Antara Kambing dengan “Kambing”

BANYAK ORANG tak merasa lagi kagum terhadap kisah agung Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih Ismail, putra terkasihnya. Banyak orang tak lagi merasa tersentuh. Mungkin karena ilmu dan pengetahuan kita tentang kehidupan tidak semakin berkembang—kalau tidak boleh kita bilang semakin menyempit—tentang kehidupan dan kehidupan, sehingga kita tidak merasa memiliki kesadaran intelektual dan imajinasi untuk memasuki dimensi keagungan itu.

Atau mungkin karena Ibrahim dan Ismail itu Nabi.

“Mereka itu Nabi, utusan Allah yang berkomunikasi langsung dengan-Nya”, mungkin demikian kita berkata. “Kalau mereka memperoleh perintah, segalanya gamblang bagi mereka. Dan mereka tinggal menjalankan perintah itu, karena sesudah itu segala jaminan dan harapan dari Allah tak perlu diragukan. Sementara kita ini manusia biasa. Tidak istimewa dan tidak diistimewakan oleh-Nya. Kita jauh dari-Nya. Tuhan tidak memberikan perintah langsung kepada kita sebagaimana kepada Nabi….”

Atau bermacam-macam lagi.

Padahal kepada kita pun Allah memberi perintah langsung. Padahal segala jaminan dan harapan-Nya pun gamblang bagi kita. Padahal kita pun diberi perkenan untuk berkomunikasi langsung dengan-Nya serta memahami bahasa-Nya.


TIAP SAAT Allah mengkomunikasikan kemauan-kemauan-Nya kepada kita. Melalui firman-firman literernya dalam Al-Qur’an, melalui keagenan hadis dan sunnah Rasul, melalui daun-daun, angin, hukum, dan gejala-gejala alam, melalui rumus-rumus kejadian pada diri kita sendiri dan orang lain. Serta melalui apa saja yang termuat dalam keseharian kita.

Persoalannya, apakah kita titen atau tidak terhadap bahasa-Nya, gaya-Nya, tradisi-tradisi “perilaku”-Nya.

Kita tidak bisa berkata, misalnya, “Ibrahim bersedia menyembelih anaknya dan Ismail ikhlas melepas nyawanya, sementara kita belum bersedia melepas uang seribu rupiah buat seorang pengemis, apalagi melepas jabatan atau sesuatu yang lebih penting dari itu bagi hidup kita…”

Alasan kita adalah, “Kita bukan Nabi.”

Sering saya angen-angen kisah Syaikh Jangkung. Ketika ia datang berguru kepada Sunan Kudus, wali sareh itu menyuruhnya mengucapkan Kalimat Syahadat. Tetapi yang calon santri ini lakukan adalah justru berlari menghampiri sebatang pohon kelapa. Ia lantas memanjatnya sampai ke puncak, kemudian menjatuhkan dirinya ke tanah.

Ndilalah kersaning Allah, Syaikh Jangkung tak kurang suatu apa, sekadar satu-dua luka kecil.

Para santri jadi bingung, atau di antara mereka ambil jalan pintas dengan menganggap lelaki itu sinting. Sunan Kudus bertanya kepadanya, “Kenapa itu yang kau lakukan?”

Syaikh Jangkung tidak menjawab. Ia duduk saja di beranda masjid. Sehingga kemudian Sunan Kudus lah yang menjelaskan kepada santri-santrinya, “Alangkah gampangnya mengucapkan syahadat di mulut. Anak tiga tahun pun bisa dengan fasih melakukannya. Tetapi syahadat adalah persaksian. Adalah ikrar. Ikrar itu sederhana: hidup atau mati. Apakah kalian bersedia mati untuk mempertahankan nilai Allah dan Muhammad itu utusan Allah, maka kita memilih mati tatkala ada suatu keadaan atau kekuasaan lain yang mendorong kita untuk ingkar kepada prinsip itu. Kalau kita sudah mengucapkan syahadat, maka dalam kehidupan kita sehari-hari yang kita nomorsatukan adalah tingkat jabatan, jumlah uang, atau nama besar diri sendiri, dengan sendirinya syahadat itu gugur maknanya. Kita mencari kekayaan, meniti kepangkatan, dan membina nama baik pribadi, namun itu semua kita arahkan untuk menomorsatukan Allah dan Muhammad. Si Jangkung ini bersedia mati untuk Allah dan Muhammad, dan cara dia bersyahadat adalah melakukan sesuatu yang bisa membuktikan kesediaannya itu. Menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa adalah bukti kepasrahan dan kerelaannya terhadap kenomorsatuan Allah dan Muhammad.”

