Mengenang Estetika Takbiran

APA YANG tersisa dari suasana Idul Fitri pada diri Anda? Kenangan kebahagiaan bersama keluarga? Capek dan absurdnya perjalanan mudik yang tahun ini benar-benar dahsyat?

Pada saya, yang terngiang-ngiang selalu sehabis Lebaran adalah suara-suara takbiran masal. Baik di masjid kita masing-masing, di jalanan, di teve, atau mungkin takbir dalam film The Messenger yang disuarakan secara sangat sederhana.

Terus terang ada yang mengganjal di hati dan otak saya beberapa tahun terakhir ini mengenai takbiran. Masyarakat kita sangat kreatif. Cara melantunkan takbir terus mengalami ‘modernisasi’. Pencanggihan. Terutama melalui estetika musikalisasinya. Tetapi terus terang juga hal itu malahan yang saya tidak bisa pahami sampai sekarang.


SAYA SENANTIASA mengalami konflik dengan dunia kesenian. Kalau jagat estetik bergerak ke sofistikasi, maunya saya malah penyederhanaan. Kalau kosmos artistika berkembang ke arah keanehan, maunya saya malah kewajaran.

Misalnya dalam seni tilawah Quran yang semakin lama semakin canggih —misalnya dari acuan Syekh Abdul Basith bin Muhammad Abdus Shamad hingga Muammar ZA, saya tetap saja konservatif dengan model lagu dan ‘psikologi’ qiroah tahun 60-an, atau paling jauh mereferensi ke kebersahajaan Syekh Muhammad Al-Khusyairi.

Lha, estetika takbiran di kalangan umat Islam Indonesia kini sudah tiba pada fase kothekan atau bahkan semi-dangdutan. Memang masih belum sampai ke taraf metalatau rap, tapi itu pun sudah sangat membingungkan perasaan maupun pikiran saya.


ORANG-ORANG, remaja-remaja, anak-anak, berduyun-duyun jalan kaki atau naik truk atau colt-bak, melantunkan takbir dengan tetabuhan. Ritmenya setengah kothekan di dusun-dusun Jawa campur nuansa sedikit dangdut.

Intonansi takbirnya patuh kepada hentakan irama yang diciptakan oleh musik tersebut.

Di situlah letak kebingungan saya. Pernah bersama Dwiki Dharmawan saya rekaman takbir di mana komposer ini saya minta membunyikan keyboardnya begitu suara saya masuk. Cukup pilih nada tertentu untuk memberi background atau ditambah sedikit sapuan atau cuatan halus.

Tapi sampai usai saya bertakbir, Dwiki tak membunyikan apapun. Ketika saya tagih, ia menjawab, ”Tidak bisa, Cak. Juga tidak berani”.

”Maksud Ente?” tanya saya.

”Sudah tak ada suara lagi yang bisa dibarengkan dengan suara takbir,” kira-kira begitu jawabannya. Takbir tak perlu diiringi dengan bunyi musik apapun. Tak ada yang sanggup menandinginya.

Dan saya setuju. Alhamdulillah Dwiki tahu dan peka.


MUNGKIN SAYA seorang yang fanatik. Tapi kalau umpamanya kaum musikolog dan autropolog dari segala abad pada suatu saat mengadakan simposium, mungkin mereka juga akan setuju.

Bahwa segala prestasi musik bergerak ke puncak kualitas budaya, sesudah itu memasuki ‘langit’ spiritualitas. Dan kalau sudah sampai di situ, tanggallah segala instrumen pengiring. Dalam konteks dan nuansa inilah saya pahami dan temukan tilawah Quran, dan di atasnya lagi takbir.

Takbir adalah estetika tertinggi dalam pengalaman saya.

Mungkin sekali saya subyektif. Dan mungkin juga merupakan kesombongan kalau saya memperoleh kesan bahwa kothekan-dangdutan takbir yang kini mentradisi — itu mencerminkan proses makin mendangkalnya kualitas batin kebudayaan masyarakat kita.

Takbiran semacam itu memelorotkan ke’langit’an atau ke’akhir’an estetika takbir, padahal sehari-hari di teve dan radio kita sudah selalu mendunia.

Sayang hanya Allah yang tahu persis. Ilmuwan, seniman, agamawan — tidak.

Apalagi saya.

Dari: Keranjang Sampah — Zaituna, 1998