam “la ikraha fi ad-din”.

Antara Kambing dengan “Kambing”

Dari mana Allah kulakan bahan untuk membuat manusia dan alam, juga jin, setan, dan malaikat, kalau tidak dari diri-Nya sendiri? Tidak ada apa-apa selain Allah, karena memang hanya Allah yang memiliki kepastian untuk ada. Yang lainnya, kita-kita semua ini, tidak pernah ada, melainkan sekadar diadakan alias diselenggarakan. Kita semua, juga gunung dan burung-burung, adalah penjelmaan Allah di muka bumi, melalui konsep dan konfigurasi budaya yang diizinkan-Nya. Apalagi Ibrahim, Ismail, Musa, Isa, dan Muhammad. Dari mana asal nasi kalau tak dari padi? Dari mana asalnya kita kalau tak dari Tuhan?

Idul Fitri, “Mandi Besar” Manusia dan Kebudayaan

Idul Fitri berarti telah tibanya suatu “perjalanan kembali” dari kondisi tidak fitri menjadi fitri. Dari palsu menjadi sejati. Perjalanan itu sudah pasti harus melibatkan seluruh dimensi hidup pelakunya. Ya, spiritualitasnya, ya intelektualitasnya, ya moralitasnya, ya estetika-nya, ya pergaulan sosialnya, ya keterlibatan seluruh kesejarahannya. Perjalanan kembali itu, seperti kita ketahui bersama, ditempuh dengan metode puasa.

Kepantasan Untuk Dimaafkan

Memang Allah amatlah mencintai hamba-hamba-Nya. Bacalah firman-firman-Nya. Terkadang Ia tampak begitu bersusahpayah berusaha meyakinkan agar manusia mempercayai-Nya. Di saat lain Ia seolah-olah murka karena Ia tak dinomorsatukan, melainkan dipersekutukan dengan benda-benda dan nilai-nilai yang remeh dan sepele, sehingga seandainya Ia adalah manusia, maka akan tumbuh rasa cemburu dan sakit hati yang mendalam.

Mengenang Estetika Takbiran

APA YANG tersisa dari suasana Idul Fitri pada diri Anda? Kenangan kebahagiaan bersama keluarga? Capek dan absurdnya perjalanan mudik yang tahun ini benar-benar dahsyat?  

Pada saya, yang terngiang-ngiang selalu sehabis Lebaran adalah suara-suara takbiran masal. Baik di masjid kita masing-masing, di jalanan, di teve, atau mungkin takbir dalam film The Messenger yang disuarakan secara sangat sederhana.  

Setan Diborgol, Mestinya Kita Juga

Puasa itu artinya kita berhak melakukan sesuatu tapi tak melakukannya. Berhak mendapatkan, mengenyam, menikmati, tapi sengaja dan sadar menolaknya, pada batas waktu dan konteks tertentu. Berhak atas makanan, minuman, peluang, jabatan, akses, popularitas, modal, atau apa pun saja, namun dengan pertimbangan dan perhitungan tertentu, semua itu tidak diambil.

“Mengendarai” Al-Qur`an, Melintasi Tujuh Langit

Orang melakukan shalat seperti pegawai yang menandatangani buku presensi, seperti serdadu berbaris, atau seperti konsumen yang membayar kredit untuk memperoleh “komoditi” yang bernama surga. Sikap orang-orang bersembahyang terhadap Tuhan sangat kapitalistik. Sedemikian rupa ‘maniak’ pahala dalam arti ekonomis ini—sehingga yang mereka Tuhankan bukanlah Tuhan itu sendiri melainkan pahala atau laba.