Mungkin ini kisah romantik dan ditertawakan oleh “manusia modern”. Saya juga tidak menyarankan secara bodoh dan tidak relevan agar Anda segera mencopot diri dari jabatan Anda, misalnya agar rakyat tidak terlalu lama jijik dan para atasan Anda merasa pusing dan risih. Silakan terus jadi pejabat, jadi orang terkenal, jadi orang kaya, jadi orang di atas orang-orang lain secara ekonomi, politik, dan budaya. Tetapi persoalannya, apakah anda mendayagunakan posisi dan fasilitas yang Anda miliki itu untuk menomorsatukan iradah-Nya atau tidak.

Kisah itu amat bersahaja, ndesit, di tengah dunia modern yang tidak membutuhkan dongeng-dongeng. Tetapi kita tidak bisa berlaku terlalu munafik untuk menganggap bahwa kita-kita yang di abad gegap-gempita dan keminter ini punya kualitas lebih tinggi dibanding manusia Syaikh Jangkung.


KESEDIAAN IBRAHIM untuk menyembelih anaknya adalah kemenangan seorang manusia atas ego kecilnya. Ego kecil, romantisme kepentingan pribadi, sentimentalitas cinta kasih lokal, atau kesepihakan.

Keikhlasan Ismail untuk ditumpas nyawanya oleh bapaknya sendiri adalah kesanggupan seorang anak manusia untuk mengalahkan nafsu pemusatan “diri kecil”. Peleburan dari dimensi ahad menuju dimensi wahidAhad itu ketika Allah berdiri sebagai diri-Nya sendiri yang sendiri. Wahid itu tatkala ia telah melalui proses (yang ditakdirkan-Nya sendiri) penyatuan dengan makhluk-makhluk-Nya yang ia ciptakan sendiri dan dari “suku cadang” diri-Nya sendiri.

Dari mana Allah kulakan bahan untuk membuat manusia dan alam, juga jin, setan, dan malaikat, kalau tidak dari diri-Nya sendiri? Tidak ada apa-apa selain Allah, karena memang hanya Allah yang memiliki kepastian untuk ada. Yang lainnya, kita-kita semua ini, tidak pernah ada, melainkan sekadar diadakan alias diselenggarakan. Kita semua, juga gunung dan burung-burung, adalah penjelmaan Allah di muka bumi, melalui konsep dan konfigurasi budaya yang diizinkan-Nya. Apalagi Ibrahim, Ismail, Musa, Isa, dan Muhammad. Dari mana asal nasi kalau tak dari padi? Dari mana asalnya kita kalau tak dari Tuhan?

Maka Idul Adha, Idul Qurban, adalah contoh soal pelajaran bagaimana mengorbankan “diri kecil” kita masing-masing agar bergabung kembali dengan “diri besar” yang asli. Diri kecil itu semu. Tidak asli. Aslinya tidak ada.

Menyembelih ego dan kesepihakan dalam kehidupan sosial ialah bagaimana kita menggagas dan mewujudkan suatu eksistensi yang ditransformasikan dari “aku sebagai diri sendiri” menjadi “aku orang banyak”. Kalau engkau ditanya siapa engkau, engkau menjawab, “Aku bukan Polan, aku adalah orang banyak”. Artinya, segala perilaku hidupmu dipertimbangkan berdasarkan kepentingan kebersamaan.

“Aku orang banyak”, “aku rakyat”, “aku masyarakat”, “aku kehidupan ini seluruhnya”, adalah tahap jalan menuju “Aku…” yang merupakan satu-satunya kepastian sejati.

Karena itu pemerintah, partai politik, organisasi sosial dan lain sebagainya meletakkan diri—seyogianya—pada dimensi “aku masyarakat”. Makna Idul Adha bagi pemerintah adalah menyembelih (berkurban) egosentrisme politisnya, subjektivisme kekuasaannya, atau kesepihakan kepentingannya.

Kalau dimensi-dimensi itu disembelih, maka Allah akan menetukan bahwa ia justru memperoleh “kehidupan sejati bersama-Nya”, dan yang terpenggal lehernya adalah kambing. Dengan demikian, kalau hal-hal itu tak disembelih, maka yang ia hidupkan bukanlah diri sejati, melainkan kambing-kambing. Sehingga jadilah ia kambing, setidaknya berderajat sama dengan kambing.

Demikian juga pada skala-skala lain dalam kehidupan kita—dalam bergaul di kampung, dalam mekanisme sosial yang besar—kita begitu sering menjadikan diri sebagai kambing-kambing. Kita lupa, bahwa pada akhirnya kambing-kambing itu akan tersembelih, terpenggal lehernya dan mengucur darah darinya.

Dan alangkah dungunya kita ini: setiap datang Idul Adha kita amat bersibuk hanya dengan menyembelih kambing-kambing dan lembu, sungguh-sungguh hanya kambing-kambing dan lembu, bukan kambing-kambing egoisme dalam diri kita, bukan lembu-lembu kesepihakan dalam posisi kekuasaan dan kekayaan kita.

dari: surat kepada kanjeng nabi — mizan, 1996